Bibi Sandita
Lukisan itu adalah gambaran Bibi dalam penampakan setengah badan, bersanggul, dan mengenakan kebaya warna abu-abu.
Kami tak ingat kapan tepatnya mulai memanggilnya “bibi”. Ia bukan bibi saya, bukan pula bibi mereka. Kami, utamanya saya, masih sangat hijau saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah kedua Wak Samiaji. Saya hanya ingat kala itu usia saya dua belas tahun lebih dua pekan, sementara usia Kartika dan Anjani mungkin satu atau dua tahun lebih tua dari saya. Pada kedatangan kali pertama itulah kami mendengar seseorang melontarkan panggilan “bibi” pada orang yang saya maksud di kalimat pembuka. Kami kemudian tak bisa untuk tidak turut memanggilnya “bibi”. Bibi Sandita, demikianlah lengkapnya.
Perlahan namun pasti kami kemudian tahu hubungan Bibi Sandita dengan keluarga Wak Samiaji. Tak ada hubungan darah di antara mereka, ya, mereka tak punya hubungan saudara yang bermuara di satu nenek buyut. Demikianlah. Namun sama sekali tak layak bagi saya menyebut Bibi Sandita sebagai pembantu, kendati pada kenyataannya ia memang bekerja untuk keluarga itu. Lagipula saya sering mendapati seluruh anggota keluarga begitu menaruh segan pada perempuan berparas ayu dan molek dan berpembawaan kalem itu. Bukan Wak Samiaji saja, namun juga istri pertama dan keduanya, juga lima orang anak dari kedua istri tersebut.
Sebelum lebih jauh menceritakan perihal Bibi, saya merasa perlu memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya… ah, pentingkah saya menyebut tetek-bengek perihal nama? Saya kira itu tidaklah penting, malahan akan memakan banyak waktu. Di paragraf ini barangkali saya hanya perlu memperkenalkan daerah asal saya yang berletak di kaki bukit, sejarak tiga belas kilometer dari rumah kedua Wak Samiaji.
Kau bisa bayangkan rumah kecil di kaki bukit, berdinding bambu, dan cukup purba untuk menampung riwayat hidup lima penghuni di mana saya merupakan salah satunya. Rumah itu, yang berdinding bambu dan tampak purba dan hanya bertetanggakan dua rumah lain, mesti menemui takdir terakhir sebagai sesuatu yang ringsek, berujung jadi puing-puing tak berperangai.
Longsoran dari lereng bukit telah menimbunnya bersama ibu, nenek, ayah, dan adik laki-laki saya yang kala itu berusia delapan tahun. Tubuh saya pun tak luput dari timbunan yang berwarna gelap dan menghimpit juga menyesakkan itu. Singkatnya, lima jam kemudian, satuan kru penyelamat mengumumkan kematian empat anggota keluarga saya bersama seluruh anggota keluarga orang-orang baik yang jadi tetangga saya. Saya bersedih, tentu saja, dan saya tak tahu bagaimana cara meneruskan dan menyiasati hidup seorang diri ini. Tujuh hari tujuh malam saya diungsikan di satu ruang tak terpakai di satu sudut kantor desa. Satu-dua orang memberi saya makan, beberapa yang lain menyumbangkan kudapan dan peralatan mandi dan selembar kain sarung sebagai selimut. Saya merasa lebih aman, tapi kesedihan belum juga hilang kendati tiap habis maghrib kepala dusun bersama beberapa orang menghelat selamatan untuk keluarga saya.
Saya tetap bersedih sebelum seseorang mengetuk pintu ruangan yang saya tempati. Pagi-pagi sekali seseorang tersebut datang, sementara mata saya masih setengah mengatup. Samar-samar dapat saya rasakan subuh belum habis, dan sesosok lelaki bertubuh tambun tampak menyunggingkan senyum seraya beruluk salam di depan muka saya. Saya kemudian tahu lelaki itu tak punya rambut barang sehelai. Licin, tanpa satu pun bulu, dan bentuk kepalanya seperti buah melon. Saya menaruh curiga dan sedikit ketakutan, tapi ia tetap menunjukkan tabiat ramah dan sesungging senyum.
