UUD NRI 1945 mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun dengan adanya purifikasi sistem presidensial, kedaulatan itu didistorsi dengan kepentingan partai politik.
Oleh
DESPAN HERYANSYAH
·5 menit baca
Pasca amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia mengalami perubahan total dan substansial. Perubahan itu bukan tanpa kritik, utamanya aspek partisipasi masyarakat yang dianggap sangat kecil dalam berbagai proses perubahan, sehingga dalam setiap aspek pentingnya tidak melewati proses perdebatan publik yang cukup memadai, melainkan hanya berdasarkan pada kehendak Badan Pekerja yang ada di Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR).
Namun demikian, substansi perubahan ironinya, cukup menggambarkan kehendak rakyat indonesia. Artinya, UUD NRI 1945 sekalipun dibuat dengan proses yang tidak demokratis tetapi substansi perubahannya mengakomodir unsur-unsur negara demokratis. Diantara sekian banyak tema perubahan, yang cukup krusial keberadaannya salah satunya terkait purifikasi (pemurnian) sistem presidensial (Saldi Isra, 2020: 194), yaitu sebagai berikut:
Pertama, purifikasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Memakai logika sistem presidensial, pemilihan langsung lebih dari sekadar memberikan kesempatan luas bagi rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung, tetapi menjadi bukti adanya mandat langsung dan dukungan riil rakyat bagi presiden. Dikarenakan sama-sama mendapat mandat langsung rakyat, pemilihan langsung menciptakan perimbangan check and balances antara presiden dan lembaga perwakilan yang juga mendapatkan mandat langsung rakyat. Karena itu, konstitusi hasil perubahan mengatur secara eksplisit bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kedua, menata ulang MPR. Sebelum perubahan UUD 1945, MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat dengan penegasan bahwa kekuasaan tertinggi di tangan MPR (die gesamte Staatsgewalt liege allein bei in Majelis). Sebagai bagian dari purifikasi sistem presidensial, UUD NRI 1945 pasca amandemen menghilangkan atau menghapus MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai upaya logis keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan check and balances antar lembaga negara.
Penghapusan predikat pemegang kedaulatan rakyat diikuti dengan komposisi baru MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, yang keanggotaanya dipilih langsung salam pemilu. Perubahan ini berdampak pada reposisi MPR dari lembaga negara tertinggi menjadi lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, adalah ironi sekaligus ahistoris sebetulnya, jika belakangan ini muncul ide untuk kembali menguatkan MPR dengan kewenangan membentuk GBHN dan memilih presiden/wakil presiden.
Oleh karena itu, adalah ironi sekaligus ahistoris sebetulnya, jika belakangan ini muncul ide untuk kembali menguatkan MPR dengan kewenangan membentuk GBHN dan memilih presiden/wakil presiden.
Ketiga, memperjelas syarat dan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden (pemakzulan) dalam masa jabatan. Dalam hal ini, Pasal 7A UUD NRI 1945 menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain pelanggaran itu, pemakzulan presiden dapat dilakukan apabila terbukti presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Kelemahan
Tiga perubahan di atas cukup menunjukkan bahwa hasil amandemen UUD NRI 1945 menjadi lebih substantif dan demokratis. Karena mendapatkan legitimasi yang sama dari rakyat langsung maka kelembagaan presiden dan MPR menjadi sederajat, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan kepada rakyat secara langsung. Selain itu, juga tidak akan ditemui lagi situasi dimana presiden diberhentikan oleh MPR hanya karena rendahnya dukungan politik terhadap presiden, karena proses pemberhentian harus melalui proses hukum di MK.
Namun demikian, tema seputar pemilihan presiden bukan tanpa kelemahan. Hampir 10 tahun pasca amandemen UUD, kita melihat muncul masalah baru dalam tema seputar pemilihan presiden ini. Kondisi ini adalah dinamika yang biasa dalam Hukum Tata Negara, sebagaimana jamak dipahami bahwa konsitusi adalah resultante (kesepakatan) politik para pembuatnya untuk menjawab kondisi aktual pada saat konstitusi itu dibuat atau diubah. Sehingga, perkembangan jaman sudah barang tentu berimplikasi pula pada perkembangan kondisi tersebut.
Satu aspek yang cukup krusial seputar pemilihan presiden ini adalah mengenai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik. Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945 pasca amandemen hanya membuka ruang pencalonan presiden dan wakil presiden melalui partai politik. Artinya, tidak ada ruang sama sekali bagi seseorang untuk menjadi calon presiden tanpa diusulkan oleh partai politik, partai politik adalah satu-satunya kendaraan bagi seseorang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Maka, sebaik dan selayak apapun seseorang untuk menjadi presiden, jika tidak diusulkan oleh partai politik, maka tidak ada jalan baginya untuk mencalonkan diri.
UUD NRI 1945 mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi dengan mekanisme ini, kedaulatan itu didistorsi dengan kepentingan partai politik.
Dalam konteks ini, pengaturan demikian sebenarnya banyak bersinggungan dengan ketentuan lain dalam UUD NRI 1945 sendiri. Misalnya, UUD NRI 1945 mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi dengan mekanisme ini, kedaulatan itu didistorsi dengan kepentingan partai politik.
Hal lainnya juga, UUD NRI 1945 menjamin hak untuk dipilih dan memilih, tetapi lagi-lagi didistorsi oleh kewajiban untuk diajukan partai politik. Terlebih, ketentuan ini diperkuat pula dengan adanya pengaturan presidensial threshold yang mencapai 20 persen dalam UU.
Dengan demikian, opsi bagi rakyat untuk mengajukan calon presiden menjadi sangat sedikit. Kita, dalam dunia global, modern, dan demokratis seperti saat ini, hanya berhak memilih calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh partai politik semata. Setuju tidak setuju, suka tidak suka, mau tidak mau, itulah pengaturan normatif dalam konstitusi kita.
Pengaturan dalam pemilihan kepala daerah, sebenarnya sudah selangkah lebih maju. Pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota), membuka ruang bagi majunya calon perseorangan yang tidak harus diajukan oleh partai politik, sekalipun masih dengan prosedur yang sangat menyulitkan. Oleh karena itu, opsi amandemen UUD NRI 1945 di masa depan adalah keniscayaan, utamanya untuk mengamandemen pasal-pasal “bermasalah” menjadi lebih substantif dan berkeadilan. Amandemen itu, tentu saja dengan niat dan komitmen yang baik agar tidak dibajak oleh kepentingan-kepentingan politik praktis yang brutal dan liar semata.
Despan Heryansyah,Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta