Jangan Biarkan Makanan Olahan Ultra Mendominasi Pangan Kita
Makanan olahan ultra bisa berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi lama dan tidak dibatasi. Saatnya menambah asupan makanan asli dengan gizi seimbang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jika dikonsumsi dalam jangka waktu panjang, makanan olahan ultra dapat meningkatkan risiko penyakit, seperti diabetes, jantung, dan obesitas. Konsumen perlu memperbaiki asupan makanannya dengan memPerhatikan gizi seimbang.
Makanan olahan ultra (ultra-processed food) adalah makanan hasil produksi pabrik. Makanan ini biasanya diolah dengan sejumlah bahan tambahan, seperti penstabil, pemanis, dan pengawet. Makanan olahan ultra umumnya berupa makanan atau minuman kemasan yang siap makan atau siap saji.
”Makanan tersebut tersebut biasanya dipromosikan secara komersial sehingga (peredarannya) masif di masyarakat. Makanan itu dipromosikan untuk menggantikan makanan asli. Anak-anak bahkan akrab dengan makanan ringan,” kata Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Nia Umar, Jumat (29/1/2021), secara daring.
Hal ini dipaparkan lebih jauh dalam dokumen berjudul ”Bahaya Terselubung dari Makanan Ultra Proses” oleh AIMI. Dokumen itu terbitan dari Breastfeeding Promotion Network of India(BPNI) yang merupakan mitra AIMI. Dokumen tersebut diluncurkan dalam bahasa Indonesia hari ini.
Menurut NOVA, sebuah sistem klasifikasi yang dikembangkan para ahli di University of Sao Paulo, Brasil, makanan ultra olahan masuk kategori empat. ”Makanan ini biasanya mengandung lima atau lebih kandungan bahan pangan. Biasanya juga mengandung zat yang tidak ditemui pada bumbu dapur,” ujar Nia.
Makanan kategori satu, menurut NOVA, berasal dari tumbuhan ataupun hewan, seperti biji-bijian, buah, sayur, daging, dan ikan. Makanan kategori ini biasanya tidak diproses atau diproses minimal. Konsumsi makanan kategori satu direkomendasikan karena alami dan kandungan gizinya baik.
Makanan kategori dua adalah yang dibuat dari bahan makanan kelompok satu. Produknya antara lain mentega, gula, minyak, dan rempah bumbu. Sementara itu, makanan kategori tiga dibuat dengan gabungan makanan kelompok satu dan dua, misalnya sirup, makanan fermentasi, dan sayur yang diasinkan. Kandungan gula dan garam di makanan kategori tiga harus diperhatikan.
Makanan olahan ultra tidak direkomendasikan karena umumnya punya kandungan gula tinggi dan bahan tambahan tidak alami. Jika dikonsumsi terus-menerus, hal itu meningkatkan risiko terkena penyakit obesitas, diabetes, jantung, kanker, hingga depresi.
”Ada banyak studi yang menunjukkan makanan ultra proses mengancam kesehatan jika konsumsinya tidak diperhatikan. Perlu kebijakan yang mengatur promosi dan penggunaan label makanan yang lebih jelas,” ujar Arun Gupta, Koordinator BPNI yang juga salah satu penyusun dokumen ”Bahaya Terselubung dari Makanan Ultra Proses”.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan pada 2018 menyatakan, prevalensi diabetes pada penduduk di atas 15 tahun adalah 8,5 persen. Angka ini naik dari 6,9 persen pada 2013.
Konsumsi makanan olahan ultra perlu dikendalikan. Nia menyarankan agar makanan kategori satu dijadikan makanan pokok seluruh anggota keluarga. Sementara itu, konsumsi makanan kategori dua dan tiga tidak boleh berlebihan.
”Makanan kategori empat sebaiknya tidak usah ada di rumah. Ada baiknya menghindari makanan ini karena tidak baik bagi kesehatan dan lingkungan. Seperti diketahui, makanan ini dijual dalam bentuk kemasan. Kemasan itu kemudian jadi sampah dan mencemari lingkungan,” tutur Nia.
Masyarakat disarankan mengolah makanan sendiri di rumah. Kandungan gizi makanan pun perlu diperhatikan. Mengacu pada program Isi Piringku oleh Kementerian Kesehatan, satu piring terdiri atas empat komponen. Sepertiga piring berisi karbohidrat, sepertiga lagi sayuran, serta sepertiga sisanya adalah lauk dan buah.
Susu pertumbuhan
Program Manager Helen Keller International (HKI) di Indonesia, Dian Hadihardjono, mengingatkan bahwa susu pertumbuhan di pasar juga termasuk produk olahan ultra. Pemberian susu formula tidak disarankan. Anak-anak sebaiknya tetap diberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dilanjutkan hingga usia dua tahun dengan makanan pendamping ASI.
HKI meneliti 100 produk susu di pasar selama Januari 2017 hingga Mei 2019. Hasilnya, 98 persen susu pertumbuhan mengandung tambahan gula atau pemanis. Setelah dibandingkan dengan standar profil nutrisi oleh Food Standars Agency di Inggris, 70 persen susu punya kandungan gula tinggi, yakni lebih dari 11,25 gram per 100 mililiter.
Ia lebih menyarankan konsumsi susu sapi segar dibandingkan susu pertumbuhan. Selain sehat, harga susu sapi segar pun lebih murah. Harga susu sapi segar 0,14 dollar AS per 100 mililiter, sedangkan susu pertumbuhan 1,39 dollar AS per 100 mililiter.
”Susu pertumbuhan tidak sesuai dengan kebutuhan asupan gizi anak balita karena kandungan gula yang tinggi. Kita memerlukan komitmen politik yang kuat untuk promosi gerakan ibu menyusui. Pelanggaran kode internasional pemasaran produk pengganti ASI juga perlu ditindak,” kata Dian.