Cegah Pandemi Berikutnya, Hentikan Perdagangan Satwa Liar
Pandemi di masa depan bisa lebih mematikan. Karena itu, perlu ada pengaturan ketat untuk menghentikan perdagangan satwa liar, melindungi habitat, dan mengurangi interaksi antara manusia dan satwa liar serta ternak.
Oleh
·3 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Petugas membawa julang emas (Rhyticeros undulatus), satu dari sejumlah hewan yang dihadirkan dalam rilis Penanganan Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem oleh Ditreskrimsus Polda Jawa Timur di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Senin (4/2/2020). Kepolisian mengamankan 5 tersangka serta menghadirkan 33 ekor dari 11 jenis satwa dilindungi dalam rilis tersebut. Modus kejahatan menjual satwa via daring.
JAKARTA, KOMPAS — Banyak penyakit menular seperti Covid-19 awalnya terdapat di hewan dengan konsekuensi serius bagi manusia. Untuk menghindari pandemi di masa depan yang bisa lebih mematikan, diperlukan pengaturan ketat untuk menghentikan perdagangan satwa liar, melindungi habitat, dan mengurangi interaksi antara manusia dan satwa liar serta ternak.
Demikian kesimpulan dari studi yang dipublikasikan di jurnal Trends in Ecology & Evolution dan dirilis di eurekalert.org pada 17 November 2020. Dalam kajian ini disebutkan penyakit menular yang disebabkan patogen, seperti bakteri, virus, atau parasit—yang berpindah dari hewan ke manusia dikenal sebagai ”zoonosis”.
Dalam 30 tahun terakhir, mayoritas patogen manusia yang menyebabkan kerusakan besar pada kesehatan dan ekonomi manusia merupakan zoonosis ini, baik dari satwa liar maupun ternak.
Penyakit zoononis tersebut termasuk ebola, AIDS, dan SARS. Covid-19 merupakan salah satu penyakit zoonosis terbaru dan saat ini menjadi pandemi yang mengakibatkan lebih dari 1 juta kematian di seluruh dunia.
Penulis utama kajian ini, Amael Borzee dari College of Biology and the Environment, Nanjing Forestry University, menyebutkan, ada dua faktor utama yang memfasilitasi terjadinya wabah tersebut, yakni perdagangan satwa liar dan fragmentasi habitat alami, yang keduanya meningkatkan frekuensi serta potensi kontak langsung antara manusia dan satwa liar.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Petugas Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatera membawa anak-anak orangutan ke sekolah hutan di Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (11/7/2019). Sejumlah orangutan korban perusakan habitat, perburuan, dan perdagangan satwa diajari bertahan hidup di alam liar.
Hewan di pasar satwa liar kerap ditempatkan dalam kondisi penuh sesak dan tidak sehat yang menciptakan lingkungan sempurna bagi patogen untuk melompat ke manusia. Selain itu, habitat alami cenderung dirambah untuk memenuhi permintaan pasar yang meningkat.
Situasi tersebut membuat ternak dan manusia lebih dekat dengan inang liar dari patogen zoonosis potensial. Mengatasi kedua faktor ini dapat membantu mencegah penyakit zoonosis di masa depan.
Belajar dari Covid-19 yang diduga muncul dari pasar satwa liar, Pemerintah China, Vietnam, dan Korea Selatan telah membuat beberapa bentuk peraturan baru untuk mengendalikan perdagangan satwa liar dan mendukung konservasi satwa liar. Tindakan itu diharapkan menjadi contoh bagi negara lain.
”Pandemi Covid-19 tak terelakkan telah memfokuskan energi kita untuk menangani penyakit. Namun, untuk mencegah wabah berikutnya perlu ada perubahan pola hubungan manusia dengan alam,” jelas Trishna Dutta, anggota tim peneliti dari Universitas Göttingen, Jerman.
”Perlu ada tindakan segera untuk mengatur perdagangan satwa liar dan mengurangi permintaan konsumen produk satwa liar,” kata Dutta. Itu harus dilakukan bersama-sama dengan melindungi ekosistem asli dan mengurangi interaksi satwa liar-ternak-manusia yang menjadi sumber awal pandemi ini.
Kompas
Hubungan Zoonosis, Perdagangan Satwa Liar, dan Lingkungan. Sumber: Amael Borzee, dkk. Trends in Ecology & Evolution (2020)
Satwa liar di Indonesia
Secara global, perdagangan satwa liar menjadi salah satu kejahatan transnasional kelima terbesar di dunia. Sementara menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti diwartakan Kompas pada 27 Mei 2016, Indonesia setiap tahun mengalami kerugian langsung Rp 9 triliun dari perdagangan ilegal satwa liar. Di luar kerugian langsung ini, hilangnya kekayaan hayati nilainya lebih dari Rp 200 triliun per tahun.
Untuk mencegah wabah berikutnya perlu ada perubahan pola hubungan manusia dengan alam.
Nilai kerugian langsung di antaranya dari perdagangan kulit dan bagian tubuh harimau, cula badak, gading gajah sumatera, orangutan, burung langka, kura-kura, trenggiling, ikan, dan jenis reptil langka. Satwa-satwa liar itu diekspor ke China, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah.
Di sejumlah daerah, seperti di Sulawesi Utara, praktik perburan satwa liar untuk dikonsumsi juga masih terjadi. Padahal, kajian peneliti Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor, Joko Pamungkas, pada 2014-2019, telah ditemukan adanya belasan virus pada kelelawar dan rodensia (tikus liar) di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat.
Surveilans tahun 2012-2013 pada lebih dari 400 satwa liar dari 3 taxa, satwa primata, rodensia, dan kelelawar, menemukan 14 virus baru dan 6 virus diketahui sebelumnya. Virus itu meliputi, antara lain, Paramyxoviruses, Coronaviruses, Astroviruses, Rhabdoviruses, dan Herpesviruses (Kompas, 7 Februari 2020).