Lignoselulosa Miliki Potensi Besar untuk Dikembangkan
Dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, industri, hingga pemerintah, untuk mengembangkan dunia yang lebih ramah lingkungan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biorefineri atau teknologi mengonversi bahan-bahan terbarukan/biomassa menjadi produk turunan telah banyak dikembangkan di dunia, termasuk Indonesia. Lignoselulosa atau komponen utama penyusun dinding sel tumbuhan menjadi salah satu biomassa yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
Ketua Program Studi Rekayasa Hayati Institut Teknologi Bandung Yusuf Abduh menyampaikan, lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan kandungan selulosa (serat), hemiselulosa (pembentuk serat), dan lignin (pengikat serat). Lignoselulosa memiliki banyak cara untuk dikonversi menjadi produk turunan lain.
Lignoselulosa memiliki banyak potensi aplikasi dan saat ini belum banyak digunakan. Indonesia setiap tahun memproduksi padi dan begitu banyak jerami atau limbah dari sektor agroindustri bisa diolah untuk menghasilkan bioproduk.
”Lignoselulosa memiliki banyak potensi aplikasi dan saat ini belum banyak digunakan. Indonesia setiap tahun memproduksi padi dan begitu banyak jerami atau limbah dari sektor agroindustri bisa diolah untuk menghasilkan bioproduk,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Masa Depan Industri Biorefineri”, Sabtu (6/2/2021).
Menurut Yusuf, ketersediaan lignoselulosa sangat melimpah di dunia dengan jumlah diperkirakan mencapai 820 juta ton per tahun. Lignoselulosa juga memiliki siklus yang cepat, mudah terdegradasi, dan ramah lingkungan.
Dengan keunggulan tersebut, lignoselulosa menjadi salah satu biomassa yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi bioproduk lain melalui cara valorisasi atau pemulihan. Valorisasi dapat dikembangkan dari bahan jerami pertanian yang menghasilkan pupuk, pakan, bahan baku industri, bahan bakar, dan residu jamur.
Yusuf menegaskan, pada dasarnya terdapat tiga hal yang menjadi dasar dari pengembangan lignoselulosa ataupun produk biorefineri lain, yakni mengoptimalkan sumber daya, meminimalkan produksi limbah, dan memaksimalkan keuntungan dan manfaat. Tiga hal yang saling berhubungan dalam konsep biorifeneri bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
”Biorefineri tidak hanya berbicara satu produk saja, tetapi sebuah pabrik besar yang bisa menghasilkan berbagai jenis bioproduk dengan tujuan menekan biaya produksi. Produk tersebut ada bioenergi, biokimia, biomaterial, serta pangan dan pakan,” ujarnya.
Meski belum mencakup semua bioproduk, kata Yusuf, saat ini biorefineri telah banyak dikembangkan di sejumlah negara, seperti Finlandia, Spanyol, AS, Inggris, Belanda, dan China. Di Indonesia, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi, pengembangan biorefineri juga dilakukan oleh Pertamina melalui produk bahan bakar hayati (biofuel) dari kelapa sawit dengan kapasitas 3.000 barel per hari.
”Peningkatan dan modifikasi perlu terus dilakukan ke depan agar bisa menyesuaikan dengan bahan baku yang ada. Oleh karena itu, butuh sinergi dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, industri, dan pemerintah, untuk mengembangkan dunia yang lebih ramah lingkungan,” katanya.
Co-founder Biorefinery Society (Bios) Bagoes Inderaja mengatakan, Bios dibentuk sebagai wadah untuk menyebarkan informasi dan hasil riset terkait biorefineri di Indonesia yang masih minim. Hasil riset yang mayoritas dikembangkan terkait dengan karet dan kopi. Namun, saat ini Bios terus mengembangkan produk dan teknologi, khususnya untuk sumber daya lokal yang bisa dimanfaatkan semua pihak.
Salah satu yang tengah dikembangkan oleh Bios adalah biorefineri dengan memanfaatkan lalat tentara hitam untuk pengolahan limbah. Larva lalat tentara hitam merupakan tipe lalat yang berukuran lebih besar dari lalat biasa dan memiliki kemampuan untuk mengonsumsi serta mengurangi sampah organik.
”Ke depan, pengembangan biorefineri ini memiliki potensi yang sangat besar, apalagi memiliki nilai sosial karena dapat mengolah limbah organik di sekitar kita dan menjadikannya protein. Jadi, pengembangan bisa maju jika setiap stakeholder, tak terkecuali petani, memiliki pemahaman yang sama tentang konsep biorefineri sehingga mereka bisa mengapresiasi komoditas yang dihasilkan,” tuturnya.