Isha lahir di Jakarta, 3 Agustus 1986, saat azan berkumandang di malam hening. Maka, nama indah Isha Hening pun disematkan padanya. Lengkapnya Isha Arumsa Hening.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Darah seni yang mengalir di tubuh Isha Hening (35) dari sang ayah, pelukis Haris Purnomo, serta kecintaannya pada komputer membuka jalan bagi Isha untuk berkarya sebagai seorang seniman visual. Melalui karya-karyanya yang penuh warna dan bergaya psikedelik, Isha yang introver terus bersuara dengan lantang.Isha lahir di Jakarta, 3 Agustus 1986, saat azan Isha berkumandang di malam hening. Maka, nama indah Isha Hening pun disematkan padanya. Lengkapnya Isha Arumsa Hening.
Tak dinyana, Isha tumbuh menjadi seorang pemuja keheningan. Bagi Isha kecil, berdiam di rumah jauh lebih menyenangkan ketimbang bermain di luar seperti anak-anak seusianya. Membaca dan bermain catur menjadi pilihannya untuk mengisi waktu.
Menjelang dewasa, Isha menemukan keasyikan pada komputer. Minatnya yang kuat pada hal-hal yang berbau teknis membawanya pada eksplorasi yang semakin jauh pada komputer.
Didukung minatnya pada dunia seni rupa, jalan Isha terbentang di depan mata. Isha bahkan mendapat kebebasan untuk menimba ilmu di bidang seni rupa. ”Jadi, kalau mungkin sering dengar anak-anak lain enggak boleh kuliah seni rupa, bapakku malah bilang kamu kalau mau kuliah seni rupa, ya, yang bener kuliahnya. Kampusnya mesti yang bagus, jangan asal-asalan,” tutur Isha, Kamis (23/9/2021) siang.
Percakapan berlangsung secara daring melalui aplikasi Zoom di tengah jadwalnya yang padat menyelesaikan proyek dari klien-klien di Tanah Air dan di luar negeri. Selama pandemi, pekerjaan justru mengalir deras. Salah satunya pekerjaan dari sebuah klub di Las Vegas, Amerika Serikat.
Tak terhitung proyek-proyek lain yang dikerjakannya, termasuk bekerja sama dengan bintang-bintang musik ternama hingga skala internasional. Kini, Isha tak bisa dipisahkan dari dunia visual, bahkan menjadi salah satu seniman visual populer di Tanah Air yang karya-karyanya selalu diburu dan ditunggu. Namanya harum.
Karya-karyanya yang penuh warna, disebut-sebut bergaya psikedelik. Dari karya-karya itu tergambar jalan panjang ketekunan dan keseriusan Isha dalam melakukan pekerjaan yang membesarkan namanya sebagai seniman visual.
Otodidak
Jika dirunut ke belakang, awal perkenalan Isha dengan dunia motion graphic atau desain grafis bergerak terjadi saat kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Di tahun terakhir kuliah, Isha mengambil subjurusan multimedia yang membuatnya berkesempatan mempelajari animasi, gim, dan hal lain yang ’berbau’ visual.
Ketertarikannya pada dunia desain grafis bergerak makin kuat saat Isha mengenal Openlabs, sebuah komunitas yang banyak mengeksplorasi musik elektronik dan media-media baru. Isha belajar banyak. ’Dari situ, aku tahu soal VJ (Visual Jockey), tahu software-software-nya, terus caranya gimana. Itu antara tahun 2007 dan 2008,” kenang Isha.
Periode itu, tidak mudah bagi Isha untuk memenuhi dahaganya pada dunia desain grafis bergerak. Sumber-sumber yang ada sangat terbatas. Youtube, sebagai salah satu kanal pembelajaran, belum leluasa untuk diakses seperti sekarang.
”Jadi memang 80 persen ya ngulik sendiri, memang beneran ngabisin waktu di depan komputer. Otodidak. Kalau sekarang kan enak, tinggal cari corel banyak banget,” ujarnya.
