Ada yang kurang beres di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan selaku penanggung jawab penerbitan kamus sejarah. Penjelasan bahwa hilangnya nama pendiri NU sebagai sekadar kelalaian sungguh tak masuk akal.
Oleh
A Ristanto
·2 menit baca
Sungguh prihatin melihat hilangnya peran pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, dalam buku Kamus Sejarah Jilid I. Buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sudah beredar di pelajar dan masyarakat tanpa menyebut KH Hasyim Asy’ari.
Alangkah naif alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menyatakan tidak ada niat menghilangkan peran pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Meski dikabarkan buku ini sudah dicetak sebelum periode Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, alangkah baiknya jika siapa-siapa yang terlibat dalam penyusunan buku ini segera ditelusuri.
Berita di media juga menyebutkan, pihak Kemendibud tidak pernah secara resmi menerbitkan buku itu. Dikatakan, isi buku yang sudah beredar berasal dari softcopy draf yang masih dalam pengkajian kementerian. Lho, kok bisa?
Jika pernyataan ini tidak keliru, berarti sebenarnya sudah bisa diketahui siapa pemegang softcopy dan kemudian meloloskan ke percetakan. Tidak mungkin pihak percetakan mendapat order cuma-cuma sehingga dapat diketahui siapa pembiaya terbitnya buku lancung yang dapat menyimpangkan pemahaman sejarah kebangsaan kita.
Semakin memprihatinkan lagi karena di buku pelajaran siswa itu malah dimasukkan nama Abu Bakar Ba’asyir dalam deretan tokoh bangsa. Padahal, kita tidak terlalu paham jasa dari nama tersebut kecuali pernah dihukum dengan dakwaan terkait gerakan teror (teroris).
Sebagai awam, sulit untuk tidak menduga bahwa ada yang kurang beres di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan selaku penanggung jawab penerbitan tersebut. Penjelasan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid terkait masalah ini bahwa hilangnya nama pendiri NU sebagai sekadar kelalaian sungguh tak masuk akal.
Jangan-jangan di kementerian yang menentukan pendidikan anak-anak kita itu ada pejabat-pejabat yang kurang berwawasan kebangsaan.
Jika memang demikian, seharusnya bisa diungkapkan secara gamblang duduk persoalannya, termasuk siapa yang terlibat, mengapa, serta selanjutnya sanksi dan bagaimana caranya mencegah agar tidak terjadi lagi.