Di zaman yang terus berubah dengan tak terduga ini muncul sebuah pertanyaan reflektif, bagaimana kita mesti menyelenggarakan pendidikan kita agar manusia bisa memaknai hidup dan memperoleh keselamatan jiwanya?
Oleh
SIDHARTA SUSILA
·4 menit baca
Masih bergunakah sekolah kita? Pertanyaan ini mengusik penulis saat menyadari kehidupan yang terus berubah dengan cepat dengan bentuk perubahan yang tak terduga. Konsekuensi dari perubahan yang cepat dan tak terduga itu menyentuh banyak aspek kehidupan manusia.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah cara kita menyelenggarakan pendidikan sampai hari ini akan menolong para peserta didik kita menemukan ruang dan kemampuan untuk hidup di zamannya? Ataukah pendidikan kita hanya akan melahirkan manusia-manusia gagap tak berguna dan menjadi korban di zamannya?
Gagap dan bingung
Seorang teman yang adalah pejabat lembaga pendidikan pernah ditanyai tentang strategi, program, dan aksi pendidikan untuk menyikapi kehidupan yang berubah sangat cepat.
Ia mengatakan bahwa sebagai pejabat pendidikan di zaman ini, khususnya di era kemerdekaan belajar, kita tidak bisa lagi membuat kebijakan atau aturan penyeragaman. Setiap sekolah dan pelaku pendidikan harus membuat caranya sendiri-sendiri.
Dari jawaban itu kita bertanya, masih adakah arah dan mutu yang perlu dituju dari penyelenggaraan pendidikan kita? Atau sesungguhnya jawaban tersebut mewakili kita, khususnya para pelaku pendidikan, yang gagap dan bingung menentukan arah dan mutu pendidikan yang bisa bermain bersama zaman yang terus berubah dengan tak terduga ini?
Perubahan dan ketakterdugaan adalah dua kata yang sangat mewarnai kehidupan kita di zaman ini. Lima tahun lalu kita masih menertawai seloroh anak didik kita yang bercita-cita jadi YouTuber. Kini kita tercengang karena begitu banyak orang ingin menjadi YouTuber.
Bill Gates mengatakan metaverse akan mengubah budaya kerja.
Hari ini kita sudah mulai diakrabi dengan istilah metaverse. Kita masih sulit membayangkan kehidupan macam apa yang akan terselenggara bersama metaverse itu. Bill Gates mengatakan metaverse akan mengubah budaya kerja. Efek selanjutnya pasti akan memengaruhi juga aspek-aspek kehidupan manusia yang lain. Termasuk di dalamnya bagaimana manusia memaknai hidupnya.
Teknologi yang semakin cair berubah dan berinovasi telah membuat proses pembuatan robot semakin cepat dan murah. Akibatnya pekerjaan-pekerjaan yang tadinya dikerjakan manusia secara manual bakal digantikan oleh robot. Semakin banyak diciptakannya aplikasi berbasis keverdasan buatan (artificial intelligent) juga bakal menggeser pekerjaan manusia dalam layanan jasa. Banyak sumber memerkirakan lima tahun lagi semua ini akan terjadi dalam kehidupan kita.
Efeknya adalah manusia akan kehilangan pekerjaannya. Para penguasaha dan pemodal akan lebih memilih untuk menggunakan robot dan aplikasi. Biayanya akan lebih hemat. Risiko yang kemungkinan akan ditanggung lebih minimal dan terprediksi. Mereka tidak akan direpotkan lagi oleh demonstrasi para pekerja yang sering kali memang amat merepotkan.
Nah, pada gambaran prediksi kehidupan seperti itu, yang tidak lama lagi akan terjadi, apakah memang kita tidak lagi perlu untuk merumuskan arah dan mutu pendidikan kita?
Sekolah jalan pengabdian
Salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan dan persekolahan adalah ikhtiar untuk menolong manusia agar bisa menjalani hidupnya dengan bermakna. Dalam aspek spiritualitas, dengan memperoleh kebermaknaan hidup, ia akan mendapatkan keselamatan jiwanya.
Pertanyaan pentingnya, bagaimana kita mesti menyelenggarakan pendidikan kita agar di zaman yang terus berubah dengan tak terduga ini manusia bisa memaknai hidup dan memperoleh keselamatan jiwanya?
Perubahan dan ketidakterdugaan meniscayakan mutu manusia yang berkarakter terbuka, lentur, dan cair. Karena itu apapun materi yang diajarkan dalam pendidikan kita mesti menolong peserta didik untuk menumbuhkan karakter diri yang terbuka, lentur, dan cair.
Untuk itulah pendidik dan semua yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan perlu juga menginternalisasi karakter diri yang terbuka, lentur dan cair.
Pendidikan harus menolong peserta didik untuk terampil menghirup realitas dalam konteks, menangkap tanda-tanda perubahan, merancang aksi yang kontekstual, dan melakukan aksi dalam rasa bahagia dan bermakna. Untuk itulah pendidik dan semua yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan perlu juga menginternalisasi karakter diri yang terbuka, lentur dan cair. Mereka harus menjadi pelayan bagi generasi muda, peserta didik kita.
Sekolah dan dunia pendidikan harus dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi komunitas atau ruang dan waktu untuk melatih keterbukaan bekerja sama dengan siapa saja, berkreasi dengan sukacita dan bermakna.
Sikap arogan dan ambisi mewujudkan misi pribadi atau kelompok, baik pada para guru, dosen, lebih-lebih para pejabat pendidikan mulai dari tingkat sekolah sampai negara, hanya akan melahirkan lulusan berkarakter bebek. Mereka akan menjadi generasi yang tidak berguna di zamannya. Pendidikan semacam itu hanya akan melahirkan generasi korban zaman yang telah berubah.
Pengelolaan pendidikan yang tak transparan dan akuntabel, yang masih dihela dalam roh ketakutan dan kecurigaan dalam nuansa kepentingan politis ideologis primordial, adalah bentuk kecerobohan untuk menjatuhkan bangsa dalam jurang keterpurukan amat dalam.
Sidharta SusilaPeminat Pendidikan, tinggal di Semarang.