Di tengah kegembiraan Natal, para perawat yang menangani penderita Covid-19 tetap harus bersiaga. Pandemi yang tak kunjung usai membuat mereka harus beradaptasi, termasuk ketika hari raya tiba.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Empat bulan bergaul dengan pasien Covid-19 membuat Winny Valensia Laturette (22) semakin berempati terhadap orang yang terinfeksi Covid-19. Sebab, dia tahu betul rasanya terpisah dari keluarga, apalagi di momen penting seperti Natal.
Dihubungi Jumat (25/12/2020) siang, sukarelawan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Jakarta, ini baru kembali dari salah satu gereja di Jakarta Selatan untuk beribadah. Dia mendapat libur 32 jam.
Waktu prei dia gunakan semaksimal mungkin untuk merayakan Natal. Kemarin, dia masih bekerja pukul 15.00-22.00. Selepas dinas, perempuan asal Ambon, Maluku, ini mengikuti Malam Seribu Lilin.
Malam Seribu Lilin dibuat oleh para sukarelawan tenaga kesehatan rumah sakit darurat untuk merayakan Natal. Jumlahnya sekitar 80 orang. Mereka melantunkan kidung sambil memegang lilin dengan membentuk ilustrasi hati. Alat pelindung diri (APD) mereka masih terpasang di badan.
Paling tidak, ujarnya, kumpul bersama di malam Natal bisa sedikit mengobati kangen kepada keluarga. ”Malam Seribu Lilin diadakan di lapangan dekat tower pasien. Jadi, ya, semuanya masih pakai APD lengkap karena ada pasien juga yang nonton,” ujar perawat ini.
Winny bergabung sebagai sukarelawan empat bulan lalu. Sebagai mahasiswa profesi keperawatan di salah satu sekolah tinggi kesehatan di Jakarta, dia mengatakan bahwa menjadi sukarelawan tenaga kesehatan adalah kesempatan untuk memperdalam ilmu sekaligus bekerja untuk kemanusiaan.
”Selama empat bulan ini, aku belajar untuk lebih sabar menghadapi pasien. Mulai paham dengan keresahan dan kecemasan mereka karena jauh dari keluarga. Dengan sendirinya jadi lebih dekat dengan mereka. Menjadi sukarelawan juga membuatku memiliki saudara baru dari banyak daerah. Kami sudah seperti keluarga di sini,” katanya.
Di kala fajar terbit pada Sabtu esok, Winny kembali ke aktivitas semula: merawat pasien di rumah sakit darurat dan memastikan mereka tak kekurangan satu apa pun.
Selama empat bulan ini, aku belajar untuk lebih sabar menghadapi pasien. Mulai paham dengan keresahan dan kecemasan mereka karena jauh dari keluarga. Dengan sendirinya jadi lebih dekat dengan mereka. Menjadi sukarelawan juga membuatku memiliki saudara baru dari banyak daerah. Kami sudah seperti keluarga di sini. (Winny Valensia Laturette)
Libur, tapi tetap siaga
Perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Yohana Mery (50), sebenarnya libur 24-25 Desember ini. Akan tetapi, sebagai kepala ruang isolasi khusus pasien gejala agak berat, dia harus tetap on call alias siaga menerima telepon darurat. Adakalanya perawat yang sedang bertugas butuh konsultasi jika terjadi sirkulasi pasien. Dia juga harus mengatur ulang sif dinas jika ada perawat yang sakit.
Pandemi Covid-19 pun mengubah aktivitas Mery pada Natal kali ini. Akhir tahun lalu, dia masih bisa cuti dan mudik ke Kolaka, Sulawesi Tenggara, demi merayakan hari besar ini bersama keluarga. Namun, pandemi Covid-19 tak memungkinkannya untuk cuti.
Perawat yang tinggal di Babelan, Bekasi, Jawa Barat, ini pun tak membuat kue karena sibuk bekerja. Kunjungan ke rumah kerabat di sekitar tempat tinggal juga absen dilakukannya lantaran khawatir terhadap penularan Covid-19. Sebagai tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, dia menyadari risiko jika bertemu orang lain. ”Serasa lebih sendirian saja kali ini,” katanya.
Pada Jumat (25/12/2020) ini, Mery memutuskan untuk beribadah di salah satu gereja di Bekasi. Ini karena sudah lama dia tak berkunjung ke rumah Tuhan. Sejak Covid-19 mewabah di Indonesia, ibadah pun beralih ke ruang maya. Kini, karena kapasitas gereja terbatas, hanya Mery yang bisa ikut. Sementara suami dan dua anaknya beribadah secara daring.
Saat ini, Mery dan tim merawat 11 pasien Covid-19 dengan gejala agak berat. Semua pasien menggunakan Optiflow, oksigen tekanan tinggi. Di ruang isolasi, perawat membantu semua aktivitas pasien, seperti makan, buang hajat, dan mandi.
”Pasien dengan gejala agak berat ini hampir semuanya merasa cemas. Kadang mereka masih memanggil saat perawat mau keluar. Jadi tak hanya gejala penyakitnya saja yang berat, tingkat kekhawatirannya juga berat,” ujarnya.
Mengolah tantangan
Selama 24 tahun bekerja di ruang isolasi, baru di tengah situasi pandemi Covid-19 ini Mery merasakan tantangan maksimal dalam merawat pasien. Selain risiko penularan tinggi, pandemi berlangsung secara maraton dan tak tahu kapan akan selesai.
”Kadang kami merasa jenuh juga. Namun, kami sadar, masyarakat membutuhkan kami. Jadi, kami harus tetap enjoy dengan pekerjaan ini,” ucapnya.
Pasien dengan gejala agak berat ini hampir semuanya merasa cemas. Kadang mereka masih memanggil saat perawat mau keluar. Jadi tak hanya gejala penyakitnya saja yang berat, tingkat kekhawatirannya juga berat. (Yohana Mery)
Ibu dua anak ini berterima kasih karena pemerintah karena sudah menyediakan penginapan. Dia dan tim menginap di salah hotel di Jakarta. Jadi, dia tak perlu bolak-balik Babelan-Jakarta Utara setiap bekerja.
Ditambah lagi, lanjut Mery, insentif untuk tenaga kesehatan yang menangani Covid-19 sudah mulai lancar. ”Kami menyebutnya cring-cring cinta. Setiap insentif masuk, imun tubuh seakan menguat lagi. He-he-he,” katanya.