Sebagai aktivis perempuan yang vokal, Nawal el-Saadawi meninggalkan banyak warisan setelah kematiannya, pekan lalu. Gugatannya tentang posisi tawar perempuan di dunia menjadi penting.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nawal el-Saadawi, penulis, dokter, pejuang perempuan, dan aktivis hak asasi manusia, wafat pada 21 Maret 2021 di Kairo, Mesir. Namun, tulisan dan pemikirannya tetap tinggal, menggelitik publik untuk berani menggugat posisi tawar perempuan di dunia. Warisan ini yang coba dijaga setelah kematian sang ”pembangkang”.
Nawal menulis 55 buku. Hal yang ia tulis berangkat dari keresahannya sebagai perempuan. Perempuan tidak menjadi mitra yang setara dengan laki-laki. Sederhananya, perempuan kerap dinomorduakan.
Tak jarang perempuan mendapat diskriminasi dan perilaku berbeda dari laki-laki. Nawal mencontohkan, ia harus bekerja lebih banyak di rumah dibandingkan dengan saudara laki-lakinya. Dia juga tidak boleh punya rambut pendek seperti saudara laki-lakinya dan tidak bebas bermain layaknya anak kecil.
Posisi tawar perempuan begitu lemah, terimpit konstruksi sosial dan agama. Hal ini begitu kentara di Mesir, negara yang konservatif dan patriarkis.
Nawal kecil menghadapi hal yang akan merugikan perempuan dalam jangka panjang, tetapi dinormalisasi. Nawal sempat akan dinikahkan pada usia 10 tahun, tetapi ibunya membela dia sehingga pernikahan batal. Yang paling ekstrem—dan meninggalkan luka seumur hidup—adalah sunat perempuan (female genital mutilation/FGM).
Kejadian demi kejadian membuat Nawal menanyakan makna perempuan dan posisinya di dunia. Ia menggugat patriarki. Pemikirannya disampaikan tanpa eufemisme. Kejujuran brutal.
Penulis dan aktivis literasi Feby Indirani mengatakan, gugatan Nawal muncul secara alami dari pengaruh keluarga. Gugatannya mewakili pertanyaan seluruh perempuan di dunia yang mengalami ketidakadilan.
”Sejak kecil saya kerap dibisiki oleh ibu agar menjadi perempuan yang lengkap, yaitu yang bisa menjadi istri, ibu, teman, bahkan kalau perlu ’pelacur’ buat suaminya. Tuturan itu membuat saya bertanya, apa sih, perempuan itu. Buku Perempuan di Titik Nol oleh Nawal melengkapi keping puzzle itu,” kata Feby pada diskusi daring Perihal Nawal: Mengenang Karya dan Pemikiran Nawal El Saadawi, Jumat (26/3/2021).
Menurut Feby, pemikiran dan pertanyaan Nawal sebenarnya diajukan juga oleh semua perempuan. Namun, pertanyaan para perempuan kerap dimatikan. Patriarki dan paham agama kerap dijadikan ”justifikasi” untuk menghentikan pertanyaan. ”Saya harap pertanyaan (Nawal) selalu disuarakan, diwariskan, di banyak diskusi,” tambahnya.
Penulis, aktivis kemanusiaan, dan wartawan senior Maria Hartiningsih mengatakan, pemikiran dan buku Nawal adalah konfirmasi dari keresahannya sebagai perempuan. Nawal patut diapresiasi bukan hanya karena gugatannya yang subversif, melainkan juga karena keberaniannya menyuarakan kebenaran.
Keberanian Nawal harus dibayar mahal. Ia ditentang banyak kelompok agama di Mesir, Amerika Serikat, hingga Inggris. Buku dan drama buatannya dilarang pemerintah. Ia juga menerima ancaman kematian.
Nawal pun pernah dipenjara di masa pemerintahan Anwar Sadat dengan tuduhan kejahatan terhadap negara. Ia juga harus hidup berpindah-pindah selama lebih dari 10 tahun di beberapa negara. Di sisi lain, Nawal diberi sejumlah penghargaan atas keberaniannya, salah satunya menjadi 100 Women of the Year oleh majalah Time pada 2020.
Pemikiran dan karya tulisan Nawal kental dengan nuansa feminisme. Paham ini mendambakan dunia yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi setara. Feminisme menggugat dominasi patriarki saat ini.
”Bukan berarti Nawal membenci laki-laki. Yang terpenting adalah menyeimbangkan peran antara lelaki dan perempuan. Patriarki masih hidup karena ada dukungan perempuan juga,” ujar Maria.
Bukan berarti Nawal membenci laki-laki. Yang terpenting adalah menyeimbangkan peran antara lelaki dan perempuan. Patriarki masih hidup karena ada dukungan perempuan juga.
Menurut sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Neng Dara Affiah, memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki penting. Ini bukan untuk keuntungan perempuan semata, tapi juga laki-laki. Akses agar perempuan bisa berdaya, aman, dan setara perlu dibuka.
”Apabila yang tumbuh di dunia adalah perempuan yang tidak mandiri dan tangguh, maka persoalan dunia hanya akan dipikul laki-laki. Jika perempuan dan laki-laki sama-sama mandiri, bebannya bisa ditanggung bersama,” kata Neng Dara.
Wartawan Tempo, Qaris Tajudin, pada diskusi yang sama mengatakan, sosok seperti Nawal tidak hanya dibutuhkan perempuan, tapi juga laki-laki. Gugatan Nawal mendorong publik berpikir kritis dan mempertanyakan lagi sistem yang ada selama ini.
”Kita boleh tidak setuju dengan beberapa pernyataan Nawal karena dia sangat ekstrem (karakter subversifnya) sehingga kita baru bisa menerima sebagian (dari pemikiran dia). Itu tidak apa-apa. Sebab, dia adalah orang yang setidaknya mampu membuka banyak pertanyaan,” ucap Qaris.
Menurut Feby, pertanyaan-pertanyaan Nawal bisa diwariskan dalam bentuk diskusi sastra, tidak melulu soal feminisme. Ini karena novel yang ditulis Nawal bisa ditelaah sebagai karya kreatif yang estetis.