Dia pantang menyerah. Kata-kata sang ayah, tentang komitmen dan menjalani pilihannya dengan benar, membuat Isha terus mencari dan belajar, menuntaskan dahaganya. Keringat dan air mata yang kadang tercurah tak membuatnya surut dan padam.
”Aku selalu nge-treatmotion graphic ini kayak temen. Aku ngerasa ini adalah hal yang bisa aku kontrol, kan orang hidup ada aja kejadian-kejadian personal, tetapi motion graphic ini selalu jadi consolation (penghiburan) aku. Aku enggak pernah menganggap motion graphic cuma sebagai apa yang aku lakukan. This is a life I\'ve signed with, makanya aku enggak pernah capek atau bosen,” ungkap Isha.
Saat sedih, Isha membuat karya, begitu pun saat gembira. Semua tertuang secara lugas pada karya-karyanya. Referensi dalam berkarya banyak dia dapat dari buku-buku favoritnya, seperti buku-buku karya JD Salinger, Margareth Atwood, dan bermacam buku filosofi.
Kompleks
Memasuki tahun ketiga, Isha semakin mantap menekuni dunia visual. Terlebih, pekerjaan yang dilakoninya juga memberikan imbal balik yang sepadan dari sisi finansial. Namun, jalan tak selalu mudah.
”Yang paling bikin stres kebanyakan karena mayoritas orang enggak paham seberapa kompleks dan susahnya pekerjaanku ini. Karena kita pakai komputer, orang persepsinya, oh, gampanglah. Tapi, ini beda sama kerjaan manual, misalnya ngelukis pakai cat. Orang lihat prosesnya, kelihatan kerja kerasnya. Kalau di motion, susah untuk men-translate ke orang kalau ini tuh technical, we need more time, more resources. Kayak gitu-gitu,” papar penggemar musik metal yang hobi memasak ini.
Terlebih karakter setiap proyek tidak selalu sama. Ada kalanya Isha lebih banyak menjadi visual jockey, misalnya di ajang-ajang seperti Djakarta Warehouse Project. Ada kalanya Isha membuat produk berupa video mapping atau latar panggung di sebuah konser atau festival musik. Belakangan, Isha juga membuat instalasi seni.
”Yang paling banyak harus diurus sih teknikalnya. Misalnya ukuran screen-nya berapa, terus inputnya apa. Kalau aku bikin kerjaan visual buat konser, selain urusan teknikal ya awalnya pasti harus dengerin lagunya dulu, terus ngayal-ngayal ini visualnya bagusnya apa, mau bikin 3D, mau bikin gambar tangan, atau mau bikin desain grafis. Makanya, kadang kompleks kerjaannya,” kata Isha.
Tak hanya itu, perlakuan yang meremehkan kemampuannya sebagai perempuan yang sudah malang melintang di dunia visual lebih dari 10 tahun pun tak pernah hilang. Acapkali, saat rapat membahas hal-hal teknis, suara dan pendapat Isha tak didengar.
”Sering banget. Kadang kesel. Ini kan udah 2021, masak masih aja kayak gini,” katanya sebal. Belakangan, Isha belajar untuk tak terlalu menghiraukannya dan memilih berbicara lebih lantang melalui karya-karyanya.
Bagaimanapun, saat ini situasi sudah jauh lebih baik. Khususnya di dunia visual panggung. ”Aku cukup mengalami industrinya. Dari enggak terlalu dihargain sampai akhirnya mulai disadari jadi elemen yang cukup penting di dunia seni pertunjukan. Sebelumnya bener-bener kayak tukang, kayak penyedia konten aja, belum ada aspirasi yang didengerin,” kata Isha.
Di sisi lain, perkembangan di dunia CGI (computer-generated imagery atau pencitraan hasil komputer pun sangat pesat. Selalu ada hal baru untuk terus dipelajari dan dieksplorasi, baik dari sisi teknikal maupun ide seperti keinginan Isha.
Impiannya adalah membuat karya-karya yang jujur, karya yang dibuat bukan karena tren atau bukan karena penilaian bagus dari khalayak. ”Aku pengin bisa lebih banyak membuat karya yang bener-bener pengin aku bikin,” harap Isha.