Ghozali dan Ibu Kota Nusantara
Cerita soal pembahasan RUU Ibu Kota Negara hanya memperkuat pandangan Thrasymachus: ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa. Sementara bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela”.
Ribuan pulau tergabung menjadi satu
Sebagai ratna mutu manikam
Nusantara, oh, Nusantara….
Lirik lagu ”Nusantara V” yang ditulis Yok Koeswoyo terngiang di telinga saat Ketua DPR Puan Maharani mengetukkan palu tanda disahkannya UU Ibu Kota Negara, Selasa 18 Januari 2022. ”Interupsi nanti, ya, karena dari sembilan fraksi, satu yang tidak setuju. Artinya, bisa kita setujui,” kata Puan.
Tok! Ketukan palu Puan Maharani mengesahkan konsensus politik elite di DPR untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Satu-satunya fraksi yang tak setuju ialah Fraksi PKS.
Ibu kota negara yang baru itu diberi nama Nusantara oleh Presiden Joko Widodo. Berita utama harian Kompas 19 Januari 2022 ditulis dengan judul besar bahwa pembahasan RUU Ibu Kota Negara di DPR hanya membutuhkan waktu 43 hari. Sebuah proses yang begitu cepat!
Pengesahan RUU Ibu Kota Negara oleh DPR dirasakan tidak selaras dengan aspirasi publik. Survei opini publik Kedai Kopi, misalnya, menyebutkan 61,9 persen responden menolak pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Aspirasi publik seakan tenggelam dengan rencana besar elite politik untuk memindahkan ibu kota negara. Ketua Panita Khusus RUU Ibu Kota Negara Ahmad Doli Kurnia membantah jika publik tak dilibatkan.
Baca juga : Ibu Kota Baru untuk Siapa?
Kamis pukul 21.58, seorang purnawirawan TNI berusia 87 tahun mengirim pesan Whatsapp. ”Pak Budiman, saya kok sulit mengerti kenapa kok putusan untuk pindah itu seperti dikejar waktu,” tulis purnawirawan TNI yang pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi ABRI. Jumat pagi, sang jenderal menghubungi saya melalui telepon dan curhat panjang lebar. Saya hanya mendengarkan saja.
Pengesahan RUU Ibu Kota Negara telah menjadi fakta politik. Sejarah mencatat. Gagasan memindahkan ibu kota negara hidup sudah lama. Sejak era Soekarno, Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Jokowi. Dan Presiden Jokowi mengeksekusi UU-nya. Soal keberatan publik yang merasa tidak dilibatkan sebagai syarat formil pembentukan undang-undang, masih ada Mahkamah Konstitusi (MK). MK bisa mengujinya. Model pemerintahan otorita tanpa DPRD, tetapi DPR, tak ada di konstitusi. Isu itu bisa menjadi domain MK untuk mengujinya.
Baca juga : Butuh Kajian Pindahkan Lembaga Negara
Undang-undang adalah suatu bentuk konsensus politik elite. Konsensus terbangun ketika ada kesamaan kepentingan elite di sana. Konsensus politik akan terus terjaga sejauh kepentingan elite tidak terganggu atau diganggu. Ketika kepentingan elite mulai terganggu, konsensus politik bisa saja buyar. Lalu di mana rakyat berada?
Pemilu 2024 menentukan apakah konsensus politik elite politik akan tetap bisa terbangun bersama. Pemilihan Presiden 2024 dan Pemilu Legislatif 2024 bisa mengganggu kesinambungan proyek besar memindahkan ibu kota negara. Masa jabatan Presiden Jokowi akan berakhir 20 Oktober 2024 meskipun sudah mulai ada godaan dari Menteri Investasi/Kepala BPKM Bahlil Lahadalia bahwa ada permintaan pengusaha untuk menunda pemilu hingga 2027.
Selain tetap menjaga kepentingan elite, Presiden Jokowi dan penerusnya harus punya komitmen serta visi untuk meneruskan pembangunan ibu kota negara yang ditarget baru paripurna pada 2045. Jika pemindahan ibu kota berubah menjadi bahan negosiasi untuk kepentingan kekuasaan dan menjadi isu politik kampanye, situasi politik bisa jadi kompleks.
Semua elite politik yang terlibat punya tanggung jawab moral menjamin agar proyek pemindahan ibu kota negara tidak menjadi proyek mangkrak, seperti pembangunan kompleks olahraga Hambalang, misalnya, atau menjadi tiang monorel di Jakarta yang belum dimanfaatkan. Politik Indonesia adalah politik kepentingan. Politik Indonesia hanyalah meneruskan kredo politik kuno, dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, selain kepentingan itu sendiri! Ketika kepentingan elite tidak terganggu, niscaya konsensus dan kebersamaan akan tetap terbangun. Sekali kepentingan elite terganggu, potensi buyarnya konsensus itu bisa terjadi.
Politik Indonesia adalah politik kepentingan. Politik Indonesia hanyalah meneruskan kredo politik kuno, dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, selain kepentingan itu sendiri!
Butuh kepemimpinan dan konsistensi luar biasa untuk menjaga komitmen bersama membangun ibu kota negara, sama dengan konsistensi seorang mahasiswa Ghozali yang konsisten selfie setiap hari selama lima tahun dan menjual foto selfie-nya di Opensea dalam format NFT (non-fungible token).
Seusai siaran Satu Meja The Forum yang membahas ibu kota baru untuk siapa, seorang mantan duta besar mengirim pesan. ”Orang-orang sudah apatis khawatir semua jadi bancakan.” Komunikasi publik pemerintah jadi faktor penting untuk meyakinkan. Siapa kepala otorita ibu kota negara akan jadi taruhan pertama.
Kisah pengesahan RUU IKN menyampaikan pesan dengan kekuatan mayoritas yang tak pernah terjadi dalam sejarah politik Indonesia. Dengan 82 persen parlemen menjadi pendukung pemerintah, secara teoretis apa pun bisa terjadi, termasuk memproduksi vaksin Nusantara agar pasar vaksin tak dikuasai vaksin impor, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu yang tak jelas juntrungnya, mengegolkan UU Perampasan Aset untuk mengembalikan aset negara yang dibawa lari koruptor, membenahi sistem politik yang terbukti kian menjamurnya korupsi di negeri ini. Itu legacy nonfisik.
Cerita soal pembahasan RUU IKN hanya memperkuat pandangan Thrasymachus dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan karya Haryatmoko, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa. Sementara bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela.”
Ketika malam kian larut, lirik lagu ”Nusantara III” terdengar:
… Hutan belantara
Banyak tersebar, Nusantara
Semua harta yang tak terhingga
Milik kita.
Semoga saja.