Pencuri Air Berusaha Mengaburkan Jejak Bukti
Komplotan pencuri air perpipaan ingin jejak kejahatannya tak terlacak. Mereka mengaburkan jejak dan bukti dokumen mengenai keterlibatan warga. Salah satu modusnya bertransaksi tunai pada setiap jasa ilegalnya.
JAKARTA, KOMPAS – Komplotan pelaku pencurian air perpipaan memastikan tidak ada jejak bukti aliran dana maupun dokumen yang bisa dikaitkan dengan mereka. Mereka juga mengaburkan identitas sehingga sulit dilacak.
Mereka lihai dalam mengaburkan jejak. Cara ini membuat praktik ini pun langgeng bertahun-tahun tanpa menyentuh jaringan pelaku. Sementara warga yang membayar jasa mereka berhadapan dengan resiko, mulai diputus jaringannya meskipun sudah mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah hingga membayar denda yang tak sedikit. Sementara para pelaku yang tak terlacak dan dibuktikan keterlibatannya itu melenggang bebas meraup uang.
Atun (55), bukan nama sebenernya, mencatat tiga nama dalam dokumen pemasangan pipa air di rumahnya di kawasan kampung kumuh di Rawa Indah, Kapuk Muara, Jakarta Utara. Mereka adalah orang-orang yang memasang seluruh instalasi air pipa secara ilegal miliknya pada pertengahan tahun 2020 lalu. Atun tidak memiliki surat kepemilikan atas lahan itu. Menurut aturan, hanya lahan dengan bukti kepemilikan yang bisa memasang air perpipaan. Namun, dengan bantuan para pelaku dengan tarif Rp 15 - 20 juta per saluran, semua bisa dilakukan.
Ketiganya adalah Yanto - yang pada akhirnya diketahui bernama Yudha Fitrianto, Pardi dan Endro. Pardi dan Endro tak diketahui keberadaannya sampai sekarang. Kepada Atun dan keluarga, ketiga pelaku itu tak pernah memberikan nama lengkap.
Baca juga : Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Menurut Atun, Yanto meyakinkan bahwa seluruh urusan beres kendati tidak ada surat kepemilikan lahan. Ternyata, Yanto memalsukan surat-surat pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). "Gampang saja waktu itu dia buat, pakai PBB orang lain, namanya diganti lalu dilaminating atau gimana waktu itu, sebentar buatnya," kata Atun, Selasa (25/5/2021).
Yanto menyusun seluruh berkas yang dibutuhkan. Sementara Atun dan keluarga membayar secara resmi ke kantor Palyja di Pejompongan, Jakarta Pusat dengan berkas tersebut. Ia dan suaminya sepakat bertemu Yanto di kantor Palyja saat pembayaran tersebut untuk penyerahan berkas. Sayangnya, Atun dan keluarganya tidak menyimpan sebagian berkas tersebut. Ia hanya menyimpan sejumlah bukti pembayaran.
Baca juga: Mafia Air Eksploitasi Warga Miskin
Saat pemasangan, Atun semakin yakin bahwa salurannya resmi dan aman. Sebab, Yanto saat itu datang dengan mengenakan seragam menyerupai seragam pegawa PAM Jaya (Palyja) . Ia juga melihat sejumlah petugas lain dengan seragam yang mirip. Kelompok itu itu juga membawa mobil yang mirip dengan mobil lapangan PAM Jaya (Palyja). "Dia itu kalau datang pakai seragam itu, jadi mana mungkin kami curiga," ujarnya.
Ketiga pelaku itu memasang dua jaringan air pipa bermeteran dan dua saluran lain tanpa meteran di rumah Atun. Air yang diperoleh lalu dijual pada ratusan keluarga lainnya di sekitar Rawa Indah, Rawa Elok dan Kebun Sayur, tiga perkampungan di lahan yang tak jelas statusnya di Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara.
Baca juga : Mengendus Pencurian Air, Bagai Mencari Jarum di Tumpukan Jerami
Kemudian Atun memasang jaringan pipa lengkap dengan meteran sendiri ke warga di sekitarnya. Tidak ada warga di lahan di Kampung Rawa Elok, Rawa Indah dan Kebun Sayur itu yang memiliki surat kepemilikan di lahan pemukiman kumuh itu. Jumlah meteran yang terpasang, kata dia, saat itu mencapai sekitar 125 meteran. Warga yang mau memasang diminta membayar Rp 1 juta untuk mengganti biaya pipa dan meteran.'
Baca juga: Kongsi Jahat Mafia Air di Lahan Tak Bertuan
Minta jatah
Tak hanya minta uang Rp 15-20 juta untuk pemasangan, kata Atun, Yanto juga minta jatah bulanan dari dua jaringan yang tanpa meteran. Tak tanggung-tanggung, ia minta jatah Rp 2 juta per jaringan per bulan atau totalnya Rp 4 juta per bulan.
Ia dan keluarga sempat takut bahwa jaringan tanpa meteran akan bermasalah. Namun lagi-lagi Yanto meyakinkan jaringan itu aman sebab ia akan membagi uang jatah bulanan dengan komandannya. "Tidak tahu itu siapa komandan yang dia maksud siapa," kata Atun.
Awalnya, Atun dan keluarga tetap merasa diuntungkan. Ia tak perlu bayar air yang terjual dari dua jaringan tanpa meteran itu. Sementara air bisa dijual hingga Rp 9.000 per liter ke warga sekitar. Dengan banyaknya pelanggan Atun, keuntungan penjualan air curian itu jauh lebih besar dari jatah bulanan Rp 4 juta yang diminta pelaku. Usaha air di sana sangat menguntungkan karena tidak adanya akses air pipa, sementara air tanah kotor dan asin karena rembesan air laut.
