Dilema Perbankan: Pilih SBN atau Penyaluran Kredit
Perbankan dituntut lebih banyak menyalurkan kredit guna mendorong pemulihan ekonomi, tetapi menyalurkan kredit tidak lebih menguntungkan ketimbang membeli SBN.
Sudah 6 bulan berturut-turut penyaluran kredit mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif. Dimulai pada Oktober 2020 tatkala pertumbuhan kredit tahunan (year on year/yoy) tercatat minus 0,47 persen hingga Maret 2021 sebesar minus 3,77 persen.
Kontraksi kredit tak pernah terjadi sebelumnya dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, saat krisis finansial global tahun 2009, kredit perbankan nasional masih bisa tumbuh positif.
Sejak pandemi Covid-19 menghantam, permintaan kredit oleh masyarakat dan pelaku usaha memang menurun drastis. Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat selama pandemi membuat aktivitas ekonomi jatuh ke titik nadir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2021 terkontraksi minus 2,23 persen dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya.
Tingkat permintaan masyarakat yang rendah akhirnya membuat produsen menurunkan produksinya. Dampaknya, permintaan kredit modal kerja dan investasi oleh para pelaku usaha pun anjlok. Bahkan, banyak pelaku usaha yang memilih cepat-cepat melunasi cicilannya ke bank sehingga outstanding kredit perbankan makin menyusut.
Namun, anjloknya kredit tak hanya dipicu oleh rendahnya permintaan debitor. Perbankan sendiri cenderung menahan suplai kredit karena menilai risiko sektor riil masih tinggi seiring belum adanya tanda-tanda kapan pandemi bakal mereda.
Terdapat dua faktor utama yang membuat perbankan mengerem penyaluran kreditnya. Pertama, kredit berisiko atau loan at risk (LAR) masih tinggi. Ini tecermin dari jumlah kredit yang direstrukturisasi, yang mencapai Rp 808,75 triliun per akhir Maret 2021, berdasarkan data OJK. Dengan outstanding kredit sebesar Rp 5.496,7 triliun per akhir Maret 2021, rasio LAR terhadap total kredit mencapai 14,7 persen.
Sebagai bentuk kehati-hatian, perbankan pun melakukan pencadangan kerugian yang cukup besar, yang ujungnya mengurangi keleluasaan bank dalam menyalurkan kredit.
Kedua, selama pandemi, perbankan lebih tertarik menempatkan dananya pada surat utang negara atau biasa disebut Surat Berharga Negara (SBN).
Sepanjang 2020, berdasarkan data Kementerian Keuangan, perbankan nasional memborong SBN secara neto sebesar Rp 753,4 triliun. Dengan demikian total kepemilikan SBN oleh perbankan pada akhir 2020 mencapai Rp 1.375,6 triliun atau 20,6 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).
Penambahan SBN pada 2020 lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam kurun 2014-2019, rata-rata penambahan SBN oleh perbankan Rp 285,7 triliun.
Perbankan leluasa membeli SBN karena pasokannya sangat melimpah seiring tingginya kebutuhan pemerintah untuk membiayai penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Pada 2020, SBN neto dalam denominasi rupiah yang diterbitkan pemerintah mencapai Rp 1.064,32 triliun, terbesar sepanjang sejarah. Jumlah tersebut lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2021 perbankan tak juga berhenti melahap SBN. Selama triwulan I-2021 saja, perbankan telah membeli SBN secara neto sebesar Rp 197,5 triliun sehingga kepemilikan SBN oleh perbankan per akhir Maret 2021 mencapai Rp 1.573,13 triliun.
Sekarang pertanyaannya, mengapa perbankan menggunakan hampir semua likuiditasnya untuk membeli SBN dan hanya menyisakan sebagian kecil untuk penyaluran kredit? Bukankah pada tahun-tahun sebelumnya justru alokasi untuk penyaluran kredit selalu jauh lebih besar ketimbang untuk membeli SBN?
Baca juga kolom penulis :
- Utang dan Sisa Anggaran
- Investasi Tak Berbatas
- Pemulihan yang Berkesinambungan
- Kredit Seret, Dana Berlimpah
- Fondasi yang Tak Kokoh
- Resesi dan Pandemi
- Berbagi Beban
Dulu memang iya karena spread suku bunga kredit dan SBN masih relatif tinggi sehingga menyalurkan kredit jauh lebih menguntungkan. Namun, seiring tren penurunan suku bunga kredit, spread-nya semakin mengecil. Bahkan kini spread menjadi lebih kecil lagi karena di sisi lain bunga SBN justru cenderung naik seiring masih tingginya tekanan capital outflow atau keluarnya dana asing dari pasar keuangan Indonesia.
Ditambah dengan masih tingginya risiko kredit, kondisi pun menjadi terbalik. Membeli SBN saat ini relatif lebih menguntungkan ketimbang menyalurkan kredit.
Begini hitung-hitungannya. Rata-rata bunga atau imbal hasil (yield) SBN kini sebesar 6,3 persen. Adapun suku bunga dasar kredit (SBDK) sekitar 9,05 persen. SBDK digunakan sebagai dasar penetapan suku bunga kredit yang akan dikenakan pada nasabah, tetapi belum mencakup premi risiko. Perbandingan SBDK dan yield SBN cukup relevan karena SBN tergolong instrumen yang juga tanpa risiko atau zero risk.
SBDK terdiri atas tiga komponen pembentuk, yakni harga pokok dana (HPD), biaya operasional (overhead cost/OHC), dan margin keuntungan. HPD merupakan biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga DPK, seperti tabungan, giro, dan deposito. Berdasarkan data OJK, rincian kontribusi komponen masing-masing adalah HPD sebesar 3,41 persen poin, OHC 3,07 persen poin, dan margin keuntungan 2,56 persen poin sehingga totalnya menjadi 9,05 persen.
Perbandingan SBDK dan yield SBN cukup relevan karena SBN tergolong instrumen yang juga tanpa risiko atau zero risk.
Biaya operasional bank untuk membeli SBN bisa dibilang minim karena hanya cukup mengikuti lelang yang dilakukan secara digital. Berbeda dengan penyaluran kredit yang membutuhkan biaya macam-macam. Misalnya sumber daya manusia untuk bertemu dan meninjau lokasi debitor untuk memastikan kelayakan usahanya.
Dengan demikian, komponen SBDK yang juga menjadi dasar pertimbangan bank membeli SBN sebenarnya hanyalah HPD dan margin keuntungan, yang total keduanya sebesar 5,97 persen. Jadi, dengan membeli SBN ber-yield 5,97 persen saja, sesungguhnya keuntungan bank sudah sama besar dengan penyaluran kredit. Jika yield SBN di atas itu, tentu keuntungan membeli SBN menjadi jauh lebih besar.
Inilah yang menjadi dilema bagi bank. Di satu sisi perbankan dituntut lebih banyak menyalurkan kredit guna mendorong pemulihan ekonomi. Di sisi lain menyalurkan kredit tidak lebih menguntungkan ketimbang membeli SBN.
Istilahnya, mengapa harus repot-repot dan berkeringat menyalurkan kredit yang berisiko apabila ada bisnis lain yang menawarkan keuntungan sama, tetapi cukup duduk manis sambil sesekali menengok layar komputer menantikan hasil lelang SBN.