Jejak Bunga di Tepi Jalan
Seniman grafiti, Bunga Fatia, masih setia menorehkan karyanya di tepi jalan. Gaya menggambar khas Bunga sekarang identik dengan garis tegas dan garis lengkung yang abstrak serta memiliki bayangan agar terkesan berjarak.
Ingatan melayang ke jejak nostalgia saat mendengar nama Bunga. Lagu ”Bunga di Tepi Jalan” yang dinyanyikan Koes Plus di era 1970-an langsung terngiang di kepala. Siapa yang menyangka, empat puluh tahun kemudian betul ada sosok Bunga Fatia, si seniman visual, berkarya di tepi jalan.
Bunga tiba di lokasi pemotretan di Temu Rasa, Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (10/12/2021), sekitar pukul 17.45. Kawasan kafe itu tenang layaknya oase di tengah keramaian kota. Di tengah sayup-sayup terdengar hiruk-pikuk bunyi kendaraan bermotor pulang menjelang maghrib, ia segera memoles diri.
Dengan setelan blazer dan celana panjang putih serta blus biru tua, perempuan ini berpose dengan santai di depan rumah joglo. Gaya Bunga yang rapi ini bertolak belakang dengan tampilannya yang biasa santai dengan kaus saat sedang menggambar.
Pemotretan selama 30 menit ini adalah lanjutan dari wawancara daring dan pemotretan di kantor Kompas Gramedia, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu. ”Maaf ya harus buru-buru karena aku harus kirim paket ke Jerman,” ujar Bunga kepada Kompas.
Bunga dikenal awam sebagai seniman visual. Sejak kecil, dirinya telah jatuh cinta pada dunia seni. Kegiatan menari, bermusik, dan bela diri dijajakinya. Namun, dunia Bunga adalah menggambar. Dunia ini diperkenalkan oleh ibunya, seorang guru TK waktu itu.
Ketertarikannya pada dunia grafiti bermula setelah Bunga masuk pesantren setara sekolah menengah pertama di Ulujami, Jakarta Selatan. Dulu, sebelum ada jalan tol, banyak tembok dengan gambar grafiti berdiri. Dari situlah perempuan ini terinspirasi bahwa media gambar tak terbatas kertas semata.
Bunga mulai tertarik pada dunia grafiti pada 2006. Ia belajar secara otodidak. Ia mencari cara agar bisa menggambar di tembok menggunakan cat semprot. Di rumahnya di Tangerang Selatan, Bunga mulai ”merajah” tembok kamar dan kamar mandi. Kamar dan kamar mandi adiknya dan loteng juga jadi sasaran.
Masih kurang, ia menggambar di tembok rumah para tetangga. Kelakuannya di masa lalu itu sempat membuat tetangga berkomentar; ”Udah ya Bunga, udah kebanyakan”. Beruntung ayah dan ibunya maklum karena sama-sama berlatar belakang seni.
Tahun 2011, Bunga semakin menyelami dunia grafiti Indonesia. Ia mulai mencari komunitas seni untuk berjejaring dengan para street artist. Kebetulan perempuan ini hampir setiap hari berselancar di Tembok Bomber, sebuah situs seni jalanan di Indonesia. Bunga jadi tahu tentang kegiatan komunitas seni jalanan dari situ.
”Aku ingin tambah terus kenalannya karena masih muda juga. Jadi aku selalu lihat event di medsos terus ke Jakarta naik bus. Kalau ada kesempatan main pasti dikejar. Makanya kalau ditanya base aku di mana bingung jadi aku jawab Indonesia aja,” tutur puan berambut lurus ini.
Perias tembok
Bunga lulus kuliah tahun 2014. Pada tahun yang sama, ia menginisiasi gerakan Ladies on Wall. Sesuai arti namanya, gerakan yang pertama di Indonesia ini merangkul para seniman grafiti perempuan.
Berkat bantuan Ones dari komunitas Artcoholic, Bunga berkenalan dengan Zero, seniman visual asal Singapura. Ia diajak untuk menggambar di acara The Rebel Daughters di ”Negeri Singa”. Kesan mendalam tertancap di hati Bunga karena dapat berinteraksi dengan seniman perempuan lintas negara.
Ide membuat gerakan serupa untuk memacu ekspresi ”para perias tembok” perempuan di Indonesia pun lahir. Lebih-lebih pada awal Bunga terjun ke dunia grafiti, seniman perempuan bisa dihitung jari sebab malu tampil. Dia hanya mengenal dua orang. Satu orang di berdomisili Bandung dan satunya di Tangerang.
