Meredupnya Asa Guru-guru Honorer Sekolah Negeri
Guru-guru honorer sekolah negeri yang mengabdi bertahun-tahun dengan gaji rendah berharap bisa lulus seleksi guru aparatur sipil negara berstatus PPPK. Namun, mereka justru tersingkir dari sekolah tempat mengabdi.
Seleksi guru aparatur sipil negara berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK awalnya menjadi oase dari penantian panjang ratusan ribu guru honorer di sekolah negeri. Sejak muda berjibaku menjadi guru honorer dengan upah seadanya mereka jalani sepenuh hati dengan satu harapan, suatu saat akan ada jalan untuk sejahtera dan kepastian karir melalui pengangkatan menjadi aparatur sipil negara.
Namun, dua tahap seleksi PPPK yang sudah dilalui pada tahun 2021 justru membuat banyak guru honorer sekolah negeri harus siap-siap melambaikan tangan pada sekolah tempat mereka mengabdi. Keberadaan mereka segera digantikan guru-guru baru, yaitu guru negeri maupun swasta bersertifikat pendidik, bahkan sarjana pendidikan baru lulusan pendidikan profesi guru (PPG).
Musbikhin (44), guru honorer di SD Negeri Pondourip, Kecamatan Petanahan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, sudah 10 tahun menjadi guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Saat dirinya masuk, ada guru pegawai negeri sipil (PNS) PAI yang sakit-sakitan dan sudah hampir pensiun. Dia pun direkrut untuk jadi guru honorer PAI hingga sekarang berdasarkan Surat Keputusan Komite Sekolah.
Saya sebenarnya lulus passing gradedi ranking dua, tapi kalah oleh guru bersertifikat pendidikan
Saat seleksi tahap 1, Musbikhin tak lulus. Padahal di tahap 1 diutamakan untuk guru honorer di sekolah induk. Lalu, pada seleksitahap 2, Musbikhin mantap memilih kembali sekolahnya karena hatinya sudah terpaut dengan siswa dan formasi masih kosong. “Saya sebenarnya lulus passing grade di ranking dua, tapi kalah oleh guru bersertifikat pendidikan,” ujar sarjana PAI tersebut.
Berhubung formasi PAI yang diajukan Pemkab Kebumen tebatas, di tahap 2 pun Musbikhin tidak bisa jadi guru PPPK. Di sekolahnya pun, ia tidak kebagian formasi guru PAI berstatus PPPK.
“Formasi untuk guru PAI di Kabupaten Kebumen sudah habis. Jika ada tahap 3, ya harus daftar ke daerah lain seperti Kabupaten Cilacap. Saya merasa tidak bisa meninggalkan sekolah ini karena merasa terikat dengan anak-anak. Sekolah ini pun tidak mendapat guru PAI. Siapa yang mengajar anak-anak?,”ujar Musbikhin.
Tetap berada di Kebumen penting bagi Musbikhin karena dia juga harus mendapatkan penghasilan tambahan. Gajinya sebagai guru honorer sekolah negeri yang saat ini Rp 750.000 per bulan tak cukup untuk menghidupi keluarganya. Usai pulang sekolah, Musbikhin bekerja di sawah keluarga agar mendapatkan tambahan untuk makan sehari-hari bagi keluarga.
Musbikhin pun ikut aktif memperjuangkan sesama guru honorer. Di awal Januari 2022, dia bersama Forum Guru Honorer Sekolah Negeri Lulus passing grade tak lelah menjumpai pejabat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) hingga wakil rakyat di Komisi X DPR RI untuk memperjuangkan nasib guru-guru honorer sekolah negeri yang justru tersingkir dari sekolah tempat mengabdi dan juga kehilangan kesempatan menjadi guru PPPK.
Baca juga:Rekrutmen Guru PPPK Membawa Masalah bagi Sekolah Swasta dan Sekolah Negeri
Tidak Adil
Sistem kompetisi terbuka dan afirmasi yang tinggi pada pemilik sertifikat pendidikan dirasakan tidak adil bagi guru honorer sekolah negeri yang sudah lama mengabdi. Banyak guru bersertifikat yang passing gradeuntuk tes berada di ranking bawah, tapi terbantu dengan afirmasi sertifikasi pendidik yang tinggi. Sialnya, lama mengabdi guru sekolah guru honorer tak diperhitungkan untuk mendapat tambahan poin.
“Saya jual padi 2 kwintal senilai Rp 520.000 untuk membiayai perjalanan dan akomodasi di Jakarta supaya bisa ikut berjuang bersama teman-teman. Kami menuntut keadilan dari pemerintah untuk para guru honorer sekolah negeri supaya tetap bisa ditempatkan di sekolahnya,” kata Musbikhin.
Rasa sedih dan kecewa juga masih bekecamuk di dada Dimas Afrian Prasetyo (33), guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) SMAN 1 Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Setelah berjuang dua tahap, sebenarnya Dimas yang menjadi guru honorer sejak 2013 lulus passing grade. Namun, dia dikalahkan guru bersertifikat pendidik yang mendapat afirmasi 100 persen.
“Kami tidak akan kecewa jika tes fair. Jangan diadu dengan guru bersertifikat pendidik yang dapat tambahan poinnya besar. Rasanya dapat nilai tinggi pun (ketika) di tes akhirnya jadi ‘sampah’. Itu yang membuat kecewa dari proses seleksi PPPK tahap 2,” tutur Dimas yang mendapat gaji Rp 1,8 juta per bulan dan mencari tambahan dengan menjadi pelatih/wasit.