Ia sempat memasang sambungan pipa ke 125 orang lainnya di 3 RT di sekitarnya. Namun, baru tiga bulan usahanya berjalan, rumahnya digerebek, tepatnya pada 10 Oktober 2021 lalu. Petugas gabungan PAM Jaya, Palyja, dan pemerintah setempat menyatakan jaringan itu ilegal.
Seluruh saluran air dicabut. Ia harus membayar denda Rp 40 juta. Padahal, total biaya yang ia keluarkan untuk memasang seluruh jaringan pipa itu sekitar Rp 500 juta. “Kami waktu itu pinjam bank buat pasang semua itu, sekarang ya bagaimana malah semua dicabut. Sampai sekarang kami masih menyicil Rp 12 juta per bulan ke bank untuk mengembalikan pinjaman itu,” kata Atun.
Batal Lapor
Atun dan keluarganya merasa ditipu oleh komplotan Yanto. Ia sakit hati karena komplotan itu justru melenggang bebas dan hanya ia dan keluarganya yang menjadi kambung hitam. Keluarga Atun sempat ingin melaporkan Yanto dan kelompoknya ke kepolian. Namun, niat itu ia batalkan.
Sebab selain tak mengetahui nama lengkap, Atun juga tak punya dokumen yang bisa menjadi bukti. Satu-satunya bukti pembayaran hanya secarik kertas bertulis tangan rincian harga yang harus ia bayar kepada mereka, totalnya sekitar Rp 60 juta. Namun catatan itu tanpa tanda tangan yang bisa digunakan sebagai bukti.
Atun juga tak memegang bukti untuk proses pemalsuan dokumen kepemilikan lahan yang dilakukan Yanto. Ia hanya punya kwitansi pembayaran resmi dua meteran air atas nama suaminya.
Atun menduga Yanto masih mempunyai koneksi di dalam perusahaan air minum. Di hari penggerebegan, Atun ingat Yanto datang jam 06.00 pagi. Yanto memberitahu bahwa akan ada penggerebegan hari itu. Berulangkali ia menegaskan pada Atun dan keluarganya agar namanya tak disebut sama sekali pada para petugas yang akan datang. “Jam 6 dia datang, jam 7 rombongan yang gerebeg sampai di sini. Saya juga heran dia kok sudah tahu bakal ada penggerebegan,” ujar Atun.
Modus mengaburkan bukti yang sama terjadi di kolong tol Penjaringan, Jakarta Utara. Di sana, seorang warga, Tarso telah membeli sejumlah meter air yang bukan atas namanya. Meteran-meteran itu, katanya sudah tak terpakai oleh pelanggan aslinya. Untuk satu meteran, warga di kolong tol itu membayar belasan juta rupiah, totalnya Rp 70 juta untuk tiga meteran. Kata Tarso, uang itu juga untuk lunasi tunggakan dan denda dari pelanggan sebelumnya.
Tarso mengaku hanya mengenal nama panggilan orang yang membantu mengurus meteran. “Saya dibantu Pak Marbun, pegawai Palyja tapi sudah pensiun sekarang. Ada lagi yang namanya Pak Widi, orangnya sudah meninggal,” kata Tarso. Tak ada dokumen dari transaksi itu, semua dilakukan secara tunai. Dengan nama Marbun dan Widi saja, sangat sulit melacak identasnya.
Di lokasi-lokasi pencurian lain, para pengguna jasa pemasangan ilegal itu bahkan tak bersedia mengungkapkan orang-orang yang membantu mengurus dokumen palsu dan pemasangan meteran air. Di Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, misalnya ada B Aritonang. Dia menghindari pertanyaan soal pemasangan saluran air ilegal. Ia tak menjawab pertanyaan apapun soal akses air bersih.
April lalu, PAM memutus empat sambungan ilegal yang dialirkan ke puluhan rumah kontrakan di Sukapura yang dikelola B Aritonang. Di sepanjang jalan itu, ada empat bekas galian petugas PAM yang memutus sambungan ke arah kontrakan.
Kompas menelusuri sejumlah nama yang disebutkan oleh warga pelaku pencurian air. Foto yang ditunjukkan Atun dipastikan oleh PAM Jaya sebagai Yudha Fitrianto. Namun, berbeda dari nama yang ia sebut pada warga, ia dikenal sebagai Yudha di kalangan PAM Jaya. Yudha alias Yanto sendiri mengakui ia pensiunan PAM Jaya saat dihubungi Kompas melalui telepon pada Kamis (27/5/2021). Identitas Yudha Fitrianto sebagai pensiunan PAM Jaya juga dipastikan oleh pihak PAM Jaya.
Namun Yanto menyangkal semua tuduhan keterlibatannya soal pemasangan air perpipaan secara ilegal di Kapuk Muara. Ia menyatakan tidak ada bukti dokumen yang akan dapat mengaitkannya dengan aksi tersebut.
Padahal, dua hari sebelum menyangkal tuduhan, Yanto masih melayani permintaan pemasangan saluran air pipa di lahan tanpa surat kepemilikan. Permintaan itu dari seorang bernama Irawati di Jakarta Barat. Dalam percakapan lewat Whatsapp, Yudha menjanjikan akan melakukan survei lapangan bersama anak buahnya. Sementara itu nama Marbun, Pardi dan Endro masih menjadi misteri. (FAJ/DVD/IRE/NDY)