Belajar dari Sejarah, Bersiaplah Selalu Menghadapi Potensi Wabah
Pandemi adalah keniscayaan dan berpotensi muncul kembali di masa depan. Persiapan pun diperlukan, termasuk belajar dari sejarah penanganan pandemi di masa lampau.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
ARMED FORCES INSTITUTE OF PATHOLOGY/NATIONAL MUSEUM OF HEALTH AND MEDICINE AS
Rumah sakit darurat di Camp Funston, Fort Riley, Kansas, saat pendemi flu spanyol 1918.
JAKARTA, KOMPAS — Sejarah mengajarkan banyak hal, termasuk bagaimana manusia menangani wabah penyakit di masa lalu. Sejarah penanganan wabah di masa lampau menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi pandemi Covid-19 saat ini dan potensi wabah di masa depan.
Salah satu kunci penanganan pandemi yang baik di masa lalu adalah informasi yang terbuka dan akurat, serta pengendalian berita-berita bohong. Hal itu mengemuka pada diskusi daring ”Bedah Buku Satu Tahun Pandemi”, Selasa (23/3/2021).
Penulis buku Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, Ravando Lie, mengatakan, dunia sudah berulang kali menghadapi wabah dan pandemi. Semestinya banyak pelajaran yang bisa dipetik manusia dalam penanganan wabah penyakit di masa lampau.
Salah satu pandemi terparah terjadi pada abad ke-14 dan menewaskan 75 juta-200 juta orang di seluruh dunia. Pandemi yang disebut black death itu disebabkan bakteri Yersinia pestis.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Diskusi daring “Bedah Buku Satu Tahun Pandemi” diselenggarakan pada Selasa (23/3/2021). Hadir dalam diskusi ini adalah penulis buku Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, Ravando Lie; kontributor buku monograf Universitas Atma Jaya Indonesia Menghadapi Pandemi, Soegianto Ali dan Stevanus Pangestu; serta penulis Generasi Kembali ke Akar, Muhammad Faisal.
Selanjutnya, dunia dilanda flu rusia (1889-2981) yang membuat sekitar 1 juta orang meninggal. Pandemi flu spanyol (1918-1919) kemudian membuat 500 juta orang sakit dan 50 juta-100 juta orang tewas secara global. Di Indonesia, 1,5 juta-4,37 juta orang diperkirakan meninggal akibat flu spanyol, utamanya di Jawa dan Madura.
Pada 1957-1958 pun Indonesia menghadapi flu asia. Setelahnya, Indonesia berjibaku melawan flu burung atau H5N1 (1997), SARS (2003), dan flu babi (2009).
”Fakta itu menunjukkan bahwa pandemi adalah fenomena yang kerap dan akan terus terjadi. Pandemi Covid-19 ini seperti deja vu. Ada banyak kemiripan yang bisa dibandingkan dengan pandemi sekarang, seperti penyebaran (penyakit), respons masyarakat, dan tindakan pemerintah,” kata Ravando.
Pemerintah Hindia Belanda dulu dinilai tidak tanggap menghadapi pandemi flu spanyol. Flu spanyol disangka tidak lebih mematikan dari penyakit lain, misalnya kolera dan cacar. Setelah pandemi gelombang pertama (Juli-Agustus 1918) usai, muncul gelombang kedua (Oktober-Desember 1918). Saat itulah pemerintah kolonial Hindia Belanda kelabakan.
Pemerintah lalu membuat Infuenza-Commissie, suatu badan yang menangani pandemi, pada November 1918. Badan itu berhasil mengeluarkan beberapa rekomendasi dan buku panduan penanggulangan flu spanyol, seperti imbauan memakai masker dan karantina di pelabuhan.
REPRO BUKU "PANDEMI INFLUENZA 1918 DI HINDIA BELANDA"
Anak-anak balita yang dirawat di Rumah Sakit Zending di Mojowarno, Jawa Timur, awal abad ke-20. Anak balita banyak yang menjadi korban keganasan flu Spanyol di Hindia Belanda tahun 1918-1919.
