Pemerintah daerah tidak leluasa mengelola vaksin yang sudah dialokasikan dari pusat. Vaksin-vaksin itu bagaikan vaksin titipan, yang ”numpang” lewat di luar jalur pengelolaan pemda.
Oleh
Irene Sarwindaningrum/Insan Alfajri/Dhanang David Aritonang/Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski vaksin Covid-19 dari pusat didistribusikan ke daerah, pemerintah setempat tidak dapat mengelola vaksin seluruhnya. Sebagian vaksin tersebut sudah ditentukan penerima ataupun lokasi vaksinasinya. Kondisi ini membingungkan pemerintah daerah sehingga mereka tak bisa menyalurkan vaksin sesuai rencana dan sasaran prioritasnya.
Di sejumlah gudang vaksin pemerintah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, 30 Juli-5 Agustus, terlihat vaksin kiriman pusat yang alokasi penerimanya sudah ditetapkan dari Kementerian Kesehatan. Para penerima vaksin ini merupakan kolaborator penyelenggara vaksin, mulai dari institusi negara hingga pihak swasta. Kiriman untuk kolaborator tersebut hanya vaksin titipan yang tak bisa langsung digunakan oleh pemerintah daerah karena harus dibagikan kepada kolaborator penerima.
Gudang Vaksin Dinas Kesehatan Jawa Tengah di Semarang, Jumat (30/7/2021), baru saja menerima kiriman vaksin Sinovac dari Jakarta sebanyak 12.456 vial. Dari jumlah itu, hanya 4.980 vial yang merupakan jatah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Adapun lainnya, sebesar 7476 vial dibagi sebanyak 3.378 vial untuk TNI dan 3.378 vial untuk Polri.
Vaksin itu datang dalam satu paket yang nantinya harus dipilah petugas Gudang Vaksin Dinas Kesehatan Jawa Tengah untuk dibagikan kepada para kolaborator. Selain vaksin yang baru datang, di gudang itu juga masih ada ribuan vial vaksin Sinovac yang dialokasikan untuk Otoritas Jasa Keuangan yang tengah menggelar vaksinasi di Jawa Tengah.
Sepekan sebelumnya, Gudang Vaksin Dinas Kesehatan Jawa Tengah itu juga menerima kiriman dari pusat berupa belasan ribu dosis vaksin Sinovac alokasi Partai Golkar untuk sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Tengah. Alokasi penerima dan daerah sudah ditetapkan di tingkat pusat.
”Kami baru tahu ada kiriman vaksin untuk alokasi Partai Golkar di sini setelah ditelepon pihak Kementerian Kesehatan yang menginformasikan, kemudian terbit surat dari Kementerian Kesehatan juga untuk alokasi itu,” kata Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah Yulianto Prabowo.
Sementara pelaksanaan vaksinasi Partai Golkar menggunakan tenaga kesehatan (nakes) di puskesmas-puskesmas di Klaten untuk melakukan vaksinasi massal sebanyak 9.550 dosis pada awal Agustus lalu. Adapun saat peluncuran vaksinasi itu, yaitu sebanyak 450 dosis di Kantor DPD Partai Golkar Klaten, panitia menggunakan nakes dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Aisyiyah Klaten.
Kondisi serupa terlihat di Gudang Vaksin Dinas Kesehatan Kota Bogor. Senin (2/8/2021), gudang ini tidak hanya menyimpan vaksin pemerintah daerah, tetapi juga vaksin partai politik dan perusahaan swasta.
Wali Kota Bogor Bima Arya pernah menerima kiriman vaksin dari pusat. Namun, pemda justru tak memperoleh bagian vaksin. Padahal, pemda membutuhkan vaksin untuk mengatasi krisis di suatu area. ”Misalnya ada beberapa kecamatan yang masih rendah vaksinasinya kemudian minta kami, kami tidak bisa kasih begitu saja. Karena yang mengadakan vaksin kolaborator, seperti TNI, Polri, dan parpol,” kata Bima Arya.
Sama halnya di Jawa Tengah, di Jawa Barat, vaksinasi entitas non-pemda sering melibatkan nakes dari fasilitas kesehatan pemerintah. Situasi ini memberatkan nakes karena selain jumlahnya terbatas, sebagian dari mereka terpapar virus Covid-19. Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno pernah menerima permintaan nakes kolaborator, sementara saat itu 400 nakes Kota Bogor menjalani isolasi mandiri.
Sejumlah kepala daerah mengusulkan agar ada perbaikan sistem distribusi vaksin. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan, sering kali vaksin datang ke gudang penyimpanan hanya numpang lewat sebagian. Sebab, daftar penerima vaksin sudah diatur Kementerian Kesehatan. Kamil berusaha melobi pemerintah pusat agar pengelolaan vaksin di daerah diserahkan ke level provinsi saja. Pertimbangannya, pemda lebih paham performa kabupaten/kota secara riil.
”Kami ingin memotong alur. Serahkan kami, kami yang atur, berapa ke wilayah-wilayah mana saja yang membutuhkan. Jika dengan pola alokasi yang sudah ditentukan dari pusat, kami hanya jadi tukang pos saja,” kata Kamil.
Saat ini, Jawa Barat juga baru bisa memenuhi 60 persen dari infrastruktur kesehatan yang dibutuhkan untuk kondisi vaksinasi ideal, termasuk masih kurangnya jumlah nakes. Kamil tidak menolak kolaborasi. Justru, dia mengundang banyak pihak untuk menjadi panitia vaksinasi dari pihak non-pemerintah. Hal itu, di antaranya, untuk mengisi kekurangan 40 persen di infrastruktur kesehatan yang dimiliki pemerintah.
Dicky Budiman, epidemiolog Centre for Environmental and Population Health, Griffith University, Australia, mengatakan, operasionalisasi vaksin harus dikendalikan otoritas kesehatan setempat, dalam hal ini dinas kesehatan. Program vaksinasi tak bisa diserahkan begitu saja tanpa adanya koordinasi yang dipimpim otoritas kesehatan setempat. Hal ini karena kolaborator di luar otoritas kehatan tak punya keterikatan secara fungsi layanan. Dampaknya, program vaksinasi bisa dilakukan dalam bentuk amal saja.
”Di sini, pemerintah harus betul-betul menjadi leading sector, keterlibatan mereka harus dalam ruang lingkup dan arahan dinas kesehatan. Kalau tidak, ini akan buat masyarakat jadi korban,” katanya.