Ia, yang kemudian saya tahu bernama Beno Gundul, menjanjikan banyak hal yang berpotensi membikin saya kepincut. Mulutnya yang manis bersama nada bicara yang lancar seperti mengulang isi dongeng Hans-Christian Andersen, di mana ia akan dapat mengubah nasib hidup saya yang bagaikan itik buruk rupa ini jadi seperti angsa rupawan. Saya tak percaya, tapi ia terus saja nyerocos seperti kitiran kena tiup angin. Ia lalu menyebut-nyebut nama Wak Samiaji, mengatakan bahwa Wak Samiaji akan menolong saya, memberi makanan yang layak, pekerjaan layak, dan tempat berteduh yang layak pula. Saya berpura-pura menggeleng, tapi tampaknya Beno Gundul dapat menangkap harapan terselubung yang disiratkan mata saya. Sekali lagi, saya berpura-pura menggeleng kendati dalam hati merasa butuh pada apa-apa yang dijanjikan si gundul tersebut.
“Saya beri kesempatan padamu, berpikirlah sekali lagi, jangan sampai kelak kau menyesal, Nak! Pikirkanlah!” ucapnya sembari menatap ke mata saya dan tersenyum lagi.
Saya tak tahu makna senyumnya kali ini, tapi saya dapat lihat barisan gigi-giginya yang kuning, yang—bagaimanapun—membikin rangsangan tak mengenakkan di lambung. Dan entah ada sihir apa, kali ini saya tak dapat mengelak lagi. Buru-buru saya mengepak pakaian, memasukkannya ke dalam tas punggung yang pernah menemani saya bersekolah di waktu-waktu lalu. Si gundul sesekali membantu memasukkan sisa ubi dan kacang rebus ke kantong kresek. Dan tanpa berpamitan pada siapa pun, saya melangkah gamang, meninggalkan ruangan yang menampung saya tak kurang dari delapan hari itu.
Dua bocah telah menunggu di dalam mobil Jeep yang diparkir di bahu jalan. Merekalah yang kemudian saya tahu bernama Kartika dan Anjani. Saya menduga Beno Gundul menjemput mereka sejak kemarin atau beberapa waktu lalu. Tapi peduli apa dengan mereka, Jeep yang dikemudikan Beno Gundul sedang membawa saya pergi meninggalkan kampung halaman, tanpa saya dapat tahu kapan kembali. Saya ingin menangis, tapi untuk apa menangisi kampung halaman yang tanahnya sudah jadi tempat peristirahatan terakhir keluarga saya? Entahlah, saya hanya ingin menangis, tanpa boleh diketahui Kartika dan Anjani dan Beno Gundul.
Singkatnya, Bibi Sanditalah yang kemudian lebih banyak pasang badan demi mendengar kesedihan saya yang berat dan sesesekali remeh. Ia sering mengusap-usap punggung dan rambut saya tiap kali saya terkenang pada mendiang ibu, nenek, ayah, dan adik laki-laki saya. Ia juga menenangkan tangis kekanakan saya akibat teriris pisau kala membantunya memotong wortel dalam satu sesi memasak. Di luar itu, ia bahkan merelakan dirinya dihujani kata-kata sengak oleh istri kedua Wak Samiaji karena suatu kali sayur lodeh yang disajikan kelewat pedas-menyengat hingga ubun-ubun, padahal sayalah yang mestinya kena labrak, sebab saya yang menaburkan merica terlalu banyak.
“Tak apa. Untungnya merica itu tak sampai meracuninya,” selorohnya enteng.
Saya lalu mulai mencatat kebaikan-kebaikan yang ditorehkannya, setidaknya yang bisa saya tangkap dan terima, dalam satu buku tebal. Melalui cara itu saya berharap dapat membalas kebaikan-kebaikan itu di kemudian hari. Namun, sebelum sempat membalas satu-dua kebaikannya, seorang lain justru meminta balasan diiringi beberapa kenyataan amat ganjil. Keganjilan tersebut tak lebih dari kekecewaan-kekecewaan yang mengekor di belakang harapan indah yang pernah saya pancangkan saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.
Ya, saya kadung percaya pada bualan Beno Gundul itu, menyerahkan diri saya sepenuhnya pada aturan main yang sesungguhnya tak saya pahami. Semula saya mengira kerja saya hanya memasak dan membersihkan rumah sebagaimana Bibi Sandita. Nyatanya tidak. Pekerjaan ini lebih banyak menguras batin dan kedisiplinan yang aneh: saya mesti merias diri di luar kebiasaan. Dan saya pun menyadari, benarlah kata orang bahwa tidak ada hal yang benar-benar gratis di dunia ini.
