Pemanfaatan Radio Komunitas untuk Pembelajaran Jarak Jauh
Dari penelitian yang pernah penulis lakukan, masih banyak warga yang menjadi pendengar dari radio komunitas karena kedekatan (proximity) isi siaran dengan kehidupan masyarakat di bawah.
Oleh
Ignatius Haryanto
·4 menit baca
Keluhan akan sarana pembelajaran jarak jauh yang dilakukan sekolah-sekolah sementara pandemi masih berlangsung sudah terdengar di mana-mana. Kesiapan guru, penyederhanaan kurikulum, hingga masalah tidak adanya perangkat memadai dari pihak guru dan peserta didik (baik gawai maupun paket pulsa yang dibutuhkan) sudah kita dengar di berbagai tempat.
Sebenarnya ada solusi dari beberapa bagian yang menyangkut masalah penyampaian materi pendidikan untuk daerah yang masih belum terjangkau internet atau mengalami koneksi dengan internet. Radio komunitas bisa menjadi salah satu solusi yang bisa membantu kelancaran pelaksanaan pendidikan dengan biaya yang lebih murah.
Kita tahu bahwa di Indonesia ada banyak radio komunitas walaupun banyak pihak yang sering melihatnya dengan sebelah mata. Radio komunitas bahkan memiliki asosiasi, yaitu Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) yang memiliki tak kurang dari 457 radio komunitas di berbagai wilayah Indonesia (keterangan Ketua JRKI Sinam M Sutarno). Dalam situasi pandemi ini pun radio komunitas aktif menyampaikan informasi kepada masyarakat terkait dengan informasi seputar pandemi Covid 19.
Kita tahu bahwa di Indonesia ada banyak radio komunitas walaupun banyak pihak yang sering melihatnya dengan sebelah mata.
Akhir April lalu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di Jakarta sudah menyampaikan imbauan agar pemerintah daerah menggandeng radio komunitas untuk menunjang kegiatan belajar dari rumah. Belum lama ini, di Pekalongan, Jawa Tengah, sejumlah guru telah memanfaatkan radio komunitas untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Guru di sana sadar bahwa banyak peserta didik yang tidak siap dengan ponsel berikut pulsa data untuk mengikuti pembelajaran dari rumah (Kompas.tv, 22 Juli 2020). Pihak sekolah memilih untuk menggunakan radio komunitas karena radio berbiaya murah dan lebih terjangkau untuk para peserta didik.
Belum banyak yang memanfaatkan radio komunitas ini. Namun, sebenarnya ada potensi besar yang bisa digunakan, apalagi radio komunitas menggunakan frekuensi yang sejatinya adalah milik publik juga.
UU Penyiaran kita mengakui entitas ”lembaga penyiaran komunitas” walau dalam kenyataannya sering kali diperlakukan dengan tidak adil; persyaratan pendirian disamakan dengan lembaga penyiaran swasta, alokasi frekuensi sering mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal, dan alokasi frekuensi ini sering lalu diambil atau diberikan kepada lembaga penyiaran swasta lokal yang lebih memiliki potensi bisnis.
Kiprah radio komunitas dalam menghadapi sejumlah masalah negeri ini sudah banyak. Terkait dengan kebencanaan, radio komunitas dan para aktivisnya berada di depan untuk membantu evakuasi warga dan memberikan informasi terus menerus terkait dengan kondisi di lokasi bencana.
Saat erupsi Gunung Merapi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, radio komunitas bekerja keras membantu warga hingga akhirnya warga bisa kembali ke rumah masing-masing saat kondisi sudah aman. Sudah banyak studi dilakukan oleh sarjana di Indonesia dan di luar negeri mengenai masalah ini.
Kontekstual
Radio komunitas, sesuai dengan namanya, menjangkau wilayah tertentu dan beririsan dengan komunitas-komunitas yang ada di akar rumput. Daya pancarnya pasti tidak sejauh radio-radio swasta lokal, tetapi ia akan sangat bisa dipergunakan oleh komunitas setempat untuk aneka keperluan. Dari penelitian yang pernah penulis lakukan, masih banyak warga yang menjadi pendengar radio komunitas karena kedekatan (proximity) isi siaran dengan kehidupan masyarakat di bawah.
Radio komunitas, sesuai dengan namanya, menjangkau wilayah tertentu dan beririsan dengan komunitas-komunitas yang ada di akar rumput.
Di wilayah pegunungan, radio komunitas membantu masyarakat dengan informasi yang terkait dengan masalah pertanian, tips perawatan tanaman, ternak, dan komunikasi antar- masyarakat. Sementara itu, di wilayah pantai, radio komunitas membantu masyarakat dengan informasi terkait cuaca sehingga memudahkan nelayan setempat menentukan waktu yang tepat untuk melaut.
Dari penelitian yang sama, penulis juga menemui bahwa kegiatan ajar mengajar lewat radio bukan hal baru. Di beberapa wilayah hal tersebut dilakukan oleh para siswa sendiri yang berbagi pengetahuan untuk memahami materi-materi yang diajarkan di sekolah.
Jadi, jika pembelajaran daring diganti dengan pembelajaran lewat radio, bukan hal yang sulit dilakukan. Bahkan, di banyak wilayah, radio komunitas inilah yang juga berperan penting untuk pelestarian budaya tradisional setempat dan memberi ruang untuk tampilnya para seniman lokal untuk mengisi acara di radio komunitas.
Mudah-mudahan potensi-potensi bangsa seperti radio komunitas semakin dimanfaatkan sehingga ia tetap kontekstual dan relevan kehadirannya bagi komunitas yang ada di sekitarnya. Dalam pandemi yang masih kita hadapi ini, radio komunitas bisa menjadi alternatif pengganti proses ajar mengajar dengan biaya yang murah dan bisa menjangkau masyarakat di akar rumput.
Di sini kita belajar bahwa tak semua yang berteknologi tinggi akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya dengan teknologi yang sederhana, seperti yang digunakan oleh radio komunitas, ada masalah besar yang bisa diselesaikan. Semoga hal ini bisa diperhatikan oleh para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah.
Di sini kita belajar bahwa tak semua yang berteknologi tinggi akan menyelesaikan masalah.
(Ignatius Haryanto, Pengajar Jurnalistik di Universitas Media Nusantara (UMN) dan Menulis buku Dinamika Radio Komunitas, 2009)