Menopang Gerak Lambat Indeks Pembangunan Manusia
Memahami angka statistik yang bergerak pada masa krisis butuh pemahaman lebih luas untuk bisa mencermati keterhubungan fenomena yang ada.
Harian Kompas (Sabtu, 20/11/2021) menjelaskan kualitas pembangunan Indonesia sesuai dengan angka Indeks Pembangunan Manusia yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2021.
Memahami angka statistik yang bergerak pada masa krisis butuh pemahaman lebih luas untuk bisa mencermati keterhubungan fenomena yang ada.
Tumbuh melambat
Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2021 naik 0,35 poin dari 2020 atau naik sekitar 0,49 persen. Artinya, IPM tumbuh melambat di 2021. Memahami tumbuhnya IPM, meski melambat, pada masa pemulihan menjadi penting untuk menjawab pertanyaan mengapa pada masa krisis IPM bisa naik meski melambat.
Dimensi pertama dari IPM adalah umur harapan hidup (UHH) saat lahir. Pada 2021, angka UHH sebesar 71,57 tahun. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2020 yang hanya 71,47 tahun. Jika dibandingkan dengan 2019 sebelum masa pandemi, UHH pada 2020 tetap meningkat 0,13 tahun. UHH sendiri dihitung dengan melibatkan angka anak lahir hidup dan angka anak masih hidup.
Pada masa pandemi angka anak lahir hidup dan anak masih hidup tak terpengaruh secara langsung. Kedua hal ini bisa terkait dengan fasilitas kesehatan yang ada, imunisasi yang didapatkan bayi, penolong saat kelahiran, dan sanitasi yang tersedia.
Selama masa pandemi, pemerintah telah berupaya melakukan isolasi pada penderita Covid-19 agar sebisa mungkin pasien Covid-19 tak bercampur dengan pasien umum, termasuk ibu melahirkan.
Pelayanan imunisasi tetap diupayakan untuk dilaksanakan pada masa pandemi meski ada beberapa kendala, seperti pembatasan sistem transportasi dan distribusi vaksin yang mungkin ikut terganggu.
Proses kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan dapat berjalan dengan pengawalan protokol kesehatan yang kuat hampir di setiap rumah sakit. Ketersediaan sanitasi yang layak tak banyak berkurang saat pandemi.
Berdasarkan data Satgas Covid-19, kematian yang diakibatkan oleh Covid-19 lebih dominan terjadi pada kelompok usia di atas 60 tahun, yaitu 67.187 orang. Adapun kelompok usia 0-5 tahun sebanyak 683 orang, usia 6-18 tahun sebanyak 717 orang, usia 19-30 tahun sebanyak 4.182 orang, usia 31-45 tahun sebanyak 18.478 orang, dan usia 46-59 tahun sebanyak 52.271 orang.
Baca juga : Kabar Baik, Kualitas Manusia Indonesia Meningkat
Dimensi pengetahuan dilihat dari harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 25 tahun ke atas. Saat pandemi belum terjadi pada 2019, rata-rata lama sekolah 8,34 tahun.
Saat Indonesia memasuki masa pandemi pada 2020, rata-rata lama sekolah meningkat meskipun hanya 0,14 tahun. Sementara pada 2021, rata-rata lama sekolah meningkat 0,06 tahun.
Masa pandemi yang berlangsung pada 2020 sampai dengan 2021 tak secara langsung memengaruhi rata-rata lama sekolah. Indikator lama sekolah melekat pada individu dan nilainya tak berkurang atau minimal sama sepanjang tidak terjadi migrasi besar-besaran atau kematian yang sangat tinggi.
Angka harapan lama sekolah sebelum pandemi pada 2019 sebesar 12,95 tahun. Saat pandemi mendera pada 2020, indikator ini tercatat sebesar 12,98 tahun, meningkat hanya sebesar 0,03 tahun. Pada 2021 di saat pandemi mencapai titik puncak, angka harapan lama sekolah meningkat sebesar 0,10 tahun menjadi sebesar 13,08 tahun.
Harapan lama sekolah lebih menunjukkan lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan akan dirasakan oleh anak usia tujuh tahun di masa mendatang. Masa pandemi tak serta-merta mengakibatkan berubahnya status partisipasi sekolah. Hal ini disebabkan situasi pandemi lebih berdampak pada mengubah cara pembelajaran dari tatap muka menjadi daring.
Dimensi standar hidup layak digambarkan oleh pengeluaran riil per kapita per tahun. Indikator ini merupakan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh setiap orang selama setahun yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli.
