Wajah Buram Masih Membayangi Panti Sosial
Wajah panti sosial belum sepenuhnya membawa pengharapan bagi penghuninya. Kesan suram dan perlakuan yang tidak manusiawi masih membayang bagi sebagian gelandangan.
JAKARTA, KOMPAS — Panti sosial ibarat pisau bermata dua bagi gelandangan. Di satu sisi, sejumlah panti berhasil membantu gelandangan mengubah kehidupan mereka. Namun, masih adanya kesan suram panti sosial membuat ada gelandangan yang enggan masuk ke tempat itu.
Guna mengatasi hal tersebut, Menteri Sosial Tri Rismaharini berjanji akan mengubah pola penanganan gelandangan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di 41 balai yang dikelola kementeriannya.
Ocit (45) dan Boim (40) mengaku kapok masuk ke panti sosial. Kedua gelandangan yang kerap beristirahat di pinggir Jalan Bhakti, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, ini pernah tinggal di panti sosial meski dalam hitungan hari.
Boim bahkan sudah tiga kali masuk-keluar panti sosial. Pria asal Aceh ini trauma kembali ke panti sosial karena dia sempat ”dibuang” di kawasan Comal, Pemalang, Jawa Tengah, seusai menjalani masa rehabilitasi sosial. Saat itu, dia hanya dibekali uang Rp 50.000 untuk bertahan hidup.
”Saya kena razia karena tidur di emperan toko waktu itu. Eh, tahunya dibuang sampai ke Comal. Pokoknya disuruh jauh-jauh dari Jakarta. Tapi, akhirnya bisa balik lagi kemari naik kereta barang,” katanya saat ditemui, Senin (1/2/2021).
Sebelum ”dibuang” ke Pemalang, Boim tinggal di satu panti sosial di Jakarta selama sepuluh hari. Ia merasa rutinitas di panti itu cukup menjemukan. Salah satu yang paling dia ingat adalah melakukan olahraga senam setiap pagi. Selebihnya hanya makan dan melamun. ”Enggak boleh merokok, jadi bosan. Makan di sana juga tak enak,” katanya.
Boim juga tidak nyaman ketika diminta menjaga kebersihan diri di panti sosial. Para petugas juga tidak akan segan-segan memandikannya jika dia menolak mandi.
Hal yang sama dialami Ocit. Dia pernah masuk ke salah satu panti sosial di kawasan Jakarta Barat selama tiga hari. Di panti itu, Ocit ditempatkan di sebuah barak bersama sekitar 25 PMKS lainnya. Selama di panti, Ocit tidak pernah mendapatkan pelatihan atau kegiatan rehabilitasi sosial.
Pelatihan
Heni (38), perempuan asal Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sudah sepuluh tahun hidup di jalanan Ibu Kota, terutama di sekitar Kwitang, Jakarta Pusat.
Ia kini menghuni Balai Rehabilitasi Sosial Eks Gelandangan dan Pengemis Pangudi Luhur di Bekasi, Jawa Barat. Di balai ini, ia mendapatkan sejumlah pelatihan keterampilan. ”Kalau ada modal usaha, saya mau ubah nasib. Pengin jualan makanan,” ujarnya.
Sebelum sampai ke balai itu, ia mengaku punya pengalaman buruk masuk panti di Jakarta pada 2014. ”Di situ terkurung seperti penjara. Tidak bisa ke mana-mana. Anak saya sakit di dalam, tetapi sulit dapat perawatan. Saya marah, tendang pintu dari tripleks sampai jebol,” kenangnya.
Menteri Sosial Tri Rismaharini, Minggu (31/1/2021), berjanji akan mengubah pola penanganan gelandangan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Untuk penanganan gelandangan dan PMKS, Kemensos menganggarkan sekitar Rp 1,2 triliun.
Untuk petugas sosial di lapangan, Risma melihat jumlah dan kemampuan mereka sudah memadai untuk menjalankan program pengentasan gelandangan dan PMKS.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat mengatakan, pihaknya mendorong perubahan perilaku dan pola pikir gelandangan yang ditangani di balai. Selain itu, pemerintah juga melakukan rehabilitasi sosial yang terintegrasi dengan pemberdayaan sosial, ditambah sistem jaminan dan perlindungan sosial.
