Keluwesan dan pertimbangan Jakob Oetama dalam menyampaikan pesan menjadi salah satu cara yang membawa media Kompas hidup hingga kini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Seperti menating minyak penuh. Kira-kira begitulah Kompas saat berhadapan dengan pemerintah Orde Baru yang mengontrol dan mengawasi pemberitaan secara ketat. Suasana itu kerap membuat pemimpin media berhadapan dengan situasi genting, tak terkecuali pendiri Kompas, Jakob Oetama.
”Mas Jakob Oetama, sebagaimana hampir setiap pemimpin surat kabar yang hidup selama kekuasaan Soeharto, bekerja dengan ketegangan orang meniti titian tali di atas jurang. Selalu genting, memilih antara jalan selamat atau survival dan jalan perjuangan, dalam arti menjaga kejujuran,” kata wartawan senior Goenawan Mohamad, ketika dihubungi Kamis (10/9/2020) sore.
Menurut mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini, Jakob Oetama harus berkompromi di sana-sini. Ada yang mengecam tindakan ini. Namun, pada akhirnya, sangat tidak adil untuk mengecam tanpa mengalami dengan intens dilema Jakob Oetama dan pemimpin surat kabar lainnya di masa itu.
Sejarah mencatat, Kompas dan sejumlah media lain dilarang terbit di awal 1978. Ini akibat pemberitaan aksi mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto menjadi presiden.
Kompas pun diminta menandatangani surat kesetiaan kepada pemerintah. Isinya permintaan maaf sekaligus berjanji tak membuat tulisan yang menyinggung penguasa. Hal ini memicu pembicaraan serius di antara pendiri Kompas, Jakob Oetama dan PK Ojong.
PK Ojong yang dikenal teguh, lurus, dan tegas menolak untuk meminta maaf. Bagi dia, mati hari ini, nanti, atau tahun depan sama saja.
Sebaliknya, Jakob Oetama yang luwes dan penuh pertimbangan berpandangan lain. Surat kabar yang tutup hanya bisa dikenang, sementara perjuangan masih panjang. Dan perjuangan itu membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa. Ditambah lagi, bagaimana nasib 2.500 wartawan Kompas waktu itu? Akhirnya, Kompas tetap terbit dengan lebih hati-hati ketika mengkritik penguasa.
”Saya tahu bahwa kebijakan Mas Jakob berpedoman pada satu hal: kebaikan bagi bangsa—sebuah panggilan yang setiap kali mengetuk hati saat harus memilih. Memang sering ini tercampur dengan kepentingan survival koran, tetapi apa salahnya? Kita akan tak mendapat manfaat apa pun andaikata Kompas tak terbit lagi. Dan ini karena Mas Jakob merawat semangat Kompas sejak didirikan bersama PK Ojong: membuat surat kabar yang berkualitas dan jadi sumber kecerdasan,” kata Goenawan.
Alih-alih berkonfrontasi secara langsung, Kompas dalam kepemimpinan Jakob Oetama memilih jalan berkelok saat mengkritik. Menurut Jakob Oetama, bagian terpenting dari komunikasi adalah pesannya tercapai. Caranya bukan dengan ”gebrak-gebrak”, tetapi dengan meyakinkan. Wartawan cum sejarawan Rosihan Anwar menyebut ini sebagai jurnalisme kepiting.
Terhadap pihak yang menempuh jalan konfrontatif terhadap Orde Baru, Jakob Oetama pun tak risi. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan teringat ucapan selamat dari Jakob Oetama kepada Ketua AJI 1977-1999 Lukas Luwarso dalam diskusi komunitas pers Indonesia, Juni 1998, tak lama setelah Soeharto lengser. ”Selamat, Bung, AJI menang," demikian kata Jakob Oetama kepada Lukas.
Menurut Abdul, ucapan selamat itu merupakan pengakuan bahwa AJI berkontribusi melawan rezim otoriter Orde Baru. Sebagai Ketua Harian Dewan Pers di zaman Orde Baru, katanya, tak banyak ruang bagi Jakob Oetama untuk memperjuangkan kebebasan pers meskipun sikapnya secara pribadi jelas ingin memperjuangkannya.
”Saya kira menjadi Ketua Harian Dewan Pers saat itu sangat sulit karena ketuanya langsung dijabat oleh Menteri Penerangan Harmoko. Saya kira itulah batas yang bisa dia lakukan dan dia menunjukkan sikap berterima kasih kepada wartawan-wartawan yang telah melawan Orde Baru waktu itu,” katanya.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun menjelaskan, Jakob Oetama adalah wartawan yang mampu menyampaikan kritik terhadap pemerintah secara santun. Bagi dia, yang penting pesan sampai tanpa melukai. ”Kadang dianggap penakut, tetapi kalau media lalu dibredel justru pesan atau kritik tidak akan sampai,” katanya.
Hendry melanjutkan, Jakob contoh wartawan yang mampu mengelola media dengan baik sehingga karyawan sejahtera. Kesejahteraan membuat wartawan taat terhadap kode etik karena tidak perlu mencari penghasilan sampingan.
Kadang dianggap penakut, tetapi kalau media lalu dibredel justru pesan atau kritik tidak akan sampai.
Kini, Jakob Oetama yang membawa Kompas ”meniti titian tali di atas jurang” itu telah dipanggil Tuhan. Namun, keluwesan dan pertimbangannya dalam menyampaikan pesan tetap dilanjutkan.