Darurat Pendidikan, Anak Miskin Semakin Tertinggal Pelajaran Selama Pandemi
Pandemi membawa dampak besar bagi penduduk dunia, termasuk Indonesia. Salah satu dampak yang paling dirasakan adalah terganggunya pembelajaran dengan korban paling rentan anak-anak keluarga miskin dan terpelosok.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Laporan terbaru Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak atau Unicef mengungkap setidaknya sepertiga atau 31 persen anak sekolah di seluruh dunia kesulitan mengakses pembelajaran jarak jauh selama sekolah ditutup pada masa pandemi Covid-19. Dari laporan tersebut disebutkan bahwa anak-anak usia sekolah yang paling mungkin tertinggal pelajaran berasal dari rumah tangga termiskin dan tinggal di kawasan perdesaan.
Dari hasil survei Unicef yang diluncurkan Kamis (27/8/2020) terungkap ada sekitar 463 juta anak yang tidak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ). Henrietta Fore, Direktur Eksekutif Unicef, mengingatkan, jumlah besar anak yang pendidikannya terhenti selama berbulan-bulan dan tanpa kepastian menunjukkan situasi darurat di sektor pendidikan.
Konsekuensi situasi pendidikan tersebut akan terasa, baik dari segi ekonomi maupun oleh masyarakat, selama beberapa dekade ke depan. Bahkan, Fore mengingatkan, situasi yang menunjukkan rendahnya akses kepada PJJ sesungguhnya bisa jadi jauh lebih memprihatinkan.
Sebab, pada masa puncak karantina nasional dan wilayah di berbagai belahan dunia, jumlah anak yang terdampak penutupan sekolah mencapai hampir 1,5 miliar. Laporan Unicef yang berjudul ”The Remote Learning Reachability” itu pun menguraikan keterbatasan PJJ dan mengungkap jurang ketidaksetaraan akses yang mendalam dalam pendidikan, serta ketimpangan signifikan antarwilayah, seperti yang terjadi di kawasan Afrika Sub-Sahara yang separuh dari seluruh murid tidak terjangkau PJJ.
Ada kemungkinan PJJ tidak dapat diikuti meskipun anak-anak memiliki perangkat penunjang belajar di rumah. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kewajiban anak melakukan tugas-tugas di rumah, anak terpaksa bekerja, dan lingkungan belajar yang kurang kondusif. Selain itu, bisa juga karena anak kekurangan dukungan memanfaatkan kurikulum daring atau materi belajar yang disiarkan.
Secara global, survei Unicef menemukan 72 persen murid yang tidak dapat mengakses pembelajaran adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga termiskin di negaranya.
Secara global, survei Unicef menemukan 72 persen murid yang tidak dapat mengakses pembelajaran adalah anak-anak yang berasal dari rumah tangga termiskin di negaranya. Sementara di negara-negara berpendapatan menengah ke atas, anak-anak dari rumah tangga termiskin menyumbang 86 persen dari keseluruhan murid yang tidak bisa melakukan PJJ.
Laporan Unicef juga menemukan bahwa murid termuda yang berada pada kelompok usia prasekolah adalah kelompok yang paling mungkin tidak mendapatkan pembelajaran jarak jauh pada masa terpenting dalam proses belajar dan perkembangan mereka.
Sekitar 70 persen anak bersekolah pada kelompok usia prasekolah di dunia yang jumlahnya sekitar 120 juta anak tidak dapat terakses PJJ karena keterbatasan format daring bagi murid usia muda, kekurangan program pembelajaran jarak jauh untuk kelompok usia ini, dan ketiadaan sarana belajar daring di rumah. Padahal, usia tersebut merupakan masa terpenting dalam proses belajar dan perkembangan mereka.
Laporan Unicef memberikan konfirmasi, betapa pandemi Covid-19 sangat berdampak besar pada kelangsungan pendidikan anak-anak keluarga miskin di perdesaan. Namun, bukan tidak mungkin juga berdampak bagi anak-anak miskin di wilayah perkotaan.
Ketimpangan akses digital
Krisis pandemi Covid-19 menunjukkan betapa ketimpangan sosial berkorelasi dengan ketimpangan akses digital yang terjadi saat ini. Laporan Unicef memberikan konfirmasi, betapa pandemi Covid-19 sangat berdampak besar pada kelangsungan pendidikan anak-anak keluarga miskin di perdesaan.