Usaha kerasnya membuahkan kegiatan perdana Ladies on Wall yang berlangsung di tembok di daerah Pondok Indah, Jakarta. Kegiatan ini diikuti sembilan perempuan, antara lain dari Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Beberapa dikontak lewat Facebook. ”Sebenarnya ini ingin menyatukan tembok dan perempuan. Ternyata mereka senang ada gerakan ini,” kata Bunga.
Acara menggambar Ladies on Wall menjadi acara tahunan. Mereka menggambar bergantian di kota berbeda, seperti Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Bandung. Gerakan ini juga menjelma menjadi ruang berjejaring bagi mereka mendapatkan tawaran pekerjaan. Karya para anggota juga sering diunggah ke media sosial Ladies on Wall.
Satu kebanggaan Bunga adalah Ladies on Wall mendapat dukungan seniman grafiti laki-laki dan jenama lokal. Sebuah perusahaan cat semprot ternama asal Jerman turut menjadi sponsor.
Ladies on Wall bahkan memiliki satu cabang di luar negeri. Sarah Sculley, seniman grafiti perempuan asal Australia, pernah mengikuti acara di Jakarta dan tertarik membuat inisiatif serupa di Brisbane. Ladies on Wall Australia resmi meluncur pada 8 Maret 2021, tepat pada Hari Perempuan Internasional. Bunga sampai terharu saat mendengar kabar ini.
Perkembangan luar biasa Ladies on Wall bukan tanpa halangan. Kesuksesan berjejaring di dalam dan luar negeri, bekerja sama dengan jenama, mengikuti banyak acara, serta mendapat sponsor mengundang rasa iri. Apalagi, sebagai perempuan, Bunga mengaku teknik mereka belum sejago seniman laki-laki yang telah lama berkecimpung lama di dunia grafiti.
”Beberapa orang pernah mengata-ngatain aku lewat temanku bahwa aku dan skill-ku enggak pantes malah mau buat workshop. Padahal konsep Ladies on Wall juga untuk mendukung perempuan yang mau terjun, bukan berkompetisi. Aku sempat down waktu tahu, apalagi waktu itu lagi hamil muda,” tutur Bunga yang akhirnya belajar untuk memilih teman.
Jumlah seniman yang pernah aktif terlibat dalam Ladies on Wall sekitar 60 orang dari sejumlah kota. Mereka biasanya bergabung dengan komunitas lain di daerah masing-masing atau jalan sendiri. Sayang, belakangan masing-masing mulai sibuk sendiri atau terdampak pandemi. Sisa lima orang yang masih aktif.
Identitas diri
Jalan sebagai seniman visual dijalani Bunga dengan tak mudah. Identitasnya sebagai seniman dan perempuan ternyata saling memengaruhi. Dinamika ini tecermin ketika dirinya mengambil keputusan personal sebagai seorang individu perempuan.
Awal-awal terjun sebagai di dunia grafiti, Bunga banyak dikagumi khalayak umum sebagai seniman grafiti berkerudung. Namun, hati Bunga ingin memakainya ketika sudah benar-benar siap. Setelah satu dekade memakai kerudung, Bunga memutuskan untuk melepaskannya pada 2014. Berat memang.
Banyak komentar publik menyerang media sosialnya selama dua tahun. Tantangan ini jarang dialami oleh seniman grafiti laki-laki. Laki-laki tidak harus memakai atribut tertentu untuk dianggap alim atau menarik. Bunga sampai sempat membuat dua akun medsos untuk keperluan personal dan khusus grafiti demi menghindari komentar pedas.
”Keputusan itu gak ada hubungannya dengan street art. Seni grafiti bisa menerima segala bentuk kita, ini lebih ke kejujuran aku ke diri sendiri,” tutur Bunga.
Dalam berkarya pun, Bunga membutuhkan waktu 10 tahun untuk menemukan gaya menggambar sesuai kepribadiannya. Di masa lalu, gambar Bunga sering mengikuti permintaan konsumennya. ”Aku tumbuh dalam zona nyaman. Mungkin karena seniman visual cewek sedikit, gambar apa saja dibilang bagus jadi gak ada tuntutan secara teknik,” tuturnya.
Namun, Bunga terus berlatih, berlatih, dan berlatih. Kekhasannya akhirnya ditemukan tahun ini. Jika dijabarkan, gaya menggambar khas Bunga sekarang identik dengan garis tegas dan garis lengkung yang abstrak serta memiliki bayangan agar terkesan berjarak.
