Ketahanan pangan masyarakat adat teruji menghadapi ancaman krisis pangan di tengah situasi pandemi Covid-19. Hal itu bisa terwujud melalui pemanfaatan kekayaan alam secara bijak.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehidupan masyarakat adat yang menjunjung tinggi praktik luhur nenek moyang terbukti menyelamatkan mereka dari situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Dengan memanfaatkan kekayaan alam secara bijak untuk memenuhi kebutuhan pangan, ancaman krisis pangan bisa diantisipasi.
Tahun ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tema ”Masyarakat Adat dan Covid-19” pada Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus. Di tingkat nasional, tema yang diambil adalah ”Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat”.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Rukka Sombolinggi menyampaikan, tema dalam tingkat nasional tersebut diambil sebagai cerminan dari situasi yang dihadapi masyarakat adat saat ini.
”Pandemi Covid-19 (penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru) memberikan jawaban sekaligus petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik. Kehidupan baru untuk terus menjaga bumi dan adil dengan sesama manusia,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Minggu (9/8/2020).
Rukka mengemukakan, masyarakat adat mampu bertahan di tengah krisis akibat pandemi. Hal ini disebabkan mereka masih menjaga keutuhan wilayah adat dan setia menjalankan praktik luhur nenek moyang seperti musyawarah, gotong royong, dan memanfaatkan kekayaan luhur secara bijaksana.
Pandemi Covid-19 memberikan jawaban sekaligus petunjuk arah ke masa depan yang lebih baik.
Segala praktik kehidupan yang dilakukan tersebut membuat masyarakat adat mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Bahkan, masyarakat adat membagikan lumbung pangannya kepada kelompok masyarakat lain khususnya yang menetap di kota-kota besar.
Sebaliknya, masyarakat adat yang sudah tidak berdaulat atas wilayah adatnya bernasib sama dengan yang hidup di perkotaan. Masyarakat adat yang tanahnya dirampas perusahaan dan pemerintah serta dipaksa menjadi buruh kelapa sawit tidak memiliki daya tahan menghadapi krisis pangan berkelanjutan akibat pandemi.
Ketangguhan masyarakat adat menghadapi pandemi Covid-19 juga diungkapkan Herkulanus Sutomo, warga adat Menua Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Komunitas Sungai Utik saat ini juga telah menerima pengesahan hutan adat untuk areal seluas 9.480 hektar.
Hartono mengatakan, meski selama pandemi diterapkan karantina wilayah, masyarakat adat Sungai Utik tetap dapat menyediakan pangannya secara mandiri yang didapat dari hutan.
”Kami menganggap hutan merupakan supermarket (pasar swalayan) karena ada makanan, sayuran, hingga obat-obatan. Ketika hutan tetap terpelihara, kami akan mudah mendapatkan jenis makanan. Ini merupakan turun temurun dari nenek moyang kami,” ujarnya.
Perubahan paradigma
Becermin dari kondisi itu, Rukka menegaskan, paradigma pembangunan saat ini dan ke depan harus diubah. Pembangunan harus mengedepankan ekonomi kerakyatan berlandaskan gotong royong, keadilan, dan menjamin keberlanjutan, serta menciptakan mekanisme saling mendukung antara masyarakat adat atau perdesaan dengan masyarakat kota.
Selain itu, wilayah adat yang rusak akibat pertambangan dan perkebunan sawit juga harus direhabilitasi secara total untuk memastikan masyarakat adat dapat beradaptasi dalam situasi sulit. Rehabilitasi tidak hanya sebatas menanam pohon, tetapi juga mengembalikan kesuburan tanah agar dapat dilakukan pertanian ramah lingkungan.
”Banyak sekali masalah yang dialami masyarakat adat akibat 75 tahun masa pengabaian hak-hak konstitusional mereka. Oleh karena itu, kita masih terus berjuang untuk mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat,” tuturnya.
Di tempat terpisah, desakan untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri atas 27 organisasi atau komunitas, beserta individu-individu pemerhati masyarakat adat, lingkungan, dan perempuan adat.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menyatakan, Rancangan Undang Undang Masyarakat Adat mendesak untuk segera disahkan karena sejak sebelum merdeka, masyarakat adat sudah mendiami wilayah Indonesia. Ironisnya, setelah merdeka, masyarakat adat kerap terusir dari wilayahnya sendiri akibat proyek pembangunan.
Ia berharap, dengan disahkannya RUU Masyarakat Adat, tidak ada lagi masyarakat adat yang dianggap ilegal untuk tinggal di wilayahnya sendiri. Segala hukum yang berlaku di masyarakat adat juga mendapatkan kepastian untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.