Di Asia Timur dan Asia Pasifik, jumlah anak bersekolah yang tidak dapat mengakses PJJ sebanyak 80 juta anak atau sebesar 20 persen. Indonesia masuk dalam bagian ini. Survei yang dilakukan Unicef bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan sekitar 45 juta anak sekolah telah didukung melalui PJJ, baik daring maupun luring. Namun, 35 persen siswa yang disurvei melaporkan koneksi internet yang buruk.
Sejauh ini, PJJ tidak berjalan maksimal karena sejumlah faktor. Namun, ketika pembatasan sosial berlangsung di seluruh wilayah Indonesia, pilihan belajar secara daring dan luring adalah yang paling memungkinkan demi keselamatan siswa ataupun guru.
Namun, PJJ tidak didukung oleh sarana mulai dari televisi, gawai/laptop/komputer, hingga jaringan internet. Tidak semua keluarga memiliki kemewahan tersebut, apalagi keluarga miskin, baik di perdesaan maupun perkotaan. Kalaupun ada telepon genggam, bukan yang canggih yang bisa mendukung pembelajaran. Belum lagi urusan kuota internet. Bagi keluarga miskin, kebutuhan makan sehari-hari menjadi hal yang paling utama.
Maka, saat ini pendidikan di perdesaan sangat bergantung pada inisiatif dan kreativitas guru. Ketika siswa tidak memiliki perangkat pendukung untuk belajar daring, jalan satu-satunya adalah pembelajaran secara luring. Namun, tidak sesederhana itu, guru-guru di perdesaan juga dalam kondisi terbatas. Bahkan, di sejumlah desa, guru-guru di sekolah banyak yang berstatus honorer, yang ekonominya juga dalam kondisi sulit.
Berdasarkan Statistik Kesejahteraan Indonesia tahun 2019, kurang dari 15 persen anak perdesaan rata-rata memiliki komputer atau laptop untuk mengakses internet di rumah mereka. Di daerah perkotaan hanya 25 persen yang memiliki perangkat tersebut.
Soal kondisi kemiskinan, sebelum pandemi Covid-19, angka kemiskinan penduduk Indonesia sebenarnya sudah berangsur-angsur turun. Bahkan, pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin sebanyak 25,14 juta orang (9,41 persen) atau turun 0,41 persen dibandingkan dengan Maret 2018.
Tidak belajar, tetapi bekerja
Temuan Wahana Visi Indonesia pada awal Juni 2020 juga menunjukkan betapa PJJ, baik daring maupun luring, tidak menyentuh anak-anak di wilayah perdesaan, terutama di daerah pelosok dan terpencil, selama pandemi. Kenyataannya, saat pandemi, bukannya belajar dari rumah, sejumlah anak seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan DKI Jakarta justru melakukan aktivitas lain di rumah, bahkan menjadi pekerja anak yang rentan mengalami kekerasan.
Bahkan, di Waingapu, NTT, ada anak yang tidak sekolah, berkeliaran di jalan raya dan pasar, serta menjadi penjual sirih pinang, sayuran, ikan, dari pagi sampai malam. Ada yang disuruh orangtua, ada juga yang dibayar orang lain. Di Bengkayang, anak-anak malah menjadi pekerja di kebun sawit.
Menurut Analis Kebijakan Publik WVI, Tira Maya Malino, pandemi Covid-19 memberi dampak bagi anak-anak di sejumlah daerah. Selain tidak bisa bersekolah secara aktif, sejumlah anak yang berasal dari keluarga ekonomi lemah terpaksa mengalihkan aktivitas mereka ke hal lain. Beberapa menjadi pekerja untuk membantu orangtuanya mencari nafkah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menilai pembelajaran daring menunjukkan disparitas yang tinggi dalam pelayanan pendidikan antara anak-anak dari keluarga kaya dan miskin.
Kenyataannya, selama pandemi, anak-anak dari keluarga miskin paling terdampak dari PJJ. Mereka tidak terlayani karena mungkin saja tidak memiliki segalanya, mulai dari alat daring, kuota internet, televisi, hingga tak ada listrik seperti terjadi di beberapa daerah.
”Kalau anak-anak miskin tidak dibantu intervensi oleh negara, mereka bisa tak terlayani pembelajaran sama sekali selama pandemi. Mereka akan tertinggal pembelajaran dan kemungkinan anak-anak dari keluarga miskin memilih bekerja serabutan atau malah menikah di usia anak,” ujar Retno.