Banu Astono yang ringan tangan, gampang dimintai tolong apa pun, tetapi tegas dan disiplin menjalankan setiap tugas yang diberikan.
Oleh
MOHAMMAD BAKIR
·3 menit baca
Satu kata untuk Banu Astono: semangat. Semangat Banu tak pernah pudar dalam kondisi apa pun. Dengan gaya ”suroboyoan” dan meledak-ledak, Banu yang lahir di Surabaya pada 14 Januari 1965 ini adalah motivator meski buat mereka yang tidak akrab sering menyebut provokator.
Sang motivator yang mulai bergabung di harian Kompas pada 15 Januari 1990 ini telah berpulang pada Senin (28/12/2020) pukul 19.48 karena sakit. Menurut rencana, jenazahnya dimakamkan hari Selasa ini pukul 08.30 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Banu bukan orang yang suka mengeluh. Bahkan, ketika memutuskan untuk transplantasi ginjal pada Maret 2018, tak sedikit pun keluh kesah terdengar dari dirinya. Dia justru lebih bersemangat untuk berbuat baik bagi keluarganya. ”Bukan cuma cinta dan kasih sayang yang diberikan istri, tetapi juga ginjalnya untuk menyambung hidupku,” ujarnya.
Sehari menjelang masuk RSCM untuk menjalani operasi transplantasi ginjal, Banu mengadakan syukuran di kantor. Kepada teman-temannya, dia memohon doa agar proses transplantasi berjalan lancar.
Begitu pun ketika 15 Januari 2019 kaki kiri Banu harus diamputasi. Dia tetap pergi ke kantor dan kadang menyetir mobil sendiri. ”Ayo jangan kalah dengan aku yang cuma punya satu kaki dan satu ginjal,” ujarnya menyemangati teman sekantor.
Sebagai wartawan yang lama menggeluti bidang ekonomi, Banu memiliki pergaulan yang luas. Dia pun tak segan mengenalkan temannya yang sebagian besar pengusaha ternama di negeri ini kepada koleganya di kantor.
Membingkai informasi
Banu yang ringan tangan, gampang dimintai tolong apa pun, tetapi tegas dan disiplin menjalankan setiap tugas yang diberikan.
”Dia editor yang sangat bertanggung jawab terhadap konten. Dia mampu membingkai informasi dari beberapa daerah menjadi isu nasional,” ujar Agus Mulyadi, teman satu angkatan Banu yang saat itu menjabat Wakil Kepala Desk Nusantara.
Dia mampu membingkai informasi dari beberapa daerah menjadi isu nasional.
Pengalaman Banu di Desk Ekonomi hingga menjadi editor memberikan warna baru saat ia memimpin Desk Nusantara. Setiap kali berbicara, Banu mampu meyakinkan pendengarnya bahwa apa yang dibicarakan penting untuk diliput Kompas dan harus diolah demi kepentingan nasional.
Kepada para wakilnya, kata Agus, Banu memberikan kepercayaan sepenuhnya dan selalu berdiskusi membahas informasi yang diterima dari teman di daerah. ”Jika ada berita yang menonjol, pesannya singkat, mainkan!” kata Agus.
Darah wartawan
Perjalanan kewartawanan Banu cukup berwarna. Meski dibesarkan di Desk Ekonomi, ia pernah menjabat Kepala Biro Kompas Jatim di Surabaya. Dia juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Warta Kota.
Dalam suatu obrolan, Banu pernah bilang, ”Menangani berita-berita kriminal perkotaan harus hati-hati. Tak bisa antem kromo, harus check dan recheck.”
”Darahku, darah wartawan. Tugas pertama wartawan adalah ke lapangan, kedua banyak bergaul, dan ketiga barulah menulis,” kata Banu.
Berbekal tiga prinsip itu, Banu menjalani profesi wartawan dengan sepenuh hati. Berbagai kondisi ia jalani dengan selalu penuh semangat. Selamat jalan Banu, sang motivator.