“Kami sudah memberimu atap untuk berteduh dan makan selama empat tahun. Kini kami butuh sedikit ketulusanmu untuk membalas semua itu. Balas budi, begitulah. Dan… ya… Kartika dan Anjani sudah melakukannya,” kata Wak Samiaji.
Kartika dan Anjani memang telah melakukannya beberapa waktu lalu, juga lima orang yang datang sebelum kami. Besok adalah giliran saya, demikianlah, jika saya masih diberi kesempatan hidup. Diam-diam saya lalu meneliti bentuk tubuh saya, mengamati lekukan ajaib di pinggul, juga lingkar dada yang makin hari makin cembung. Saya tak ingin jadi dewasa atau memiliki tubuh orang dewasa, gerutu saya dalam hati. Tapi siapalah saya, dan siapa mau peduli.
Dengan perasaan ogah-ogahan “kerja” itu pun saya lakoni. Ah, perasaan mual dan nyaris muntah jadi hal paling membekas yang melingkupi “kerja” di hari pertama itu. Bau puntung rokok dan sendawa bir berpusing bersama gestur telapak tangan yang tiba-tiba menangkup buah dada saya. Saya terkejut, tentu saja, dan dengan refleks tak terduga saya meraup ceceran kulit kacang goreng, melontarkannya tepat di wajah pemuda sembrono yang katanya lulusan Akademi Kepolisian itu. Ia tak marah, justru tergelak dalam tawa yang memuakkan. Anjani yang melihat perbuatan saya sontak menampilkan mimik wajah geram sembari mengisyarati saya agar bersikap lebih ramah. Saya bisa bersikap lebih ramah, ya, dan di hari “kerja” berikutnya saya dapat buktikan.
Tapi, kau tahu, bersikap ramah tak selamanya mendatangkan kepuasan batin. Keramahan saya pada seorang saudagar kayu dari luar kota nyatanya membikin selaput dara saya robek, tubuh saya serasa terbanting ratusan kali, dan entah mengapa saya mendapati lubang menganga dalam diri saya. Tak sampai di situ, saya juga kehilangan selera makan berhari-hari. Bagaimana tidak, tiap hendak menelan makanan, bayang-bayang selang pendek berwarna kecokelatan berkitar-kitar demikian kurang ajar di pikiran saya.
Makanan yang kadung terkunyah begitu rupa akhirnya tak bisa diterima begitu saja oleh kerongkongan, dan saya benar-benar muntah. Selama berhari-hari pula emosi saya kacau, tapi saya tetap harus bekerja atas alasan “balas budi” itu. Kartika dan Anjani tak henti memberi penghiburan buat saya, dan Bibi turut membikinkan saya ramuan obat yang memungkinkan saya dapat bekerja seperti kuda pacu.
Dengan demikian cerita ini akan berlanjut, mungkin hingga sepuluh paragraf ke depan, mungkin lebih. Sembari diam-diam mencatat kebaikan-kebaikan Bibi Sandita, saya melayani lebih banyak tamu dari berbagai latar belakang: sopir truk, sopir ambulans, kernet bus antarkota, kernet angkot plat kuning, kontraktor, kuli bangunan, anggota parlemen, tukang sayur keliling, tukang tambal ban, tukang tambal panci, mahasiswa teknik mesin, mahasiswa matematika, mahasiswa kedokteran, mahasiswa sastra, mahasiswa yang baru diusir dari tempat kosnya, mahasiswa yang meradang akibat putus cinta, ketua organisasi dagang, ketua serikat demo, hingga korban PHK serta pengangguran yang belum ada ketertarikan memikirkan profesi bidang apapun. Beberapa dari mereka mungkin telah punya istri bahkan anak, tapi peduli apa, mereka mendatangi saya tanpa beban atau sekadar kekhawatiran dipergoki istri masing-masing.
Lalu, berdosakah saya? Saya tak dapat jawab, saya juga tak dapat menanyakannya pada orang lain. Daripada berpikir pelik perihal dosa, saya lebih tertarik bangun pagi dan menemani Bibi berbelanja sayur ke pasar induk. Bangun pagi memang bukan kebiasaan saya, dan saya terpaksa melakukannya dengan harapan dapat menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang sering didesas-desuskan Kartika dan Anjani belakangan. Asumsi dan kecurigaan paling nyeleneh pun berhamburan di benak kami. Saya sendiri jadi tak bisa membendung keingintahuan itu lebih lama: benarkah Bibi masih perawan? Hal apa yang membikinnya tampak awet muda(dan demikian cantik) sementara usianya mendekati setengah abad? Mengapa ia tak pernah sekali pun mendapat bagian kerja melayani tamu laki-laki yang datang ke rumah kedua Wak Samiaji? Tiga pertanyaan itu saya simpan baik-baik sembari membantu Bibi memilih-milih daging ayam dan kecambah dan daun seledri.
