Konsistensi Jakob Oetama dalam membudayakan sikap ”ngewongke” dan ilmu padi nyatanya tidak hanya dirasakan mereka yang pernah bersapa dengan beliau.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Suwadji Sudarsono datang seorang diri ke Gedung Kompas Gramedia sekitar pukul 08.00, Kamis (10/9/2020). Dengan memakai kaos hitam yang dibalut rompi denim usang abu-abu, jeans biru, masker kain hitam, dan kartu identitas karyawan berwarna kuning yang disematkan di dada, pria beruban itu datang ke persemayaman terakhir Jakob Oetama.
Dengan kedua tangannya, ia juga menenteng foto berbingkai di depan perutnya. Foto itu memotret Jakob Oetama bersama tiga orang yang berdandan seperti karakter perwayangan, yang mana Suwadji menjadi ”Bagong”. Dengan foto itu, ia menemui jasad mantan pemimpinnya yang telah dipanggil Sang Mahakuasa, Rabu (9/9/2020).
”Saya begini enggak pakai rasio, tapi hati yang ngomong. ’Kamu kalau enggak pakai foto, enggak bisa masuk’. Jadi, kayaknya sudah diatur,” ujar Suwadji (67) saat ditemui Kompas.
Suwadji, yang tidak pernah kuliah, menjadi pegawai percetakan Kompas Gramedia pada 1976-2007. Pertemuannya dengan Jakob Oetama bukan hanya ketika ia dan rekan kerjanya menampilkan hiburan Wayang Orang pada HUT Ke-54 Jakob Oetama.
Ia mengaku pernah mendapatkan ucapan terima kasih secara langsung ketika membantu perusahaan bekerja sama dengan perusahaan dan institusi lain melalui kegiatan olahraga di kantor.
”Terima kasih, ya, Mas. Anda juga membantu perusahaan lewat olahraga,” katanya, mengulang ucapan Jakob Oetama kepadanya.
Sejak saat itu, pria asal Madiun, Jawa Timur, ini pun menghormati Jakob Oetama sebagai pemimpin yang rendah hati. Ia pun menyebut sosoknya sebagai guru ilmu padi. Hal itu seperti peribahasa makin berisi makin merunduk yang artinya makin banyak pengetahuan makin rendah hati.
”Bapak merasa bodoh, tapi di situ kekuatan Bapak, merendah. Makanya Bapak suka ajak gotong royong, ’Ayo saling kerja sama, hasilnya sama-sama kita nikmati’,” ujarnya.
Kerendahhatian seorang Jakob Oetama juga dirasakan karyawan percetakan lainnya. Sulaeman (46), salah satu karyawan yang berinisiatif melepas kepergian jenazah Jakob Oetama pagi itu, masih mengenang momen ketika dirinya diajak berbicara langsung oleh pria kelahiran 1931 tersebut belasan tahun lalu.
”Waktu itu, kami baru ada kenaikan uang makan harian. Lalu, suatu hari Bapak pernah berbicara langsung kepada saya, ’Habis makan, Mas? Bagaimana, apa uang makan yang diberikan sudah cukup?’,” kata karyawan yang bekerja sejak 1996 tersebut.
Perhatian itu membuatnya terenyuh dan merasakan kepedulian seorang Jakob Oetama. Menurut dia, pemimpin yang mau memperhatikan keadaan karyawan kecil seperti dirinya terbilang langka. ”Itu sangat luar biasa bagi saya,” ujarnya sambil sedikit terisak.
Atiniti Asmoro (54), yang pernah bergabung di bagian pers daerah Kompas pada tahun 80-an juga pernah merasakan perhatian dan keterbukaan seorang Jakob Oetama kepada karyawan-karyawannya.
”Pak Jakob gampang ditemui. Dulu suka lari sore di GBK (Gelora Bung Karno) Senayan. Kalau kami punya masalah, kita ikut lari aja sama Pak Jakob, pasti diajak ngobrol. Sangat terbuka dan menerima siapa saja," kenangnya.
Bagi karyawan, diwongke, diberi perhatian dan sapaan bermakna banyak. Ngewongke (memanusiakan manusia), memperlihatkan kepedulian, tidak selalu butuh waktu banyak. Demikian kalimat itu dituliskan Ninok Leksono, wartawan senior Kompas dalam buku berjudul Yuk, Simak Pak Jakob Berujar.
Mengutip pesan John Maxwell, kepedulian dan sikap mengasihi dan mementingkan orang lain lebih dilihat daripada kepandaian seseorang. Maka tidak heran, jika ilmu padi dan karakter ngewongke yang bertalian, membuat kepemimpinan Jakob Oetama begitu dikenang.
Sikap ngewongke seorang Jakob Oetama tidak hanya ditunjukkan lewat praktik sederhana. Selama menjadi manajemen perusahaan, ia juga sanggup membuat kebijakan yang berdampak besar bagi kesejahteraan karyawannya.
Tidak hanya Suwadji, wartawan senior Kompas, seperti Ansel Da Lopez, mendapatkan kemudahan untuk membeli sebuah rumah. ”Sering beliau bertanya, Bung sudah punya rumah belum? Bung kalau punya rumah besar atau kecil,” kata wartawan yang pensiun pada 2010 setelah bekerja 32 tahun.
Ia juga mengingat bagaiaman Pak Jakob sering membagikan roti kepada setiap karyawan setiap dia berulang tahun. Jika ada karyawan yang tidak masuk, roti tersebut akan disimpan.
Humanisme seorang Jakob juga tidak hanya dibuktikan dengan perlakuannya terhadap karyawan, tetapi juga karya jurnalisme Kompas. Hal itu Ansel ingat saat Jakob kerap mengajaknya berdiskusi tentang isu politik, ekonomi, dan sosial ketika ia menjadi wartawan di Istana.
”Jadi kalau dibilang Kompas arahnya ke kemanusiaan, tidak hanya ke karyawannya, tapi juga pemberitaannya,” kata pria yang kini berumur 70 tahun tersebut.
Arah itu juga yang membawa Lilis (46) tahun untuk menengok Jakob Oetama sebelum dikebumikan. Meski belum pernah bertemu dan mengenal Jakob sebelumnya, perempuan yang menjadi agen koran itu mengaku tergerak menengok sosok di balik Kompas yang dikenalnya selalu memberitakan isu kemanusiaan.
”Saya ini cuma orang kecil, tapi saya banyak belajar dan tercerahkan tulisan Kompas yang sangat perhatian dengan orang kecil seperti saya,” ujar warga Jakarta Barat tersebut.
Kepada Kompas, ia pun menitip pesan agar Kompas tetap membela humanisme yang dituangkan dalam setiap peliputan.
Konsistensi Jakob Oetama dalam membudayakan sikap ngewongke dan ilmu padi nyatanya tidak hanya dirasakan mereka yang pernah bersapa dengan beliau. Sikap itu pun mewujud dalam jurnalisme Kompas yang dinikmati pengikut setianya.