55 Komplikasi Covid-19 yang Berkepanjangan
Setidaknya ada 55 komplikasi medis berkepanjangan bisa dialami penyintas Covid-19. Bahkan, jika mengacu pada penyakit yang disebabkan virus korona lain, kita perlu mewaspadai dampak permanen penyakit ini.

Tenaga kesehatan mengenakan hazmat mendorong ranjang pasien Covid-19 sembari membawa alat bantu pernapasan dengan tabung oksigen di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, Jakarta Timur, Rabu (3/2/2021). Jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia, menggeser posisi India yang berhasil melandaikan kurva penularan.
”Sampai sekarang masih sering merasa lemas, sesak napas, dan gampang lelah. Tidak bisa aktivitas berat,” ujar Jadid, Senin (25/1/2021).
Selain kondisi fisik yang dirasa melemah, pikiran dan perasaan juga jadi tidak menentu. ”Beberapa kali seperti hilang konsentrasi dan keseimbangan,” kata Jadid, yang akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk sementara.
Padahal, sebelum dinyatakan positif Covid-19 pada akhir Agustus 2020, Jadid tidak memiliki penyakit penyerta ataupun gangguan kesehatan kronis lain. Namun, terbukti, Covid-19 bisa menimbulkan keparahan dan dampak jangka panjang atau yang kerap disebut sebagai ”Long Covid”.
Studi terbaru yang dilakukan Sandra Lopez-Leon dari Drug Development, Novartis Pharmaceuticals, New Jersey, Amerika Serikat, dan timnya menunjukkan Covid-19 memang bisa berdampak jangka panjang. Tak hanya satu atau dua gejala, Sandra mengidentifikasi lebih dari 50 gejala sisa dan komplikasi medis jangka panjang yang diakibatkan oleh penyakit ini.
Baca juga : Uji Klinis Fase Satu dan Dua Vaksin Sinovac untuk Lanjut Usia Menjanjikan
Dalam studi yang dirilis di situs medrxiv.org pada 30 Januari 2021 dan sedang proses review atau ulasan dari sejawat ini disebutkan, penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2 ini bisa memicu gejala sisa dan komplikasi medis lain selama beberapa minggu hingga berbulan-bulan setelah pemulihan atau kerap dinamakan Long Covid.
Tinjauan sistematis dan meta-analisis tersebut meninjau 18.251 publikasi, 80 dikaji, dan 15 di antaranya memenuhi kriteria inklusi.
Ditemukan ada prevalensi 55 bentuk efek jangka panjang yang dialami oleh 47.910 pasien yang dilibatkan dalam analisis dengan rentang usia 17-87 tahun. Lamanya Long Covid yang dilaporkan berkisar 14 hingga 110 hari setelah infeksi virus.

Setidaknya terdapat 55 efek jangka panjang yang dialami penyintas Covid-19. Sekitar 80 persen pasien melaporkan mengalami satu atau lebih gejala jangka panjang ini. Sumber: Sandra Lopez-Leon dan tim dalam medrxiv.org (2021)
Sekitar 80 persen pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 ternyata mengembangkan satu atau lebih gejala jangka panjang. Lima gejala paling umum meliputi kelelahan (58 persen), sakit kepala (44 persen), gangguan perhatian (27 persen), rambut rontok (25 persen), dan dyspnea atau sesak napas (24 persen).
Gejala lain yang ditemukan umumnya terkait dengan penyakit paru-paru, seperti batuk, ketidaknyamanan dada, penurunan kapasitas difusi paru, apnea tidur, dan fibrosis paru. Berikutnya juga ditemukan masalah kardiovaskular, seperti aritmia dan miokarditis.
Bahkan, ada pula masalah neurologis, seperti demensia, depresi, kecemasan, gangguan perhatian, gangguan obsesif-kompulsif. Ada juga yang dilaporkan mengalami gejala lain yang tidak spesifik, seperti rambut rontok, tinitus, dan keluar keringat saat malam hari.
Baca juga : Gejala Covid-19 Terus Bertambah
Menurut kajian Sandra, kelelahan yang menjadi gejala paling umum dari Long Covid bisa menjangkiti bahkan 100 hari setelah gejala pertama Covid-19.
Fenomena ini menyerupai sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), di mana telah diamati bahwa setelah satu tahun, lebih dari dua pertiga pasien melaporkan gejala kelelahan yang signifikan secara klinis.
Gejala yang diamati pada pasien pasca-Covid-19 sebagian juga mirip dengan sindrom kelelahan kronis (CFS), yang meliputi ada kelelahan parah yang melumpuhkan, nyeri, disabilitas neurokognitif, gangguan tidur.
Saat ini, myalgic encephalomyelitis (ME) atau CFS merupakan kondisi klinis yang kompleks dan kerap tanpa diketahui faktor penyebab yang pasti, dan 90 persen ME/CFS belum terdiagnosis.
Studi terpisah oleh Proal A dan Marshall T di jurnal Frontiers in Pediatrics (2018) menyebutkan, CFS bisa disebabkan oleh virus, disfungsi kekebalan, disfungsi metabolisme endokrin, dan faktor neuropsikiatri. Agen infeksius yang terkait dengan CFS meliputi virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, enterovirus, dan herpesvirus.
”SARS-CoV-2 kemungkinan dapat ditambahkan ke daftar agen virus yang menyebabkan ME/CFS,” tulis Sandra.
Dampak permanen
Dokter emergensi yang juga penyintas Covid-19, Tri Maharani, mengatakan, tidak semua orang yang terinfeksi Covid-19 bakal mengalami dampak jangka panjang.
SARS-CoV-2 kemungkinan dapat ditambahkan ke daftar agen virus yang menyebabkan ME/CFS.
”Saya tidak ada masalah kesehatan setelah sembuh, tetapi banyak teman saya yang kena Long Covid ini. Ada teman saya dokter juga sudah empat bulan setelah sembuh masih sesak napas,” tuturnya.
Tri menduga, tingkat keparahan juga memengaruhi lama tidaknya gejala Covid-19 yang akan dialami setelah dinyatakan sembuh. ”Ini penyakit baru dan masih banyak misteri, belum sepenuhnya dipahami. Sebaiknya kita lebih hati-hati lagi agar tidak tertular,” katanya.