Lama kemudian Bibi menarik lembut lengan saya, mengajak saya mampir terlebih dulu ke tukang es cendol di seberang pintu masuk pasar. Kami duduk di bangku yang menghadap ke keramaian seraya mengudap es cendol tanpa peduli pada kendaraan bermotor yang lalu-lalang.
“Mar, benarkah kau ingin tahu mengapa saya bisa awet muda?" tanyanya tiba-tiba.
Saya tersedak kuah cendol, merasa malu bercampur segan dan khawatir dan perasaan entah apa lagi. Bibi dapat membaca isi hati, atau setidaknya, pikiran saya?
“Tenanglah, Mar, saya pernah mendengar, ah, tepatnya tak sengaja menguping, obrolan kalian.”
Saya mengangguk, masih dengan perasaan malu, ditambah dengan menahan sedikit sesak di rongga dada akibat tersedak kuah cendol tadi.
Di luar dugaan saya, Bibi bicara tanpa ragu, menceritakan rahasia-rahasianya yang tak pernah saya—juga Kartika dan Anjani—ketahui. Saya tak perlu bertanya lebih banyak, sebab perihal yang dituturkannya telah menjawab tiga pertanyaan pokok yang hendak saya ajukan, bahkan saya beroleh bonus cerita lain yang membikin air mata saya meleleh. Jika saya diminta mengalih-wahanakan cerita Bibi ke transkrip tertulis, kira-kira beginilah jadinya:
Pertama, Bibi pernah menikah kala usianya enam belas. Sehari setelah pernikahan suaminya digelandang tiga tentara tak dikenal. Selintas kabar lalu memberitahukan keberadaan suaminya di sebuah pulau asing di bagian timur negeri ini: Pulau Buru. Bibi menunggu belasan, bahkan likuran tahun, dan suami yang tak diketahui kabarnya itu tak pernah kembali, sementara seorang kawan yang dibawa bersamaan suaminya telah kembali empat belas tahun semenjak dibawa.
Si kawan tak pernah menghadapi proses pengadilan, jadi sudah tentu suami Bibi juga tak pernah diadili—lagipula apa tindak kriminal mereka? Beberapa orang bertanya-tanya, tak berjawab, dan seorang Perancis bernama Jean-Paul Sartre hanya tahu menyumbangkan mesin tiknya pada seorang pengarang yang jadi tahanan di pulau tersebut.
Si pengarang yang memperoleh mesin tik itu mungkin tinggal satu kamp dengan suaminya, tapi peduli apa, Bibi tetap saja merana. Bibi sempat jengah dalam penantiannya, hingga akhirnya mudah saja baginya mengira-ngira, mungkin sang suami diamuk-seruduk babi hutan atau kelelahan dihantam beban kerja tak wajar. Meski begitu, Bibi sangat mencintai suaminya. Ia tak mau menyerahkan tubuhnya pada lelaki lain, lagipula ia yakin akan bertemu suaminya lagi, cepat atau lambat. Maka saat kemudian ia bekerja di rumah kedua Wak Samiaji, ia mengajukan syarat yang memungkinkannya tetap menjaga keperawanan.
Kedua, Bibi dengan mudah menyebut resep awet mudanya adalah air sembahyang yang membasuh beberapa bagian tubuhnya di lima waktu. Satu lagi, ia turut menyebut “sesuatu” yang bercokol di pekarangan belakang rumah kedua Wak Samiaji. Untuk hal yang disebut terakhir ia tak mengatakannya secara gamblang, mungkin belum. Tapi percayalah, rahasia tak selalu menjadi rahasia, dan sebuah fakta tersaji: suatu pagi seusai sembahyang, saya memergoki Bibi memetik beberapa kuntum melati di pekarangan belakang, memisahkan kelopak bunga dari tangkai sebelum memakannya satu-satu. Mungkin ada rasa sepat dari kelopak bunga putih itu, tapi Bibi benar-benar mengunyahnya sebelum menelannya menuju satu organ pencernaan.