Saat belum memasuki pandemi pada 2019, pengeluaran riil per kapita per tahun Rp 11.299.000. Ketika Indonesia memasuki masa pandemi pada 2020, indikator ini turun Rp 286.000 menjadi Rp 11.013.000. Sementara pada 2021 pengeluaran riil per kapita per tahun naik dari Rp 143.000 menjadi Rp 11.156.000.
Masa pandemi memberi dampak turunnya pengeluaran riil per kapita per tahun masyarakat dari tahun sebelumnya. Turunnya pengeluaran riil per kapita per tahun menunjukkan turunnya daya beli masyarakat.
Tahun 2021, sejalan dengan upaya pemulihan yang dilakukan, pengeluaran riil per kapita per tahun dapat kembali naik, tetapi belum mampu mencapai lebih tinggi dari angka sebelum pandemi (2019).
Strategi ke depan
Melihat IPM pada masa pandemi, dapat diketahui bahwa dua dimensi, yaitu kesehatan dan pengetahuan/pendidikan, tak terlihat terdampak secara langsung. Dampak pandemi lebih terlihat pada dimensi ketiga, yaitu dimensi standar hidup layak yang dilihat dari pengeluaran riil per kapita per tahun.
Pemulihan yang diupayakan sudah terlihat berdampak memperbaiki standar hidup, tetapi belum mampu mengembalikan kondisi pada saat sebelum terjadinya pandemi.
Dalam upaya peningkatan IPM di sejumlah wilayah, upaya dapat diprioritaskan pada penguatan pada angka pengeluaran riil per kapita per tahun masyarakat, karena masa pandemi lebih berdampak secara langsung pada dimensi standar hidup layak, dalam hal ini diukur melalui angka pengeluaran riil per kapita per tahun.
Diperlukan sebuah strategi untuk meningkatkan akses penduduk pada hasil pembangunan. Pelaksanaan pembangunan sendiri telah menghadapi tantangan pada masa pandemi. Sumber daya yang ada difokuskan pada penanganan pandemi.
Hal terberat adalah gerak ekonomi yang terganggu karena berbagai kebijakan harus ditegakkan agar empasan Covid-19 tak meluas.
Pemerintah sudah mengambil langkah-langkah penting terkait pemulihan dari dampak pandemi. Optimalisasi peran pemerintah di tingkat pusat dan daerah, serta implementasi strategi yang sudah ditetapkan secara cepat untuk pemulihan ekonomi, akan sangat menentukan.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan pemda adalah mencermati pola dampak pandemi di wilayah masing-masing.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan pemda adalah mencermati pola dampak pandemi di wilayah masing-masing. Secara global mungkin dapat dikatakan bahwa dampak utama pandemi adalah gerak ekonomi, tetapi pola dampak pada tiap wilayah akan sangat berbeda.
Sebagai contoh, jika sebuah wilayah sebagian penduduknya adalah pekerja buruh, maka dampak pandemi sangat memukul wilayah itu, karena banyak industri yang menghentikan kegiatannya.
Kejelian pemda dalam melihat adanya peluang industri rumah tangga di wilayah ini (misal pembuatan makanan dan lain-lain) menjadi penting. Di wilayah yang berbeda, pola yang terlihat mungkin lebih pada kebutuhan pada kemudahan akses modal bagi pengusaha menengah.
Penguatan jejaring kerja pemda untuk menggandeng setiap pemangku kepentingan yang memiliki potensi mendorong titik gerak ekonomi masyarakat menjadi penting. Penguatan jejaring kerja ini tak hanya terbatas pada industri yang sudah ada, tetapi juga dapat melibatkan perguruan tinggi, khususnya dengan kegiatan kampus merdeka dan penelitian-penelitian yang dilakukan.
Porsi kajian dapat dilakukan oleh perguruan tinggi, pemerintah menyusun strategi dan mengawal teknis dan koordinasi.
Penataan regulasi terkait kegiatan ekonomi, khususnya UMKM, juga sebaiknya dicermati agar memudahkan pelaksanaan kegiatan ekonomi. Perlu pencermatan agar regulasi yang ada tidak tumpang tindih dan efisien.
Dengan strategi yang tepat berbasis pola dampak, intervensi yang dilakukan dapat lebih tepat, dan pada akhirnya akan mendorong dimensi IPM yang paling terdampak, yaitu pengeluaran riil per kapita per tahun.
Margaretha Ari Anggorowati, Statistisi Ahli Madya BPS