Pemakaman dengan protokol Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bambu Wulung, Cipayung, Jakarta Timur, Rabu (27/1/2021). Dinas Pertamanan dan Hutan Kota akan menambah lahan di lima lokasi guna menambah petak makam yang saat ini dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan lahan makam yang sangat tinggi. Total akan ada sembilan lokasi lahan makam tersedia di DKI.
Sejumlah studi menemukan, mereka yang terinfeksi dengan gejala ringan juga mengalami perubahan paru-paru. Sebagai contoh studi Zhao YM dan tim di jurnal EClinicalMedicine (2020) menyebut, pada pasien Covid-19 bergejala ringan juga terjadi perubahan radiografi yang bertahan pada hampir dua pertiga pasien setelah 90 hari keluar dari rumah sakit.
”Temuan radiografi residual atau kelainan fungsi paru ini memerlukan investigasi tambahan tentang relevansi klinis dan konsekuensi jangka panjang dari SARS-CoV-2,” tulis Sandra.
Menurut kajian Sandra ini, alasan mengapa beberapa pasien mengalami gejala jangka panjang setelah Covid-19 belum diketahui pasti.
Namun, sebagian dapat dijelaskan oleh sejumlah faktor, di antaranya kerentanan genetik, usia pasien ketika terinfeksi, dosis dan rute infeksi, induksi sel anti-inflamasi dan protein, adanya infeksi yang terjadi bersamaan, hingga paparan sebelumnya terhadap agen reaktif silang.
Hal berikutnya yang menjadi misteri, yakni apakah SARS-CoV-2 dapat menyebabkan kerusakan jaringan substansial yang mengarah ke bentuk penyakit kronis, masih harus dikaji lebih jauh. Seperti diketahui, lesi kronis setelah penyembuhan bisa terjadi pada serangan virus lain seperti HIV, virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis B (HBV), dan beberapa virus herpes.

Petugas kebersihan merapikan tempat tidur di RSUD tipe D Teluk Pucung, Kota Bekasi, Jawa Barat, yang telah diresmikan sehari sebelumnya, Kamis (4/2/2021). Penggunaan RSUD tersebut sementara akan dikhususkan untuk menampung pasien Covid-19 guna mengatasi keterbatasan ruang isolasi di Kota Bekasi yang semakin menipis.
Karena SARS-CoV-2 merupakan penyakit baru, dampak permanennya bagi tubuh kemungkinan baru bisa diketahui setelah bertahun-tahun mendatang. Namun, jika mengacu pada penyakit yang disebabkan virus korona lain, seperti sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), kita perlu lebih khawatir.
Baik SARS maupun MERS memiliki karakteristik klinis yang hampir sama dengan Covid-19, termasuk gejala jangka panjang. Sejumlah studi pada penderita SARS telah menunjukkan kelainan paru-paru berbulan-bulan setelah infeksi.
Setelah satu tahun masa tindak lanjut, 28 persen orang yang selamat menunjukkan penurunan fungsi paru dan tanda fibrosis paru. Hal itu, misalnya, ditemukan dalam studi Hui DS di jurnal Thorax (2005) dan Ngai JC di jurnal Respirology (2010). Studi Suliman YA di jurnal Arthritis Rheumatol (2015) menunjukkan, pasien MERS yang mengalami fibrosis paru sebesar 33 persen.
Dengan berbagai temuan tentang potensi dampak jangka panjang dan permanen dari Covid-19, kita patut lebih hati-hati dan kembali ke prinsip dasar pengendalian penyakit menular, yaitu mengupayakan sedikit mungkin orang yang terpapar dibandingkan dengan upaya kuratif.