Garis-garis ini menyimbolkan bagaimana dia berusaha memisahkan kepribadian di lingkup keluarga, pertemanan, dan pekerjaan. Kecenderungan ini Bunga peroleh ketika bekerja di industri perhotelan hingga 2017, sebelum memutuskan menjadi seniman penuh waktu. Bunga juga belajar untuk bersikap dengan halus, tetapi tegas, yang tercermin dalam gradasi warna halus pada karyanya.
Gambar Bunga identik dengan warna khas senja, yakni ungu, merah muda, oranye, putih, dan hitam. Ini ada sejarahnya. Langit senja merupakan pengingat Bunga harus berpisah dengan teman-teman setelah bermain saat kecil. Namun, memori tentang langit senja menjadi hangat setelah dewasa karena Bunga biasa berkumpul dengan teman-teman kuliah di waktu itu.
Penemuan gaya khas Bunga itu tak lepas salah satunya berkat kelahiran putrinya pada 2018. Menjadi seorang ibu tentu adalah pengalaman baru baginya. Pengalaman di antara hidup dan mati baik secara fisik dan mental itu memoles karakter Bunga.
”Karyaku sekarang lebih fokus dan tahu identitasku apa. Karena aku jadi lebih selektif dalam hal apa pun, membedakan mana hal yang penting dan mana yang enggak. Mana yang perlu dipikirkan dan yang enggak. Hasil ujian aku sebagai ibu sekitar 80 persen menjadi ingredients dalam karyaku sekarang,” kata pengagum Felipe Pantone ini.
Terjun ke dunia grafiti adalah hal yang tak pernah Bunga bayangkan. Ia sudah melanglang buana di dalam dan luar negeri, antara lain ke Jerman, Singapura, Thailand, Malaysia, Jepang, dan Filipina. Karyanya sudah tidak terbatas pada tembok, tetapi juga obyek lain, seperti tas, baju, pot tanaman, dan perabot.
Baca juga : Lala Bohang, Perempuan Berimajinasi Rindang
Bunga sadar fisik dan umurnya membuatnya tak bisa terpaku dengan berkarya di jalanan. Ia kini sedang berusaha agar karya-karyanya semakin dikenal orang sembari menyeimbangkan prioritas antara keluarga dan kegemarannya itu. Ya, seni jalanan adalah renjana Bunga.
”Saat menggambar itu terasa seperti terjun di dunia sendiri. Mungkin sama seperti orang lain, ini adalah hobi yang membahagiakan. Tapi, ini juga menjadi terapi buat aku, saat aku stres menghadapi masalah, aku memindahkan hal yang enggak aku suka ke tembok,” kata Bunga.
Bunga Fatia
Lahir: Jakarta, 5 Oktober 1990
Pendidikan terakhir: S-1 Program studi Desain Komunikasi Visual Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang (2009-2014)
Pekerjaan:
- Seniman visual
- Pendiri Ladies on Wall (2014)
Suami: Safrie Effendi
Prestasi:
- Mengadakan pameran seni virtual tunggal ”Alphabet House”, Januari 2021
- Memprakarsai dan mengelola pameran seni kolektif ”kARTini”, Tangerang Selatan, Indonesia, 2021
- Mewakili Indonesia dalam acara graffiti perempuan internasional Finlandia ”Mimmit Peinttaa”, 2020
- Perjalanan grafiti kelima tujuan Osaka, Jepang, 2018
- Berpartisipasi dalam festival mural ”ASEAN-ROK 50th Anniversary” di Manila, Filipina, 2018
- Perjalanan grafiti keempat tujuan Singapura, Singapura, didukung oleh Singapore Tourism Board, 2017
- Perjalanan grafiti ketiga tujuan Berlin, Jerman, 2017
- Perjalanan grafiti kedua tujuan Kuala Lumpur, Malaysia, 2016
- Perjalanan grafiti pertama tujuan Bangkok, Thailand, 2015
- Berpartisipasi dalam acara grafiti perempuan internasional ”The Rebel Daughters”, Singapura, Singapura, 2014
- Berpartisipasi dalam festival seni dan makanan ”ARTE”, Jakarta, Indonesia, 2013
- Berpartisipasi dalam pameran seni rupa ”Jakarta 32°”, Jakarta, Indonesia, 2012
- Berpartisipasi dalam pameran seni rupa ”Firstart”, Tangerang, Indonesia, 2011
- Berpartisipasi dalam pameran seni rupa ”Quo Vadis?”, Tangerang Selatan, Indonesia, 2010