Gang Gloria di Kelurahan Glodok, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, menjadi sandaran hidup tukang pikul air hingga bergenerasi pemilik toko atau kedai.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY, ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Sejak 1982, Sunaryo (63) menjajal profesi tukang pikul air di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat. Saban hari ia hilir mudik dengan gerobaknya ke Pasar Glodok, Gang Gloria, dan sekitarnya.
”Jualan air bisa laku 4-5 gerobak. Lumayan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya ketika berteduh dari derasnya hujan di Gang Gloria, Selasa (18/1/2022). Satu gerobak bisa menampung 16 jeriken air. Satu jeriken ukuran 25 liter dijualnya Rp 2.500.
Ia sempat cemas mendengar kabar revitalisasi Gang Gloria. Dalam benaknya, pedagang akan dipindahkan. Otomatis pelanggannya berkurang. Begitu juga pemasukannya. ”Ternyata mau diperbaiki. Pasang tenda supaya makin bagus,” katanya.
Revitalisasi harus mencakup keberadaan satu kawasan, bukan parsial. (Khrisnamurti)
Jamal (45), pendatang dari Kuningan, Jawa Barat, sudah puluhan tahun hidup dari denyut ekonomi di Gang Gloria. Di sana ia berdagang minuman instan, mi instan, dan telor rebus. Pelanggannya adalah para pekerja toko di sekitar kawasan pecinan.
Dari berjualan pagi hingga sore hari, ia mengantongi omzet sekitar Rp 300.000 per hari. Keuntungan dari penjualan memang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hariannya sehingga ia masih suka berutang dengan ”bank sobek”, pemberi pinjaman berbunga yang menyobek kertas setiap nasabah membayar angsuran.
Masa awal pandemi menjadi masa sulit. Ia sempat libur berjualan selama dua bulan sehingga tidak ada pemasukan tetap. Perlahan, ketika pemerintah beberapa kali melonggarkan mobilitas penduduk, Jamal dapat kembali mengais rezeki ketika aktivitas usaha kembali ramai.
Ayah dua anak yang tinggal sendiri dengan mengontrak kamar di Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, ini bersyukur bisa tetap membuka usaha di Gang Gloria. Selain modal usaha, di sana ia hanya perlu membayar uang keamanan Rp 6.000 sehari. ”Kalau direnovasi (revitalisasi), maunya tempat ini lebih bagus aja. Jangan dipindah karena takut susah mulai usaha lagi,” katanya.
Gang Gloria berbatasan dengan Jalan Pancoran di sisi selatan dan Jalan Pintu Besar Selatan I dan Jalan Pintu Besar Selatan II di sisi utara. Letaknya menyempil di antara Pantjoran Tea House, Glodok Chinatown Market, dan Pancoran Chinatown Point.
Di sana terdapat deretan toko dan kedai legendaris, seperti Toko Kawi, Pangkas Rambut Ko Tang, Bakmi Amoy, Soto Betawi Nyonya Afung, dan Kedai Kopi Es Tak Kie. Juga lapak-lapak pedagang kaki lima beratap plastik atau tripleks yang menjajakan siomai babi, nasi campur, buah-buahan, kopi, dan mi instan.
Ketika hujan deras mengguyur pada Selasa siang, sebagian pedagang harus memakai jas hujan dan sepatu bot untuk melindungi diri dari terpaan hujan.
Seketika gang selebar 4 meter dengan panjang 100 meter itu menjadi tempat aliran air dari jalanan di sekitarnya yang lebih tinggi. Kondisi kian buruk karena got di sisi jalan sering penuh timbunan sampah.
Situasi tersebut mendorong Kecamatan Taman Sari bekerja sama dengan PT Sinar Sosro, yang bergerak di bidang industri minuma, untuk merevitalisasi Gang Gloria yang dihuni 38 pedagang kaki lima, di luar toko permanen.
Revitalisasi menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan untuk menghindari pemakaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Revitalisasi awalnya direncanakan tanggal 15 Januari. Namun, pedagang meminta konstruksi ditunda sampai selesainya perayaan Imlek.
Warga sudah mulai berbelanja kebutuhan untuk perayaan Imlek di Gang Gloria. Salah satunya di Toko Kawi. Toko di ujung gang yang tersohor dengan daging asap, sosis, dendeng, abon, dan bumbu dapur dari China.
Siang itu Pungut (72) sibuk mencatat pesanan dan menempelkannya ke kaca bilik pemotongan daging dan sosis. Sejurus kemudian, ia mulai memotong daging dan sosis sesuai dengan pesanan. ”Paling laris daging asap dan sosis. Sehari 1 kg, dekat Imlek begini bisa 3 kg ludes,” ujarnya. Selain itu, pengunjung juga memborong abon, makanan kalengan, dan bumbu dapur dari China.
Satu kesatuan
Khrisnamurti, pengajar pada Program Studi Perjalanan Wisata Universitas Negeri Jakarta, menyebutkan, kunci sukses revitalisasi di dunia tidak hanya pemugaran dan perbaikan bentuk, tetapi didukung akses dan kesiapan warga di kawasan revitalisasi, dalam hal ini Pecinan Glodok dan Kota Tua Jakarta.
”Terkadang revitalisasi tak melihat kehidupan warga. Terlebih historis dan kultur mau dibawa ke mana. Misal pengin kebanggaan atau kekuatan heritage, tonjolkan warga di sana punya kultur, akulturasi, dan asimilasi,” katanya.
Bukan sebaliknya, pariwisata masuk dengan mengorbankan heritage. Contohnya, masuknya makanan luar yang berjejaring sehingga meredupkan makanan setempat.
Khrisnamurti mengatakan, revitalisasi harus mencakup keberadaan satu kawasan, bukan parsial. Semuanya dirangkai jadi heritage trail atau satu cerita utuh. Misalnya di Pecinan Glodok dan Kota Tua Jakarta, ada Pasar Asemka, dan lainnya.
”Pariwisata sudah pasti komersil. Tapi, nilai heritage di sana jangan sampai didominasi oleh sesuatu yang komersil,” katanya. Contohnya Yogyakarta, yang merevitalisasi juga pedestrian dan infrastruktur untuk wisatawan, pedagang, dan warga setempat. Akses yang dulu semrawut menjadi baik tanpa menghilangkan nilai kultural Yogyakarta.
”China Town sesuatu yang tak bisa hilang dari Jakarta. Harus tetap ada,” ujarnya.
Revitalisasi Gang Gloria sedang dan akan berjalan. Semoga nilai sejarah, heritage, dan kesejahteraan para penghuni kawasan tua itu menjadi pertimbangan khusus yang benar-benar dijaga dan dilestarikan.