Ketiga, [ini jadi rahasia hingga saya tak perlu mengungkapnya panjang-panjang, berisi cerita-cerita ganjil mengenai lelaki yang menghasrati persetubuhan dengan Bibi, juga perempuan yang menaruh iri dan ingin mencelakai Bibi, namun pada akhirnya justru ketiban sial (mungkin lebih tepatnya: karma). “Apapun namanya, mereka menanggung kualat.” kata Bibi].
***
Saya merasai udara jadi dingin, aneh, dan mencekam. Mendiang nenek pernah berucap bahwa udara dingin di sore musim kemarau adalah satu pertanda yang—barangkali—buruk. Samar-samar saya dapat dengar suara batuk Bibi yang kering dan makin mengkhawatirkan. Tak ada dokter. Tak ada obat. Bibi tak menginginkan kehadiran keduanya. Bibi hanya meminta saya menumbuk ramuan rempah yang dikenalnya. Saya turuti saja permintaannya, namun batuk yang terdengar menyiksa selama lebih dari sepekan itu belum juga sembuh.
Alhasil saya harus menggantikannya memasak di pagi dan sore, juga melakoni “kerja” malam seperti hari-hari biasa. Lelah, tentu saja, tapi lelah itu kemudian lebih banyak tertebus oleh kehadiran Ari Kabul. Nama yang saya sebut belakangan adalah seorang pemuda yang sering datang mengunjungi saya, menyewa jasa saya, dan saya tak dapat lupakan satu hal paling berkesan namun tak kurang konyol: meminta saya jadi pacarnya. Untuk permintaan terakhir itu saya tak dapat tolak begitu saja.
Entah mengapa terbit pula rasa sayang saya padanya, kendatipun dalam kadar amat kecil. Sementara di luar sana, di tiap pangkalan truk yang disinggahinya, ia mungkin punya lebih banyak pacar. Itulah selintas kecurigaan di benak saya, dan mungkin demikianlah cara cinta bekerja lewat sekelumit kecurigaan. Dan, kau tahu, ada perihal yang tak dapat disangkal, bahwa saya senang belaka menerima oleh-oleh kue putu dan wedang bandrek yang sering dibawanya khusus untuk saya.
“Saya cinta kau, Mar… kau tahu saya bukan orang baik, tapi… maukah kau jadi istri saya?” bisiknya dengan napas satu-satu, sementara tubuh kami masih berimpitan, berpeluh, dan telanjang setelah melalui satu babak percintaan yang melelahkan.
Saya terkejut, tapi tak mampu menunjukkan ekspresi keterkejutan paling memadai. Saya minta ia mengulangi perkataannya itu, dan ia mengatakannya sekali lagi. Saya merasa beroleh kado istimewa di hari ulang tahun yang terlewat sepekan lalu itu. Ya, sepekan yang lalu saya resmi memasuki usia dua puluh, dan mestinya Ari Kabul turut merayakannya jika ia tahu. Ia tak tahu, sayang sekali, tapi saya tak perlu mempermasalahkannya. Ia pun tak mempermasalahkan, mengangguk saja pada jawaban saya yang meminta ia menunggu dan bersabar hingga Bibi benar-benar sembuh sesedia kala.
Demikianlah saya merasa dapat meneruskan balas budi saya pada Bibi. Namun itu tak lama. Sebulan saja. Setelahnya, kau tahu, takdir Tuhan tak dapat dihindari siapapun. Saya, juga Wak Samiaji dan orang-orang di rumah ini, kehilangan Bibi. Tanpa berwasiat apapun, Bibi meninggalkan kami dengan segaris senyum tipis—seolah Tuhan memang sengaja mengguratkan garis senyum itu sebagai bekal Bibi menuju keheningan paling baka. Entah kesan dari mana, saya mendapati kecantikan paling utuh, satu bentuk kecantikan yang tak pernah saya lihat seumur hidup. Namun demikian, saya makin merana karena tak dapat bersinggungan atau sekadar merengek manja lagi pada perempuan itu.
Baca juga : Memanggil Bapak
“Tak baik menangis terus. Berdoalah yang baik-baik saja. Jika ingin merengek lebih panjang, merengeklah saja pada saya!” ucap Ari Kabul sepulang dari kuburan.
