Studi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 2021 menunjukkan, 22 orang dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan kepolisian mengalami penyiksaan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Tahanan kasus narkotika acap kali menerima siksaan di kantor kepolisian. Hukuman itu harus diterima saat status mereka masih sebagai terduga pelaku kejahatan. Fakta kelam ini banyak dilaporkan oleh komunitas pengguna narkotika di seluruh Indonesia dan lembaga bantuan hukum.
Berdasarkan temuan lapangan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat pada 2011, dari 388 tersangka kasus narkotika terdapat 115 tersangka mengalami penyiksaan. Studi serupa pada 2021 juga menemukan, 22 orang dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan kepolisian mengalami penyiksaan.
Awal tahun 2022 ini, kasus ini dialami Freddy Nicolaus Siagian (33). Freddy menjadi tahanan kasus narkotika di Polres Metro Jakarta Selatan. Ia disangkakan dengan Pasal 114 subsider Pasal 112 Undang-Undang (UU) Nakotika Nomor 35 Tahun 2009. Polisi menangkapnya di Bali dengan barang bukti ganja sekitar 400 gram pada 16 Desember 2020.
Hampir sebulan setelah ditangkap, pada 9 Januari 2022, Freddy berkirim pesan Whatsapp ke seorang rekannya, G. Dalam pesan itu, ia menjelaskan sedikit mengenai perkara yang menjeratnya dan meminta bantuan kepada G untuk mengiriminya uang senilai Rp 5 juta.
”Ia minta uang itu bilangnya untuk membayar 'tong kamar pertama',” kata G saat dihubungi Kompas di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Sepemahaman G, uang tong adalah semacam bayaran untuk fasilitas penahanan di kantor polisi. G, yang cukup paham mengenai gimik tersebut, pun menyarankan agar Freddy menawar pungutan yang diminta oknum polisi menjadi Rp 700.000. Namun, saran yang disampaikan lewat balasan chat itu menjadi interaksi terakhir G dengan Freddy.
Ia minta uang itu bilangnya untuk membayar 'tong kamar pertama'.
Sementara itu, pada tanggal 10 Januari, pihak keluarga mendapat kabar bahwa Freddy jatuh sakit. Freddy dibawa polisi untuk mendapat perawatan di Rumah Sakit (RS) Polri, Kramatjati, Jakarta Timur. Setelah menjalani rawat jalan dan kembali ke ruang tahanan, dua hari kemudian, kesehatan Freddy dikabarkan kembali lemah sehingga harus kembali ke rumah sakit.
G tahu rekannya itu memiliki penyakit infeksi HIV dan masalah jantung sampai harus dipasangi ring jantung. Namun, G sama sekali tak menyangka, Freddy sakit secara tidak wajar sejak menjadi tahanan polisi.
Meninggal
Pada Kamis, 13 Januari, Freddy dikabarkan meregang nyawa dan meninggal di RS Polri. Kabar buruk ini pun mengejutkan G, juga keluarga Freddy yang kemudian menemukan bahwa pria itu meninggal dengan luka di sekujur tubuh.
Hal ini membuat pihak keluarga menunjuk Antonius Badar Karwayu sebagai kuasa hukum. Saat dikonfirmasi media hari ini, ia mengatakan, jenazah Freddy sudah diotopsi di Rumah Sakit Polri Kramatjati, Senin (18/1/2022) siang, sebelum dimakamkan sore harinya.
Pihak dokter, kata dia, sudah menyampaikan hasil otopsi sementara secara lisan kepada keluarga. Pihak rumah sakit katanya juga akan menyampaikan hasil otopsi tertulis kepada pihak polisi yang menahan Freddy. Dari pengamatannya, ada beberapa luka mengelupas yang membekas di bagian punggung, sikut, dan kaki. Luka-luka pada bagian kaki sebelah kiri bahkan lebih mengerikan.
”Kaki sebelah kirinya di antara area hitam itu ke bawah ada bekas luka, entah itu apa, tapi itu sudah agak mengering. Luka agak lama itu seperti habis ditusuk benda tumpul atau disundut rokok. Di bagian kuku juga ada kulit yang mengelupas cukup lebar," tuturnya.
Kapolres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Budhi Hardi Susianto, kepada wartawan, Sabtu (15/1/2022), mengakui bahwa ada tahanan kasus narkoba di satuannya yang meninggal. Namun, penyebab meninggalnya tahanan yang adalah Freddy itu disebut karena sakit.
”Demam, enggak nafsu makan, dan lemas,” katanya singkat.
Sementara itu, dengan bukti dan kesaksian yang kuat terkait adanya dugaan penganiayaan, Antonius memastikan, pihaknya akan membuat aduan ke polisi. Selain itu, mereka juga akan berkoordinasi dengan Komisi Nasional Hak dan Asasi Manusia (Komnas HAM) agar menginvestigasi kasus ini.
”Kita melihat ketika polisi atau negara membiarkan yang bersangkutan tidak mendapat hak di dalam sehingga sakit kemudian meninggal. Ada indikasi dugaan pelanggaran HAM sehingga kita minta nanti dari Komnas HAM menginvestigasi kasus itu,” pungkasnya.
Beberapa lembaga advokasi hukum seperti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara pun melihat kejadian ini sebagai tanda keras dan bukti adanya penyiksaan terhadap tahanan di level kepolisian.
Maidina Rahmawati dari ICJR menyebut, terdapat tiga permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini. Pertama, berkaitan dengan hukum acara pidana di Indonesia bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik ataupun di otoritas yang melakukan penahanan.
”Padahal sesuai dengan ketentuan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan menahan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang. Penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana,” tuturnya.
Kedua, mereka menyoroti kebijakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mudah sekali menjerat pidana seseorang. Menurut studi mereka, banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana.
”Harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong,” katanya.
Minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan menjadi faktor permasalahan terakhir. Dalam penahanan, menurut mereka, harus ada pengawasan ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal.
”Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang, secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Ini guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan atau serupa tempat tahanan,” katanya.
Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dapat segera melakukan pengawasan pada rumah tahanan hingga lembaga pemasyarakatan.
Respon cepat dan serius dari para pemangku kepentingan untuk mengawasi sistem penegakan hukum tentunya dinantikan. Polisi sebagai pengayom masyarakat dan lini pertama penegakan hukum tidak seharusnya ikut mengadili terduga pelanggaran hukum, dengan menjadikannya samsak hidup yang tidak sepatutnya.