Sama seperti saat ini, sejumlah kabar bohong muncul di kalangan masyarakat. Contohnya isu bahwa ikan lele bisa menangkal flu spanyol. Pandemi juga dimanfaatkan orang zaman dulu untuk mencari keuntungan.
”Dari sejarah kita belajar bahwa kunci mengendalikan pandemi adalah informasi yang terbuka dan akurat. Pengendalian hoaks juga penting. Selanjutnya, pandemi Covid-19 jadi pembelajaran soal pentingnya rancangan pencegahan wabah atau pandemi. Kajian pandemi bisa melibatkan seluruh lapisan profesi,” ujar Ravando.
Kontributor buku monograf Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia Menghadapi Pandemi, Soegianto Ali, mengatakan, SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 merupakan virus kedelapan dalam kelompok virus korona yang kerap menginfeksi manusia. Memahami genomik virus baru jadi penting untuk memahami sifat virus, mutasi, vaksin, hingga tes Covid-19 yang akurat.
Dari sejarah kita belajar bahwa kunci mengendalikan pandemi adalah informasi yang terbuka dan akurat. Pengendalian hoaks juga penting.
Tes penting untuk melacak dan meminimalkan risiko penularan penyakit. Menurut Soegianto, walau belum menunjukkan gejala, pasien Covid-19 bisa menularkan penyakit di hari ketiga setelah terinfeksi virus.
”Sensitivitas tes PCR (reaksi berantai polimerase) sekitar 70 persen, sementara swab antigen 30 persen. Lebih baik tes PCR. Namun, kendalanya adalah biaya yang mahal. Walau sensitivitas antigen lebih rendah dari PCR, hal itu tetap lebih baik untuk menghindari penularan,” kata Soegianto.
Generasi baru
Penulis buku Generasi Kembali ke Akar, Muhammad Faisal, mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan momen kritis bagi masyarakat saat ini. Momen tersebut memisahkan satu generasi dengan generasi lain, kemudian menciptakan generasi baru dengan karakter yang baru pula.
Generasi pascapandemi dinilai akan menghadapi tantangan berbeda dari generasi sebelumnya. Hal ini juga bakal dialami generasi milenial dan generasi Z. Generasi muda khawatir sulit mendapatkan jodoh saat pandemi, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan gelisah dengan nasib masa depan jika pandemi berkepanjangan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah anak-anak muda berswafoto di jembatan penyeberangan Jalan Sudirman, Jakarta, saat menikmati akhir pekan, Sabtu (30/01/2021). Pada akhir pekan dalam masa perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali, pemerintah kembali melaporkan rekor baru penambahan kasus baru Covid-19, yaitu 14.518 kasus. Lonjakan kasus baru di Indonesia yang beberapa kali memecahkan rekor harian tertinggi membuat pembatasan sosial yang diberlakukan tidak memberikan dampak signifikan dalam mengendalikan penularan virus korona baru.
Pola komunikasi yang kini serba digital juga diperkirakan menyebabkan masalah kesehatan jiwa. Riset Uni Eropa pada 2018 menyatakan 1 dari 6 orang menderita gangguan kesehatan jiwa, seperti gangguan kecemasan, depresi, bipolar dan schizophernia, serta ketergantungan pada alkohol dan obat-obatan.
”Generasi muda akan mengalami diskoneksi dengan diri sendiri dan lingkungan sosial. Di sisi lain, generasi milenial akan menghadapi revolusi yang berkaitan dengan otomasi, kecerdasan buatan, dan digitalisasi,” kata Faisal.
Menurut kontributor buku monograf Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia Menghadapi Pandemi, Stevanus Pangestu, pandemi mengubah cara hidup semua orang. Itu sebabnya publik perlu diberi akses untuk meningkatkan kapasitas mereka.