Saya bisa saja merengek padanya, namun akan jadi sangat berbeda rasanya. Dan perbedaan demi perbedaan juga terlihat di rumah kedua Wak Samiaji. Saya, Kartika, dan Anjani sering mengeluhkan perasaan kehilangan akan sosok Bibi pada pekerja malam yang lebih senior, dan mereka tak menampakkan perhatian serius pada keluhan kami. Itu bukan salah mereka, tentu saja, dan kami memang belum cukup kuat menerima kenyataan. Di luar keluhan itu, kami tetap melakoni “kerja” sebagaimana waktu-waktu biasa.
Bagaimanapun kami sudah berlibur tujuh hari, semata-mata demi menghelat doa selamatan untuk Bibi.
Di sini kami tetap menunggu, bersenda gurau dalam nada paling pahit, dan tetap pasang wajah semringah jika ada pengunjung lama atau baru datang. Namun kemudian saya tersadar, pengunjung makin berkurang, lama-lama tak ada “kerja” sama sekali dalam dua pekan. Tak satu pun dari kami diberhentikan, dan dua sepeda motor pabrikan Jepang kepunyaan Wak Samiaji mesti menginap di kantor gadai. Di malam hari kami jadi lebih sering mendengar bunyi serangga malam ketimbang gelak tawa yang dulu biasa membubung hingga lewat tengah malam.
“Saya benci mengakui. Tapi memang beginilah. Tanpa Sandita, rumah ini jadi begini sepi.” kata Wak Samiaji.
Itu tak lebih dari olok-olok, pikir saya. Tapi, sehebat apapun olok-olok itu, Wak Samiaji justru menampakkan raut gusar. Nyatanya ia tidak sedang berolok-olok.
Satu lukisan seukuran almanak dinding kemudian jadi jawaban. Lukisan itu adalah gambaran Bibi dalam penampakan setengah badan, bersanggul, dan mengenakan kebaya warna abu-abu. Latar belakang pemandangan gunung dan sungai yang dibikin buram menjadikan sosok dalam lukisan tampak lebih hidup dan bertenaga dalam tingkahan senyum tipis. Si pelukis yang katanya mahasiswa seni rupa pun tahu cara membikin sorot mata dan resam kulit Bibi yang muda. Ya, di lukisan itu pun Bibi tampak masih berusia tiga puluh kendati usia aslinya setengah abad. Sekali lagi, saya mendapati satu wujud kecantikan paripurna yang tak jarang mengundang haru.
Di luar keharuan saya, pelanggan kembali berdatangan, juga Ari Kabul yang lama tak saya lihat batang hidungnya. Tak jarang mereka berdecak kagum dan dibikin melongo oleh lukisan di atas kanvas itu. Lalu, demi menghormati Bibi di alam sana, juga demi menghormati kecantikan magis pada sosok dalam lukisan, Wak Samiaji menaruh bebungaan dan dupa setanggi tak jauh darinya. Setelahnya, entah mengapa, jumlah pengunjung makin banyak, termasuk di antaranya kurator lukisan dan pejabat pemerintahan. Meski mereka datang sekadar melihat lukisan alih alih menyewa jasa kami, Wak Samiaji tetap senang belaka.
Saya turut senang pada perihal yang pulih itu. Rasa senang saya kemudian bertambah-tambah lagi karena Ari Kabul benar-benar menikahi saya dengan persaksian Beno Gundul dan Wak Samiaji dan beberapa kawan sopir truk. Dengan demikian saya mesti berpamitan pada keluarga Wak Samiaji, juga pada Kartika dan Anjani dan lima pekerja lain seraya berharap mereka tetap baik-baik saja. Ari Kabul, ah, suami saya, kemudian membawa saya tinggal di satu rumah sewaan di kampung sebelah, sejarak tiga kilometer saja dari rumah yang saya tempati selama delapan tahun itu.
“Apa kau bahagia, Mar?” demikianlah yang sering ia tanyakan pada jam-jam menjelang tidur.
Saya mengangguk, ia mungkin juga dapat melihat senyum saya. Dan sebagaimana yang sudah lalu, ia mengecup kening saya, lalu jika mood saya sedang baik, kami akan bercinta hingga ranjang berderit-derit seperti diterpa topan.
Singkatnya, saya bahagia belaka sebelum demam aneh menimpa keperkasaan suami saya. Kau tahu, sekujur kulitnya memucat dan warna biru remang menggayuti bibirnya. Dokter yang pernah memeriksanya hanya berujar bahwa ia perlu beristirahat, sementara saat saya tanyai apa penyakitnya, dokter itu menggeleng. Alhasil ia terpaksa tak menarik truk—barangkali sudah tiga pekan—akibat demam tersebut, sementara uang tabungan kami mulai menipis.