Kepala Seksi Layanan Rehabilitasi Sosial Pangudi Luhur Ahmad Sahidin menyebutkan, pelatihan kewirausahaan di salah satu balai yang dikelola Kemensos ini diadakan dalam jangka waktu yang bervariasi sesuai kemampuan gelandangan dan pengemis untuk mandiri.
”Ada yang sepekan, sebulan, atau tiga bulan. Kami asesmen apakah sudah bisa kembali ke keluarga atau masyarakat. Kalau ke masyarakat bisa salurkan untuk magang atau kerja di tempat usaha seperti bengkel sepeda motor, proyek, dan sebagainya,” kata Ahmad.
Balai menyediakan pelatihan, antara lain kuliner, budidaya ikan, tanaman hidroponik, berkebun, daur ulang sampah, dan bengkel. Pelatihan berlangsung setiap hari agar gelandangan dan pengemis punya rutinitas.
Di Kota Malang, sejumlah 35 keluarga gelandangan dan pengemis bermukim di Kampung Topeng Desaku Menanti di Dusun Baran, Desa Tlogowaru, Kecamatan Kedungkandang. Sebelumnya, mereka adalah orang-orang jalanan yang sebagian menghuni kolong jembatan dan petak-petak di tepi rel kereta api.
Pembina Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Insan Sejahtera—partner Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kota Malang, yang mendampingi Kampung Topeng Desaku Menanti—Sri Wahyuningtyas, mengatakan, sebagian warga Kampung Topeng telah bekerja di pabrik hingga tukang bangunan.
Bahkan, 10 perempuan di antaranya bekerja di pabrik rokok yang baru berdiri setahun terakhir di daerah setempat. Dalam sehari, mereka bisa mendapatkan Rp 70.000 dari upaya melinting lebih dari 2.000 batang rokok.
Sebelum pandemi, beberapa warga juga telah berjualan makanan kecil dan melayani wisatawan yang datang. Pandemi membuat aktivitas wisata sepi. ”Kalau sekarang ada yang kembali ke jalan, ya ada satu-dua akibat pandemi,” katanya.
Ketika masuk, mereka mendapat keterampilan, baik itu membuat topeng maupun makanan kecil. Mereka juga mendapat modal senilai Rp 5 juta dari Kementerian Sosial. Sejauh ini, pemasaran masih menjadi kendala. Dibutuhkan peran serta dari pihak terkait secara berkesinambungan.
Agusman, pemimpin Yayasan Balarenik, menawarkan beberapa solusi untuk pemberdayaan pemulung. Pertama, mengembalikan pemulung ke kampung halaman. Solusi ini membutuhkan kesiapan pemerintah daerah dan multipihak untuk menyediakan lapangan pekerjaan ketika di kampung.
Selanjutnya, pemulung tetap berkegiatan di kota-kota besar, tetapi disediakan tempat khusus oleh pemerintah dibantu swasta. Selama ini, kata Agus, pemulung tinggal di tanah garapan yang tak jelas pemiliknya atau menempati tanah milik negara. Mereka rentan digusur dan dicap sebagai pemukim ilegal.
Setelah menempatkan pemulung di lokasi tertentu, langkah selanjutnya adalah membangun usaha limbah sampah yang terorganisasi. Akses keuangan untuk pemulung diperkuat dengan membentuk koperasi. Dengan demikian, mereka bisa keluar dari jerat rentenir.
Ekonom Institute Development for Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, mengatakan, mengurangi gelandangan tidak harus bertumpu pada panti sosial, tetapi juga dengan pendekatan berbasis komunitas. Namun, pendekatan komunitas perlu diintervensi dinas sosial seperti dengan mencari tahu solusi atas penyebab masalah setiap orang menggelandang.
Untuk penanganan di panti sosial, rehabilitasi dengan pendekatan individual penting agar PMKS mau belajar dan melatih kemandirian. Ini perlu didukung metode pembinaan yang jelas targetnya dan menyesuaikan kebutuhan, hingga SDM yang kompeten dan bila perlu sejahtera.
Untuk itu, alokasi pendanaan untuk mendukung panti sosial harus memadai. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab daerah, tetapi juga pemerintah pusat.
”Berdasarkan temuan saya sewaktu meneliti panti sosial, sebagian panti tidak terurus, penyelenggaranya tidak betul-betul melayani yang tua, pelatihan selama rehabilitasi yang seragam, akhirnya membuat PMKS tidak betah hidup di panti sosial,” katanya. (ERK/SON/WER/FAI)