Sebanyak 88 perupa menampilkan karya visual sebagai penghormatan untuk Jakob Oetama. Inisiatif pameran bukan berasal dari Bentara Budaya Yogyakarta, melainkan dari beberapa seniman.
Oleh
HARIS FIRDAUS / MEDIANA
·5 menit baca
Sebanyak 88 perupa menampilkan ekspresi visual sebagai bentuk cinta dan hormat kepada pribadi Jakob Oetama. Karya-karya itu menghadirkan tafsir yang beragam terhadap sosok dan pemikiran tokoh pers itu. Ada karya yang memberi tafsir reflektif, ada yang memakai sudut pandang personal, ada pula yang jenaka.
Lukisan itu menampilkan sosok Jakob Oetama bersantai di sebuah ayunan. Di dekatnya, sosok Presiden Indonesia ke-4 Kiai Haji Abdurrahmad Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur berdiri sambil mendorong ayunan itu.
Dalam lukisan karya Abdullah Ibnu Thalhah itu, Jakob dan Gus Dur digambarkan tengah berada di suatu tempat yang sangat tenang. Di dekat mereka, bunga matahari sedang mekar sempurna.
”Karya ini terinspirasi dari persahabatan Pak Jakob Oetama dan Gus Dur. Dalam lukisan itu, saya ingin membayangkan bagaimana Gus Dur menyambut temannya, Pak Jakob Oetama, di alam lain,” ujar Abdullah, pelukis asal Semarang, Jawa Tengah, ini.
Lukisan berjudul ”Gitu Aja Kok Repot” itu ditampilkan dalam pameran seni rupa bertajuk Sugih Ora Nyimpen: Penghormatan untuk Jakob Oetama di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Pameran yang dibuka secara daring pada Minggu (27/9/2020) malam itu menampilkan karya 88 perupa dari sejumlah kota di Indonesia.
Masih satu rangkaian, Sabtu malam, Bentara Budaya menggelar pameran lukisan koleksi Bentara Budaya bertajuk Arah Langkah: Tribute to Jakob Oetama secara daring di akun Youtube. Pameran itu untuk mengenang Jakob Oetama sekaligus menatap ke depan kecintaan almarhum pada kebudayaan.
Seperti disebut dalam tajuk pameran Minggu kemarin, pameran yang berlangsung hingga 10 Oktober itu spesial digelar untuk menghormati Jakob Oetama, pendiri harian Kompas sekaligus kelompok usaha Kompas Gramedia, yang berpulang pada 9 September lalu. Waktu pembukaan pameran itu bertepatan dengan tanggal lahir, sedangkan jumlah seniman yang terlibat sama dengan usia Jakob Oetama.
Kurator pameran Sugih Ora Nyimpen, Kuss Indarto, mengatakan, pameran itu ingin menampilkan tafsir terhadap sosok dan pemikiran Jakob, terutama yang berkaitan dengan humanisme. Itulah kenapa pameran itu memilih tema Sugih Ora Nyimpen, yang kira-kira bermakna ’kaya tetapi dermawan’.
Tema tersebut dianggap bisa menggambarkan salah satu karakter kuat Jakob Oetama yang kerap membantu banyak orang. ”Banyak kisah yang menggambarkan kedermawanan Pak Jakob Oetama. Sikap itu merupakan bagian dari humanisme yang dipraktikkan langsung oleh beliau,” ujar Kuss.
Pameran itu diikuti perupa beragam rentang usia. Ada beberapa perupa senior yang sudah malang melintang di dunia seni rupa, seperti Kartika Affandi, Nasirun, Yuswantoro Adi, Putu Sutawijaya, dan sebagainya. Namun, ada juga beberapa seniman muda, misalnya Triana Nurmaria dan Dwi Galuh Kusuma. Selain itu, ada beberapa ”orang dalam” yang turut serta, seperti wartawan Kompas, Ilham Khoiri, dan kurator BBY, Hermanu.
Banyak kisah yang menggambarkan kedermawanan Pak Jakob Oetama. Sikap itu merupakan bagian dari humanisme yang dipraktikkan langsung oleh beliau.
Sosok Semar
Karya-karya dalam pameran Sugih Ora Nyimpen menampilkan beragam perspektif tentang Jakob Oetama. Salah satunya karikatur karya Herpri Kartun, kartunis asal Yogyakarta. Dalam karya bertajuk ”Bapa Guru” itu, sosok Jakob Oetama digambarkan memiliki tubuh menyerupai tokoh Semar dalam cerita pewayangan.