Rintih berat nan pilu bercampur perasaan takut mati sering saya dengar dalam igauannya. Saya merinding, tapi tak tahu mesti berbuat apa selain sering-sering mengganti handuk untuk kompres. Ia sesekali menangis, meminta saya mencari pembeli untuk truk yang biasa dipakainya mencari pundi-pundi. Permintaan itu tak saya luluskan, tentu saja, bagaimanapun truk itu warisan mendiang bapaknya.
Saya tak mengerti mengapa Tuhan bisa menciptakan satu jenis penyakit yang dokter pun tak bisa mengenali. Tapi, demi cinta dan demi hidup, saya tetap merawat Ari Kabul. Untunglah ia bukan pengeluh, dan ia lebih banyak menurut saat saya menyuapinya bubur tawar.
“Apa kau bahagia, Mar?” tanyanya setelah semangkuk bubur berhasil ia habiskan.
Saya mengangguk, lalu tangannya yang lemah menggenggam tangan saya.
“Saya takut mati, Mar. Saya mau bikin pengakuan dosa.”
Baca juga : Lebaran Haji Neknang
Sontak saya terbelalak, dan ia terus bicara seraya berasumsi: mungkin pengakuan dosanya kali ini bisa jadi pengampunan buatnya.
“Kau tahu, Mar, setelah menikah denganmu, saya justru lebih banyak membayangkan bercinta dengan Bibi Sandita kala mencumbumu di ranjang. Saya pikir lukisan itulah, ah, lukisan itulah penyebabnya. Saya tak tahu. Tapi gara-gara lukisan itu saya jadi sering membayangkan Bibi Sandita. Lukisan itu seperti punya kekuatan gaib.”
Kekuatan gaib? Tuah? Saya tak percaya lukisan itu bertuah. Tapi, demi melihat suami saya sembuh, saya akan datangi rumah kedua Wak Samiaji itu. Saya mau hancurkan, bila perlu membakar lukisan itu hingga jadi abu. Saya tak membenci Bibi, tentu saja, bahkan tidak sama sekali. Tapi lukisan itu… ah, alangkah berbahaya—setidaknya bagi kelangsungan rumah tangga saya—jika dibiarkan menggantung di dinding rumah Wak Samiaji.
Setelah memastikan suami saya terlelap menjelang pukul dua belas siang, saya bulatkan tekad untuk berangkat. Saya tak peduli kalau-kalau keluarga Wak Samiaji bakal memusuhi saya. Namun, begitu saya melangkahi ambang pintu, ponsel saya bordering. Beno Gundul menelepon. Suara Beno Gundul berbasa-basi menanyakan kabar saya, lalu suara tawa kecil menyusul kemudian. Seolah tak memberi saya kesempatan bicara apapun, ia kemudian menyampaikan satu bentuk undangan dari Wak Samiaji. “Undangan pesta keluarga,” katanya sebelum mengimbuhkan redaksi, “mirip acara tasyakuran”. Saya merasa tak perlu tahu pesta itu, dan Beno Gundul melanjutkan bicaranya,
“Lukisan itu, Mar, ya, seorang kolektor dari Celebes membelinya 4 milyar. Tak main-main, 4 milyar. Uang itu dibagi dua dengan mahasiswa seni rupa itu. Dan…ya… Wak Samiaji mendapat 2 milyar. Karena itulah beliau mengundangmu, ah, Ari Kabul juga. Jangan lupa datang!”
Kiranya Beno Gundul dapat dengar saya berucap “ya” dengan nada gamang. Tak lama kemudian saya dengar Beno Gundul menutup pembicaraan dan beruluk salam hingga mematikan telepon. Antara sadar dan tidak saya masukkan lagi ponsel ke dalam tas yang saya apit di tangan.
Saya tak tahu harus apa, tapi sebuah naluri menuntun saya putar balik dan bergegas menuju kamar tempat suami saya berbaring.[]
14:42
02072021
Hari Niskala, tinggal di Tulungagung. Bukunya yang telah terbitterbit berupa kumpulan cerpen berjudul Vita Brevis Suwung Longa dan novel Jalan Pulang dan Omong Kosong yang Menunggu Selesai.