Dikejar Api, Penumpang KM Karya Indah Sempat Berada di Antara Hidup dan Mati
Sambil menangis, ada seorang ibu membungkus bayinya dengan baju pelampung kemudian mengikatnya dengan jilbab. Setelah memeluk bungkusan itu, ibu itu meloncat ke laut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
TERNATE, KOMPAS — Kebakaran kapal penumpang di Maluku Utara kembali terjadi. Api membakar hampir setengah tubuh besar Kapal Motor Karya Indah berkapasitas penumpang hingga 300 orang, Sabtu (29/5/2021). Tidak ada korban meninggal. Namun, ke depan, pemeriksaan kapal sebelum berangkat harus dilakukan semakin ketat.
Tidak ada yang janggal saat KM Karya Indah meninggalkan Pelabuhan Ternate menuju Pelabuhan Sanana di Kabupaten Kepulauan Sula, Jumat (28/5/2021) sekitar pukul 18.00 WIT. Kapal berbobot mati 1.148 gros ton itu bakal membelah Laut Maluku ke arah selatan. Waktu tempuh perjalanan dari Ternate ke Sanana, juga di Provinsi Maluku Utara, sekitar 15 jam.
Belum lama berlayar, ombak di lautan sudah tidak bersahabat dengan sebagian penumpang. Ada yang mual bahkan muntah saat gelombang datang menghadang kapal.
Akan tetapi, semua itu hanya riak kecil bagi kapal besar tersebut. Kapal terus melaju melewati malam hingga memasuki Kepulauan Sula, Sabtu pagi.
Hanya saja, pagi itu tak seindah biasanya. Setidaknya bagi Rodiah (52), salah seorang penumpang. Dia mendapati air tidak mengalir di toilet. Bagi dia yang sudah berulang kali naik kapal itu, hal itu tidak biasa. Apalagi kapal itu baru dibangun tahun 2009.
Tidak ada air, Rodiah keluar dari toilet di dek tiga itu. Namun, belum tiga langkah menuju lorong kapal, ia melihat asap mengepul dari dek bawah.
”Kebakaran..., kebakaran,” kata Rodiah menirukan teriakan salah seorang penumpang. Saat itu, sekitar pukul 06.00 WIT. Ia menduga anak buah kapal masih tertidur.
Belum sampai di depan, mereka tiba-tiba dicegat kobaran api yang menyembur dari bawah. Mereka pun diperintahkan ke belakang.
Kepanikan dimulai. Rodiah langsung berlari ke kamarnya. Suami dan anak yang masih tertidur ia bangunkan. Dia juga menggedor pintu kamar lain. Tahu ada kebakaran, penumpang berdesakan mencari baju pelampung di lemari di ruang tengah kapal. Beruntung, semua penumpang kebagian pelampung.
Setelah mengenakan baju pelampung, dipandu awak kapal, penumpang bergerak ke arah haluan. Tujuannya, agar lebih mudah mengambil tempat saat aba-aba meninggalkan kapal. Namun, tidak mudah melakukannya di atas kapal yang terbakar. Belum sampai di depan, mereka tiba-tiba dicegat kobaran api yang menyembur dari bawah. Mereka pun diminta kembali ke bagian belakang.
Akan tetapi, belum dua langkah ke belakang, sudah muncul asap tebal. Penumpang dari dek bawah sudah menumpuk di dek tiga. Mereka semakin panik. Tangis dan teriakan pun terdengar. Saat itu, kapal berada di tengah laut. Jarak dengan pulau terdekat sekitar 5 mil laut atau setara 9,2 kilometer.
Tak ingin dilahap api dan diselimuti asap, Rodiah sepakat terjun ke laut bersama suami dan anaknya. Mereka berpelukan lalu terjun ke laut. Ketinggian sekitar 7 meter tidak menjadi masalah. Dengan bantuan baju pelampung, mereka terapung dan berpelukan.
”Kami sudah janji, kami tidak akan saling memisahkan sampai napas terakhir. Kami pasrah saja,” ucap Rodiah dengan nada bergetar.
Rodiah mengatakan, dirinya dan keluarga mulai berada di air sekitar pukul 06.30. Dia tidak sendirian. Rodiah melihat ragam usaha dilakukan penumpang lain untuk bertahan hidup.
Rodiah melihat seorang ibu yang membungkus bayinya dengan baju pelampung, kemudian mengikatnya dengan jilbab. Setelah memeluk bungkusan itu, ibu tersebut meloncat ke laut.
Tidak hanya itu, dia juga melihat keinginan kuat ibu bersama empat anak hingga kakek renta untuk bertahan hidup. Sempat ragu hingga menangis karena takut melompat, semuanya menceburkan diri ke air karena api semakin memburu.
Akan tetapi, melompat ke air tidak lantas menyelesaikan masalah. Mereka harus sabar menunggu pertolongan yang tidak diketahui kapan datangnya. Cukup lama mereka terapung, hingga sekitar 1,5 jam. Rodiah dan penumpang lain mulai kelelahan.
Beruntung, pertolongan tiba di saat yang tepat. Perahu cepat milik nelayan dari beberapa pulau setempat, seperti Lifamatola dan Mangole, hadir tidak terduga. Awak perahu itu lantas mengevakuasi penumpang yang sudah kelelahan dan kedinginan tersebut.
Fahari Yosua dari Kantor SAR Ternate mengatakan, nelayan setempat menjadi orang pertama yang menyelamatkan penumpang. Tim gabungan dari SAR baru tiba di lokasi itu sekitar dua setengah jam setelah kejadian. ”Lokasi itu berjarak sekitar 38 mil laut (70,3 km) dari pos SAR terdekat,” katanya.
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Ternate Affan Tabona menuturkan, berdasarkan data manifes, jumlah penumpang yang berangkat sebanyak 181 orang. Mereka terdiri dari 155 orang dewasa, 22 anak-anak, dan 4 warga lanjut usia. Di luar itu, terdapat 14 awak kapal. ”Semuanya selamat dari kejadian itu,” ujarnya.
Penyebab kebakaran belum diketahui dan masih akan diselidiki Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Namun, Affan mengatakan, kapal tersebut laik berangkat. Hal itu berdasarkan laporan pihak kapal dan pemeriksaan KSOP setempat.
Hingga Sabtu malam, proses evakuasi penumpang ke Sanana masih berlangsung. Banyak dari mereka trauma dengan kejadian tersebut. Kapal yang setengah tubuhnya terbakar itu juga ditarik ke Pulau Lifamatola.
Dalam catatan Kompas, kebakaran transportasi laut di Maluku Utara bukan kali ini saja terjadi. Tahun 2016, misalnya, kapal cepat dari Ternate ke Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, terbakar di tengah laut. Empat orang meninggal akibat kejadian tersebut.
Untuk mencegah kejadian itu terulang, diperlukan kesadaran operator kapal memeriksa kondisi kapal. Begitu pula pihak KSOP harus menjalankan pemeriksaan secara serius, bukan sekadar formalitas saja.