Sekitar 2.000 Hoaks Terkait Pandemi Covid-19 Menyebar di Media Sosial
Pemerintah menemukan sekitar 2.000 hoaks terkait pandemi Covid-19 di media sosial. Namun, sebagian besar hoaks itu telah dihapus setelah Kemenkominfo berkomunikasi dengan perusahaan pengelola media sosial.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyatakan, pemerintah menemukan sekitar 2.000 hoaks atau kabar bohong terkait pandemi Covid-19 yang menyebar melalui media sosial. Namun, sebagian besar telah dihapus setelah pihaknya berkomunikasi dengan perusahaan pengelola media sosial terkait.
”Hoaks memang banyak terkait dengan pandemi Covid-19 ini. Ada 2.000 lebih sebaran (hoaks) yang sudah ada di platform digital, baik itu di Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, maupun yang baru di Tiktok,” kata Johnny seusai bertemu dengan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, Jumat (16/10/2020), di Kota Yogyakarta.
Johnny mengatakan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memiliki tugas menjaga ruang digital agar tidak tercemari hoaks. Oleh karena itu, Kemenkominfo selalu mengecek informasi yang beredar di dunia maya atau ruang digital.
”Kemenkominfo sesuai amanat Undang-Undang ITE mempunyai tugas untuk menjaga ruang digital kita bersih. Untuk itu, kami melakukan cek dan ricek serta rekonfirmasi terhadap informasi yang berkembang di ruang digital,” ujar Johnny.
Menurut Johnny, berdasarkan hasil pengecekan itu, Kemenkominfo akan menentukan apakah informasi yang beredar tersebut tergolong hoaks atau tidak. Apabila informasi tersebut ternyata merupakan hoaks, Kemenkominfo akan memberikan label pada informasi itu. ”Kami memberikan label jika ada bagian dari informasi yang berkembang itu sebagai hoaks atau disinformasi,” tuturnya.
Selain itu, Kemenkominfo juga meminta pengelola platform digital untuk melakukan take down atau menghapus informasi yang berisi hoaks. Johnny menyebut, dari sekitar 2.000 hoaks terkait pandemi Covid-19 di Indonesia, lebih dari 1.800 di antaranya telah dilakukan take down. Langkah itu untuk memastikan hoaks tidak terus menyebar dan menimbulkan disinformasi di masyarakat.
Dari sekitar 2.000 hoaks terkait pandemi Covid-19 di Indonesia, lebih dari 1.800 di antaranya telah dilakukan take down. (Johnny G Plate)
”Kami minta platform digital untuk melakukan take down dan 1.800 lebih atau hampir 1.900 sudah dilakukan take down oleh platform digital media sosial. Yang tersisa sedang dalam proses,” ungkap Johnny.
Dia menambahkan, secara pribadi, dirinya juga telah bertemu dengan pimpinan sejumlah perusahaan digital, baik di Indonesia maupun di kantor pusat di luar negeri. Komunikasi dilakukan agar pengelola platform digital bersedia menghapus hoaks yang menyebar di media sosial di Indonesia.
”Saya sendiri berkomunikasi dengan pimpinan platform digital, tidak saja perwakilannya yang ada di Indonesia, tetapi juga di kantor pusat, termasuk di Amerika Serikat,” ujar Johnny.
Selain itu, dalam jangka panjang, Kemenkominfo juga terus meningkatkan literasi digital di berbagai kelompok masyarakat. Literasi digital itu penting agar masyarakat tidak mudah memercayai hoaks yang beredar.
Johnny menuturkan, program literasi digital itu, antara lain, dilakukan melalui Gerakan Nasional Literasi Digital. Dalam program itu, Kemenkominfo bekerja sama dengan 108 lembaga untuk melakukan sosialisasi mengenai pentingnya literasi digital. ”Program ini menjangkau 77 juta rakyat dan bekerja bersama lebih dari 108 lembaga,” katanya.
Dalam kesempatan lain, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel A Pangerapan mengatakan, pada kurun waktu 23 Januari hingga 23 September 2020, Kemenkominfo telah melakukan take down terhadap 1.725 hoaks dari 1.984 konten hoaks yang berkaitan dengan Covid-19 di platform media sosial.
Semuel menuturkan, untuk menangani hoaks, pemerintah juga melakukan upaya edukasi dan peningkatan kapasitas masyarakat terkait literasi digital. Melalui upaya edukasi itu, masyarakat diharapkan bisa mengidentifikasi informasi yang valid dan informasi bohong.
”Dengan demikian, masyarakat dapat cakap dan terampil dalam mengidentifikasi penyalahgunaan informasi serta melakukan tindakan lanjutan jika ada informasi yang salah,” tutur Semuel dalam siaran pers yang dimuat di situs resmi Kemenkominfo pada 23 September lalu.
Awal Oktober lalu, Sultan sempat mengungkapkan, penyebaran Covid-19 mesti disikapi lebih bijak. Pemerintah setempat belum akan menerapkan pembatasan aktivitas masyarakat. Dia mengajak warga lebih dapat beradaptasi dengan pandemi Covid-19 melalui penerapan protokol kesehatan secara ketat.
”Yang penting itu bisa beradaptasi. Saya tidak mau terlalu berasumsi virus korona baru sangat membahayakan sehingga pagi, siang, sore, dan malam saya harus bicara masalah Covid-19 sehingga orang kecil takut mencari sesuap nasi,” kata Sultan HB X.
Literasi digital itu penting agar masyarakat tidak mudah memercayai hoaks yang beredar.
Sultan mengatakan, pihaknya tidak bisa membatasi aktivitas masyarakat, misalnya dengan melarang warga DIY pergi ke daerah lain. Selain itu, DIY juga tidak bisa menutup diri dengan melarang orang dari daerah lain masuk ke provinsi tersebut.
”Kita, kan, tidak bisa mengatakan orang Yogyakarta jangan pergi dari Yogyakarta. Kita juga tidak bisa menutup diri,” ujar Sultan HB X yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.