Dimas mengenang perjuangan merintis PJOK di SMAN 1 Salem yang saat itu merupakan sekolah baru. Sekolah tidak punya lapangan dan hanya memiliki satu, dua bola. Kini, sekolah terus berkembang sehingga butuh tiga guru honorer PJOK. Namun, saat ada kesempatan seleksi PPPK, para guru honorer yang berjuang di sekolah ini tersingkir.
Penantian Yesi Novita, guru honorer di SMPN 12 Sungkai Tengah, Kabupaten Lampung Utara, untuk jadi guru ASN juga terhenti di seleksi tahap 2. Rasa sedih dan kecewa masih sulit terhapus dari hatinya ketika tahu dirinya bakal digantikan guru swasta bersertifikat pendidik. Kebetulan guru tersebut satu grup Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia/ Yesi punya nilai passing grade di atas ketentuan, tapi nilainya tetap kalah jauh dari guru bersertifikat pendidik.
“Karena saat itu saya masih marah, sampai saya bilang di grup WA MGMP, selamat Anda sudah mengambil posisi saya. Sang guru swasta yang menggantikan saya menelpon secara pribadi dan minta maaf. Saya bilang itu bukan salah ibu kok, tapi sistem. Saya marah pada sistem seleksi tahap 2 yang memberi nilai afirmasi sangat tinggi untuk guru bersertifikat pendidik. Ini tidak adil, karena kami pasti akan kalah,” kata Yesi.
Gaji rendah
Sejak lulus tahun 2007, Yesi bersedia jadi guru honorer di SMPN 12 Sungkai Tengah yang awalnya sekolah satu atap. Saat itu, siswa SMP menumpang di SD dan belajar dari siang sampai sore. Yesi naik sepeda motor sekitar satu jam dari tempat tinggalnya melewati kebun-kebun ketika awal mengajar. Daerah tersebut rawan perampokan.
Yesi yang sarjana pendidikan bahasa Indonesia setia mengabdi karena berharap ada kesempatan pengangkatan. SMP ini hanya punya tiga rombongan belajar dengan jumlah siswa di bawah 100 orang. Yesi pun bersedia digaji Rp 20.000 per jam pelajaran.
“Karena sekolah kecil saya hanya dapat 18 jam mengajar. Gaji hanya Rp 360.000 per bulan. Tapi, saya jalani karena berharap nanti bisa ikut seleksi ASN. Tapi, nasib berkata lain,” kata Yesi.
Guru honorer di SMPN 2 Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, Siti Rokhmah (41) bingung memikirkan nasibnya yang nanti harus angkat kaki dari tempatnya mengabdi selama 17 tahun. Setelah gagal di tahap 1, dia berjuang di tahap 2 dan lulus passing grade. Namun, impiannya untuk bisa bertahan di sekolah terenggut oleh guru bersertifikat pendidikan.
“Saya bingung, formasi sudah habis. Tidak mungkin juga menjadi guru di daerah lain karena sudah berkeluarga. Saya hanya berharap ada keadilan buat para guru honorer sekolah negeri yang lulus tespassing grade,” kata Siti yang mendapat penghasilan bersih sekitar Rp 600.000 per bulan.
Dia pernah mendapat panggilan untuk tes mendapatkan sertifikasi guru tapi gagal. Pendampingan untuk bisa lulus pendidikan profesi guru dalam jabatan tak ada, dia berjuang sendiri tapi gagal.
“Saya jadi guru honorer itu ngajarnya macam-macam. Kalau tidak ada guru, ya saya yang ngajar dari pendidikan agama islam, seni budaya, dan prakarya. Ketika guru PNS Bahasa Indonesia pindah, baru saya pegang sebagai guru Bahasa Indonesia sampai sekarang,” cerita Siti.
“Pertarungan bebas” antara guru honorer sekolah negeri dengan guru swasta dan sarjana pendidikan bersertifikat membuat asa yang sempat membara di hati karena di tahap 1 kalah dari guru-guru honorer sekolah negeri berusia sepuh, membuat banyak guru honor sekolah negeri bergelimpangan. Di tahun 2021, dua tahap seleksi PPPK dibuka. Justru di tahap 2 yang diumumkan pada Desember 2021, guru-guru sekolah negeri berguguran.
Banyak yang lulus passing grade atau nilai ambang batas kelulusan untuk tes, tapi dikalahkan oleh guru-guru bersertifikat pendidik yang kebanyakan berasal dari sekolah swasta serta sarjana pendidikan bersertifikat pendidikan.Para guru yang bersertifikat pendidik mendapat afirmasi 100 persen atau 50 poin. Adapun guru honorer sekolah negeri tidak bersertifikat yang berusia di atas 35 tahun hanya mendapat afirmasi 75 poin.
Di tahun 2022 ini, banyak guru honorer sekolah negeri yang pengabdiannya teruji, harus bersiap-siap melambaikan tangan pada para siswa. Harapannya hanya disematkan pada para perjuangan dari organisasi guru/forum guru honorer dan wakil rakyat di DPR RI untuk membuat pemerintah membuat kebijakan yang adil dan berpihak pada para pendidik yang tetap setia berjuang untuk menghadirkan pendidikan bagi anak-anak bangsa saat pemerintah tak sanggup menyediakan guru PNS di banyak sekolah negeri.
Baca juga:Prioritaskan Seleksi PPPK untuk Guru Honorer Sekolah Negeri
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengatakan, pemerintah selama ini absen dalam peningkatan mutu guru honorer. “Tidak adil kalau untuk seleksi guru PPPK yang jadi kesempatan untuk menyejahterakan guru yang sudah membantu pemerintah menghadirkan pendidikan bagi anak-anak bangsa, hanya menuntut kualitas. Harusnya angkat dulu guru honorer sekolah negeri yang sudah berdedikasi, lalu tanggung jawab pemerintah selanjutnya meningkatkan mutu para guru,” kata Huda.