Mengendus Pencurian Air, Bagai Mencari Jarum di Tumpukan Jerami
Mafia air sudah terbiasa menyebunyikan aksi curangnya. Mendeteksi ulah mereka, tidak cukup dengan perangkat teknologi, melainkan juga perlu niat serius dan konsistensi.
Oleh
Dhanang David Aritonang / Irene Sarwindaningrum / Insan Alfajri / Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Secanggih apa pun teknologi yang diterapkan, sejauh ini masih bergantung pada cara-cara manual. Gambaran ini yang terlihat pada kerja tim pencari kebocoran air di Jakarta. Mereka mengandalkan kejelian, stamina, dan keberanian anggota tim. Persoalan menjadi lebih pelik jika pencuri air berkilah dan memyembunyikan praktik ilegalnya. Apalagi jika ada oknum “orang air” yang membantu sambungan ilegal.
Pelacakan kebocoran komersial yang diikuti Kompas, Rabu (19/5/2021) di wilayah Buaran, Jakarta Timur misalnya. Tim pelacak bergerak setelah menerima laporan petugas pencatat meter. Tim yang bergerak sejak pukul 08.30 hingga pukul 14.00, belum dapat menemukan lokasi yang dilaporkan petugas. Tim memeriksa secara manual setiap meteran warga yang dianggap mencurigakan satu per satu. Mereka tidak menggunakan alat pendeteksi apa pun, kecuali mesin pencari Google Maps untuk memastikan alamat yang dituju.
Ada dua titik lokasi yang disasar tim yakni di Kecamatan Cakung dan Cilincing, Jakarta Utara. Petugas berulangkali bertanya pada warga di sepanjang jalan. Tak ada yang mengenali rumah tersebut. Nomor rumah tidak ada yang mengenalinya. Setelah lima kali mengitari jalan di kampung itu dengan mobil, petugas memutuskan menelusuri gang-gang sempit dengan berjalan kaki. Namun lagi-lagi, setelah berjalan berputar-putar keluar masuk gang, alamat tidak ditemukan.
Sulitnya menemukan alamat ini kerap menjadi kendala dalam pemeriksaan meter dan instalasi ilegal. Setelah ditemukan pun, pekerjaan tidak lalu mulus. Mereka kerap harus menghadapi amarah penghuni rumah, ada yang Cuma beradu argumen, tapi ada juga yang melakukan kekerasan verbal dan ancaman.
Sulitnya mengatasi pencurian diakui Suhaimi mantan anggota Tim Endus PAM Jaya, tim penertiban sambungan ilegal. Pencuri air kerap nekat, meski sambungannya sudah dicabut, pada kesempatan berikutnya sambungan ilegal terjadi lagi. "Itu yang tidak bisa kami berantas di sana. Mereka ngga takut dengan petugas. Mereka membantah dan melawan jika disebut menggunakan air Pam dari sambungan ilegal," kata Suhaimi.
Cerita Sihaimi senada dengan hasil penelusuran Kompas di Penjaringan dan Cilincing. Setelah ada penertiban sambungan ilegal di sana, tim kembali menemukan sambungan serupa. Meski pihak-pihak yang terlibat pencurian mendapatkan denda, namun mereka tidak jera dengan perbutannya.
Tidak hanya itu, tim pencari kebocoran seringkali berhadapan dengan berbagai kendala di antaranya meteran air yang tertimbun material lain, bak air terkunci, atau meteran air tidak standar.
Teknologi pendeteksi
Ada sejumlah perangkat untuk mendeteksi kebocoran sudah dipakai operator mitra swasta di Jakarta. Beberapa di antaranya adalah, menggunakan district meter area (DMA). Sayangnya, jumlah DMA di Jakarta saat ini baru 200 unit, masih kurang memenuhi standar yang dibutuhkan.
Idealnya, satu satu DMA dioperasikan untuk memantau penggunaan air 500 hingga 3.000 pelanggan. Jika saat ini jumlah pelanggan hampir 900.000, dibagi dengan jumlah maksimal pelanggan yang dilayani satu DMA yaitu 3.000 pelanggan, dibutuhkan 300 DMA. Artinya masih kurang 100 DMA.
Adapun cara kerja DMA adalah mengisolasi sebuah daerah layanan. Dengan adanya DMA maka pasokan air, penggunaan, dan tingkat kebocoran dapat dihitung lebih spesifik. Jika ada hal yang mencurigakan, misalnya aliran airnya tinggi sedangkan tekanannya rendah, tim pencari kebocoran dapat menelusuri ke lapangan.
“Namun demikian, hal lain yang perlu diperhatian setelah DMA terbentuk adalah operasional DMA yg juga membutuhkan biaya cukup besar,” kata Direktur Teknik PAM Jaya Untung Suryadi. Untuk satu DMA dibutuhkan investiasi Rp 400-500 juta. Adapun cara kerja tim pemantau kebocoran mesti kerja sepanjang hari karena pencuri beraksi tidak mengenal waktu.
Menghadapi kebocoran air ini, operator Palyja yang melayani warga di wilayah Jakarta bagian barat Sungai Ciliwung, menerapkan sejumlah langkah. Lydia Astriningworo, Corporate communications & Social Responsibility Division Head Palyja menyatakna perusahaannya menginvestigasi setiap ada laporan kebocoran komersial. Dari hasil investigasi, Palyja menemukan sejumlah modus pencurian, di antranya menydap pipa tnpa izin, membuat sambungan ilegal, dan menjual air dari pipa sadapan.
“Jika pelanggarannya berulang, menimbulkan kerugian yang besar, serta dilakukan secara masif, maka Palyja akan melaporkan ke pihak berwajib,” kata Lydia dalam keterangan tertulis.
Sementara PT Aetra memilih bungkam dengan pertanyaan ini. Kompas sudah melayang pertanyaan ke Corporate Secretary PT Aetra Astriena Veracia. Namun daftar eprtanyaan Kompas yang diajukan belum mendapat respons. "Mohon maaf, beberapa pertanyaan belum bisa kami jawab sesuai dengan arahan dari direksi," kata Staf Humas PT Aetra, Ninuk Suryorini.
Merespons masalah ini, Ahli Hidrologi yang juga mantan anggota Badan Regulator Air DKI Firdaus Ali menilai keterlibatan oknum-oknum internal menyulitkan mempertanggungjawabkan penggunaan air perpipaan di Jakarta. Dia tidak menyangkal adanya orang-orang internal operator, ada oknum yang nakal dan terlibat dalam pencurian air. "Mereka menyambungkan (pipa air secara ilegal) ke orang yang membutuhkan, tetapi tidak dimasukkan ke data base. Orang-orang ini melakukan itu untuk mengumpulkan uangnya sendri," kata Firdaus.
Karenanya tidak heran jika tingkat kebocoran sulit ditekan. Pencurian air masuk dalam kategori kebocoran komersial, angkanya 20 persen dari total kebocoran sebesar 45 persen dari produksi air baku. Sebanyak 80 persen dari angka kebocoran merupakan kebocoran fisik. Sepanjang kerjasama dengan mitra seasta sejak 1998, kebocoran air pipa di Jakarta sering melampaui target.