Selain itu, Jakob juga digambarkan membawa lampu petromaks yang diikatkan tongkat kecil. Di sekitar sosok Jakob Oetama itu terdapat banyak sosok lain, misalnya petani, pedagang, pemain sepak bola, dan pekerja kantoran.
Melalui karikatur itu, Herpri menggambarkan Jakob sebagai Semar yang bertugas membimbing para kesatria. Selain itu, Jakob juga ditampilkan sebagai sosok pembawa terang bagi banyak orang.
”Sosok Pak Jakob yang memegang petromaks itu merupakan simbol bahwa beliau memberi terang pada orang-orang lain. Sementara itu, sosok Semar saya pilih karena dia, kan, bertugas membimbing atau membantu siapa pun yang membutuhkan,” ujar Herpri.
Sementara itu, Hermanu menghadirkan sudut pandang yang sangat personal mengenai sosok Jakob. Ia kerap menjemput dan menemani Jakob saat berkunjung ke Yogyakarta.
Dalam lukisan berjudul ”Tilik”, Hermanu menampilkan sosok Jakob berikut tempat-tempat yang kerap dikunjungi saat datang ke Yogyakarta, misalnya rumah orangtua Jakob, warung Soto Kadipiro yang menjadi langganan, bangunan lama BBY, dan Candi Borobudur.
Selain substansinya yang sangat personal, lukisan Hermanu juga unik apabila dilihat dari mediumnya. Lukisan itu dibuat di atas sketsel atau penyekat ruangan yang biasa terdapat di rumah-rumah zaman dulu.
Berkarya menggunakan medium unik juga dilakukan Dwi Galuh Kusuma. Ia menampilkan mesin tik yang boleh digunakan para pengunjung. Namun, setiap mengetikkan kata ”seni”, yang tertera di atas kertas adalah ”Jakob”.
Dwi cerdik menampilkan bagaimana kedekatan Jakob Oetama dengan dunia seni. Relasi Jakob dengan dunia seni sangatlah lekat, di antaranya diwujudkan dengan mendirikan Bentara Budaya yang ada untuk mewadahi ekspresi berkesenian di Tanah Air.
Kurator BBY, Sindhunata, menuturkan, pameran Sugih Ora Nyimpen menunjukkan tingginya apresiasi para seniman terhadap sosok Jakob Oetama. Inisiatif penyelenggaraan pameran itu bukan berasal dari BBY, melainkan justru datang dari beberapa seniman. Selain itu, waktu persiapan pameran tersebut juga sangat mepet, yakni hanya sekitar dua minggu.
”Tidak mudah dalam waktu lebih kurang dua minggu untuk mengumpulkan karya dari 88 seniman. Ini memperlihatkan betapa tinggi apresiasi para seniman terhadap Pak Jakob,” ungkap Sindhunata.
General Manager Corporate Communication Kompas Gramedia Saiful Bahri mengucapkan terima kasih kepada semua seniman yang terlibat dalam pameran itu. Melalui pameran itu, diharapkan sosok dan pemikiran Jakob Oetama kian dikenal oleh masyarakat luas.
Menurut Sindhunata, semasa hidup, berulang kali Jakob mengatakan bahwa kebudayaan harus selalu menjadi jiwa atas korannya. Hal itu almarhum buktikan dalam perbuatan, dengan terkumpulnya koleksi-koleksi seni rupa di Bentara Budaya yang ia dirikan pada 26 September 1982, termasuk karya para maestro yang dipamerkan Sabtu lalu. Koleksi itu di antaranya lukisan berjudul ”Pelabuhan Hongkong” karya Affandi tahun 1970, ”Upacara Adat” karya Bagong Kussudiardja tahun 1982, dan ”Topeng” karya Hendra Gunawan tahun 1968.
Pameran Sabtu lalu itu menampilkan 67 karya perupa Indonesia pada kurun waktu 1940-1980-an.
”Walaupun Pak Jakob telah meninggalkan kita, seluruh jiwa seni, jiwa kebudayaan, dan keabadian seni yang kiranya lambang keabadian manusia akan terus berlanjut ke depan,” kata Sindhunata.