Di media sosial, makin sering kita menyaksikan orang dari beragam usia dan sosial ekonomi melontarkan kata-kata tidak sopan, bahkan tidak senonoh dalam berinteraksi.
Memang hanya sebagian kecil yang berperilaku seperti itu. Namun, di zaman internet ini, kejadian itu segera viral. Tentu dengan berbagai implikasinya.
Ketika seseorang berkomunikasi, verbal dan nonverbal, sengaja atau tidak, ada tiga macam informasi yang bisa dipetik dari perilaku komunikasinya (Brent D Ruben, Communication and Human Behavior, 1984; 1992).
Pertama, informasi tentang topik atau masalah tertentu. Kedua, informasi hasil inferensi pihak yang mengirim pesan. Ini mencakup perkiraan tentang pendidikannya, budaya, karakter, kondisi emosional, dan sebagainya.
Ketiga, bagaimana sumber pesan itu memandang penerima atau khalayak pesannya. Apakah menghormati, menghargai, meremehkan, melecehkan, atau menghina.
Ringkasnya, konten, bahasa yang digunakan, pilihan kata, mimik muka, sikap tubuh, volume suara, dan intonasi menjadi petunjuk untuk memaknai pesan sekaligus menilai ”kualitas” pengirim pesan.
Selain itu, ada prinsip bahwa dalam proses komunikasi, pesan yang sudah dikirim tidak bisa ”ditarik” kembali (irreversible) (Joseph A DeVito, The Interpersonal Communication Book. Edisi ke-15, 2019). Kita memang bisa mengirim pesan berikutnya (misalnya permintaan maaf, ralat, dan lain-lain). Namun, itu tidak ”menghapus” pesan sebelumnya yang ”telanjur” dimaknai.
Yang tidak boleh pula diabaikan, kita harus berkomunikasi dengan beretika (Larry A Samovar, Richard E Porter, dan Edwin R McDaniel, Communication Between Cultures. Edisi ke-7, 2010). Komunikasi tidak hanya harus efektif, tetapi juga menjunjung etika dan martabat.
Proses komunikasi manusia jelas kompleks. Pandangan dan prinsip di atas tadi sebagian upaya memahaminya.
Memang dalam kondisi tertentu, misalnya fisiologis, biologis, psikologis, manusia cenderung ”keluar asli”-nya. Namun, setidaknya, pemahaman tentang ”keunikan” komunikasi manusia membekali kita untuk ”bijak” berkomunikasi. Di era komunikasi berbasis internet saat ini, rekaman perilaku kita abadi ”tersimpan di awan” (cloud).
Eduard Lukman
Jalan Warga, Pejaten Barat, Jakarta, 12510
Ganti Untung Berkelanjutan
Di satu sisi, kita patut bersyukur dengan berubahnya ganti rugi menjadi ganti untung untuk pembebasan lahan proyek pembangunan.
Berbagai berita mengabarkan masyarakat desa yang membeli mobil dan motor hasil ganti untung. Misalnya, di daerah Tuban dan Indramayu untuk proyek Pertamina, di Takalar untuk proyek PUPR.
Di sisi lain, kita patut risau pada apa yang terjadi 5-10 tahun mendatang pada mereka yang mendadak kaya itu.
Apa yang terjadi jika kita berikan Rp 10 miliar kepada pedagang asongan dan Rp 10 miliar kepada pedagang besar? Bisa jadi dengan pola produksi-konsumsi skala harian, pedagang asongan juga memanfaatkan uang itu dalam skala harian. Umumnya untuk pemanfaatan konsumtif.
Sebaliknya pedagang besar mungkin memanfaatkan Rp 10 miliar untuk produksi-konsumsi skala tahunan, termasuk manfaat produktif jangka panjang.
Maka, dalam 5-10 tahun mendatang, bisa lebih pendek, akan terjadi pemiskinan masyarakat terkait. Ganti untung untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa memiskinkan jika tidak ada kemampuan mengelola.
Kita tahu ada ketentuan amdal regional, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), dan sejenisnya. Bagaimana jika dalam pelaksanaannya diwajibkan juga antisipasi perusahaan terhadap pemiskinan masyarakat terkait.
Perusahaan bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi atau LSM memberikan pelatihan dan pendampingan agar pemanfaatan dana besar ganti untung bisa berkelanjutan.
BS Kusbiantoro
Cicendo, Bandung