Produsen Mulai Ubah Kemasan Produk untuk Kurangi Sampah Plastik
Produsen barang konsumsi berupaya menekan timbulan sampah plastik yang hingga kini angka daur ulangnya masih 10-11 persen. Salah satu upaya itu, mendesain ulang kemasan produk agar lebih ramah lingkungan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah produsen barang konsumsi dan industri makanan minuman mulai berkomitmen menekan timbulan sampah plastik dari produk yang mereka hasilkan. Upaya yang dilakukan antara lain mendesain ulang kemasan produk, menggunakan plastik daur ulang, dan berkolaborasi dengan pelaku industri daur ulang.
Director of Public Affairs Communications and Sustainability PT Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo mengatakan, kemasan salah satu minuman berkarbonasi yang ia produksi akan diubah. Ia akan mengganti botol plastik hijau menjadi bening. Plastik bening lebih mudah didaur ulang dibandingkan plastik berwarna.
”Sejak 1971, Sprite ikonik dengan botol hijau. Kami pikir ini waktu yang tepat untuk bertransformasi. Sebagai produsen, kami mendorong praktik pengolahan sampah berkelanjutan,” kata Triyono dalam pertemuan daring, Kamis (18/2/2021).
Botol lama dan baru sama-sama menggunakan plastik polyethylene terephthalate (PET). Plastik ini digunakan karena ringan, dapat menjaga kualitas produk, mudah dibentuk, dan mudah didaur ulang. Adapun plastik PET bening punya nilai jual cukup tinggi di industri daur ulang. Sebab, plastik bening mudah dikonversi berkali-kali menjadi botol daur ulang.
Triyono mengatakan, Coca-Cola bekerja sama dengan beberapa organisasi untuk mengumpulkan botol plastik. Botol yang terkumpul akan dijadikan kacamata, kemudian didonasikan kepada orang yang membutuhkan.
”Kami tetap bereksplorasi. Kami menguji coba kemasan botol berbasis kertas di Eropa. Kemasan plastik bukan dari minyak bumi juga diuji coba di Amerika Serikat,” tutur Triyono.
Pada 2050 diperkirakan angka timbulan sampah naik 1,5 kali. Padahal, masalah sampah sekarang saja belum selesai. Sampah yang tidak terkumpul dan didaur ulang akan mencemari laut dan lingkungan.
Adaptasi desain kemasan produk juga dilakukan Unilever untuk mengurangi plastik. Menurut Head of Corporate Affairs and Sustainability PT Unilever Indonesia Tbk Nurdiana Darus, adaptasi itu seperti menipiskan plastik kemasan dan memendekkan botol.
Plastik daur ulang pun digunakan untuk membuat kemasan. Selain itu, Unilever juga menyediakan stasiun isi ulang untuk sejumlah produk di sebuah toko di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Konsumen bisa membawa wadah sendiri untuk mengurangi sampah.
”Hingga 2025, kami mau mengurangi penggunaan virgin plastic (plastik yang belum pernah diolah) sampai dengan 100.000 ton. Kami juga ingin 100 persen menggunakan kemasan plastik yang dapat didaur ulang,” ujar Nurdiana.
Menurut dia, komitmen produsen untuk menggunakan plastik daur ulang bisa menaikkan nilai tawar sampah plastik. Ini mendorong pertumbuhan industri pengolahan sampah. Nurdiana mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan hampir 4.000 bank sampah di seluruh Indonesia. Adapun sampah yang dapat dikumpulkan selama pandemi sebanyak 13.000 ton.
Ekonomi sirkular
Kepala Subdirektorat Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ujang Solihin Sidik mengatakan, industri pengolahan sampah berpotensi untuk menggerakkan ekonomi. Industri ini tumbuh positif selama pandemi.
”Kita bergerak ke ekonomi sirkular. Kita akan tinggalkan pola ekonomi linier berupa produksi, konsumsi, lalu dibuang. Setelah fokus mengurangi sampah lima tahun terakhir, ini saatnya membuat sampah jadi bagian penting dari ekonomi,” tutur Ujang.
Peta jalan ekonomi sirkular sudah tersedia. Peta ini diharapkan bisa mengurangi lima jenis sampah sebanyak 16-50 persen hingga 2030. Adapun pengelolaan kelima jenis sampah bisa memberi manfaat hingga 41,6 miliar dollar AS atau Rp 593 triliun.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat jumlah sampah plastik 16-17 persen dari seluruh sampah di Indonesia. Namun, angka daur ulang sampah masih 10-11 persen.
Salah satu penyebab rendahnya angka daur ulang karena masyarakat belum terbiasa memilah sampah. Menurut Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, ada 72 persen masyarakat Indonesia yang tidak peduli sampah.
Ketua Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Alin Halimatussadiah mengatakan, angka pengumpulan sampah di Indonesia sekitar 40 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara Asia yang mencapai 70 persen.
”Pada 2050 diperkirakan angka timbulan sampah naik 1,5 kali. Padahal, masalah sampah sekarang saja belum selesai. Sampah yang tidak terkumpul dan didaur ulang akan mencemari laut dan lingkungan,” ujar Alin.
Menurut Managing Director Waste4Change M Bijaksana Junerosano, ekosistem daur ulang di Indonesia sudah terbangun, mulai dari pengumpul sampah informal seperti pemulung hingga bank sampah. Namun, masyarakat diharapkan proaktif memilah sampah dan menyerahkannya ke bank sampah. ”Namun, 81 persen masyarakat Indonesia masih mencampur sampah,” katanya.