Jusuf Kalla: Penutupan Sementara Tempat Ibadah Cegah Penularan Covid-19
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla menyampaikan, penutupan sementara tempat ibadah yang diberlakukan saat PPKM darurat merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari penularan Covid-19.
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla mengajak masyarakat untuk mematuhi setiap aturan yang berlaku saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat Covid-19. Termasuk di dalamnya soal penutupan sementara tempat-tempat ibadah. Kebijakan pengetatan aktivitas masyarakat diambil untuk melindungi masyarakat dari penularan Covid-19.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla, Jumat (2/7/2021), mengatakan, membatasi kerumunan adalah cara yang efektif untuk menghentikan laju penularan Covid-19.
Salah satu tempat orang-orang berkumpul adalah rumah ibadah, seperti masjid, gereja, wihara, dan pura. Oleh karena itu, pengaturan untuk menutup semua rumah ibadah di Jawa dan Bali dalam kerangka PPKM darurat dinilai sudah tepat.
”Itu (menutup rumah ibadah) adalah satu cara untuk melindungi kita semua. Apalagi dalam agama Islam, diutamakan keselamatan sesama umat,” tuturnya dalam rilis yang diterima Kompas, Jumat (2/7/2021).
Selain itu, penutupan rumah ibadah bukan hal baru. Pada 2020, persisnya sepanjang Ramadhan, tempat-tempat ibadah juga ditutup untuk memutus laju penularan Covid-19. Saat itu, ujar Kalla, semua berjalan baik.
Apabila penularan masih banyak terjadi, Kalla mengingatkan, shalat Idul Adha, pertengahan Juli mendatang, sebaiknya dilakukan pula di rumah masing-masing atau di tempat-tempat yang sangat terbatas.
”Ini dalam agama diizinkan karena untuk keselamatan kita semua. Jadi, kita harus terima dengan baik, dengan besar hati,” tutur Kalla yang juga Wakil Presiden kesepuluh dan kedua belas ini.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Eman Suryana mengatakan, PBNU pun mendukung inisiatif pemerintah untuk memberlakukan PPKM darurat, termasuk menutup tempat-tempat ibadah.
”Memang pergerakan dan kerumunan harus dikurangi sampai Covid-19 bisa dihentikan. Harus begitu karena kita semua sudah kewalahan. Pemerintah, tenaga kesehatan, sudah kewalahan. Para kiai juga sudah banyak yang terpapar,” tuturnya.
Ibadah di rumah pun, lanjut Eman, sah dilakukan. Sebab, saat ini kondisi darurat. Ibadah di rumah tetap sah dan tidak mengurangi maknanya. Apalagi prinsipnya ibadah bisa dilakukan di mana pun.
Kendati demikian, Eman mengingatkan supaya pemerintah mempertimbangkan kemungkinan masyarakat yang kesulitan karena tidak bisa beraktivitas atau bekerja. Bantuan sosial atau jaring pengaman sosial sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia juga menerima dan mendukung pemberlakuan PPKM darurat. Namun, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja, Menteri Koordinator Perekonomian, dan Menteri Perindustrian diharap memastikan PPKM tidak menyebabkan buruh dirumahkan dan dipotong gaji. Jangan sampai terjadi PHK besar-besaran.
Pemberlakuan PSBB di awal pandemi telah menyebabkan banyak buruh dirumahkan dan kehilangan pekerjaan. Daya beli menurun, konsumsi ikut menurun, dan pertumbuhan ekonomi terkontraksi.
”Kami meminta bantuan subsidi upah dilanjutkan kembali. Bagi perusahaan yang mampu, harus membayar upah secara penuh dan tidak dipotong. Kalau kemudian terjadi PHK, kami meminta pengusaha membayar pesangon tidak menggunakan omnibus law UU Cipta Kerja, tetapi menggunakan aturan lama, seperti yang diatur dalam PKB atau UU Nomor 13 Tahun 2003,” tutur Presiden KSPI Said Iqbal.
Iqbal meminta semua buruh mengikuti protokol kesehatan dan mengikuti imbauan pemerintah. Namun, perusahaan diharap juga menyediakan fasilitas terkait protokol kesehatan, seperti masker, tempat cuci tangan, hand sanitizer, pemberlakuan jarak saat proses produksi, makan siang, dan ibadah di lingkungan perusahaan.
Pemerintah pusat dan daerah diminta membantu perusahaan yang tidak mampu menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut. Kendati demikian, pemerintah juga diminta memperhatikan para buruh yang kerap terinfeksi, tetapi perusahaan hanya memintanya untuk isolasi mandiri di rumah dan tidak melapor ke Satgas Covid-19 setempat supaya perusahaannya tidak ditutup 10-14 hari.
Akibat buruh isolasi mandiri tanpa penanganan memadai, banyak penularan ke keluarga buruh. Kluster pabrik pun merambah menjadi kluster keluarga. ”Sebulan ini saja, laporan yang diterima KSPI, setidaknya 15 buruh meninggal karena Covid-19,” tutur Said Iqbal.