Tes Cepat Tak Akurat, Berimplikasi Besar terhadap Penyebaran Virus
Tes cepat yang selama ini dilakukan tidak memberikan hasil akurat dari keadaan seseorang, apakah positif Covid-19 atau tidak. Tes usap hidung dan tenggorok untuk deteksi gen virus dengan metode PCR-lah yang dibutuhkan.
Oleh
YOESEP BUDIANTO/SHARON PATRICIA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tes cepat atau rapid test antibodi terhadap SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit Covid-19, tidak dapat memberikan hasil yang efektif. Tes yang diperlukan untuk mengetahui seseorang terinfeksi Covid-19 adalah tes usap hidung dan tenggorok untuk deteksi gen virus dengan metode reaksi rantai polimerase atau PCR.
Professor of Immunology and Pathogenesis, Department of Molecular and Cell Biology, University of California Berkeley, Williams Endowed Chair of Biological Sciences, Astar Winoto menyampaikan, tes cepat hanya memberi tahu apa yang terjadi dengan tubuh orang tersebut. Namun, tidak memberi kepastian apa yang sesungguhnya terjadi terhadap virus tersebut.
”Tentu tubuh memiliki zat antibodi immunoglobulin M (igM) ataupun immunoglobulin G (igG), tetapi itu tidak akan memberitahumu secara pasti apa yang terjadi dengan virus, apakah negatif atau positif. Ketika dinyatakan negatif, itu belum tentu benar karena orang tanpa gejala dan pasien dengan gejala awal memiliki virus itu, tetapi belum ada antibodinya, maka negatif dalam tes cepat,” tutur Astar.
Paparan ini disampaikan pada Sabtu (25/7/2020) melalui webinar ”Understanding Immune Responses to Covid-19” yang diadakan oleh Universitas California Berkeley dan Universitas Pelita Harapan. Acara ini dimoderatori Assistant Professor of Internal Medicine, Allergy and Clinical Immunology Division, Department of Internal Medicine, Universitas Pelita Harapan, Stevent Sumantri.
Menurut Astar, memang ada pro dan kontra dalam penggunaan tes cepat. Tes ini didukung karena dinilai dapat dilakukan secara cepat, tidak perlu biaya tinggi, dan dapat diselesaikan tanpa memerlukan peralatan yang canggih.
Meski begitu, perlu dicermati bahwa hasil dari tes cepat ini tidak secara langsung mendeteksi virus, terutama pada orang tanpa gejala serta pasien dengan gejala awal. Dengan begitu, ada kemungkinan memberikan hasil yang salah.
Sementara, apabila hasil tes tidak reaktif, juga belum tentu negatif Covid-19. Kondisi ini terjadi karena tes cepat tidak cukup sensitif dan berpeluang melewatkan banyak kasus positif Covid-19 yang sesungguhnya terjadi.
”Untuk itu, lebih baik anggaran yang digunakan untuk membeli alat rapid test dialihkan untuk membeli alat PCR. Dengan begitu, hasil tes yang didapat pun lebih efektif,” kata Astar.
Kekeliruan hasil tes melalui tes cepat memiliki implikasi besar terhadap penyebaran virus. Sebab, secara epidemiologi, virus korona SARS-Cov-2 memiliki pola infeksi yang mudah dan masif di dalam tubuh manusia, khususnya di sistem pernapasan manusia.
Bahaya virus korona
Virus korona atau human coronavirus setidaknya telah menyebabkan tiga wabah besar penyakit di dunia selama dua dekade terakhir, yaitu SARS (2002), MERS (2012), dan Covid-19 (2019). Pemahaman lebih lanjut tentang virus korona, termasuk mengungkap masifnya infeksi, menjadi kunci pengendalian wabah selanjutnya.
Sejak Desember 2019, terjadi peningkatan kasus pneumonia yang disebabkan virus korona jenis baru, yaitu SARS-CoV-2, di daratan China. Pada perkembangannya, wabah tersebut menjadi pandemi. Disebut pandemi salah satunya karena terjadi infeksi bersamaan di berbagai belahan bumi.
Virus korona pun telah bermutasi di seluruh dunia. Sejauh ini, melalui 72.731 urutan genom virus yang dikumpulkan berbagai negara melalui GISAID, terdapat tiga varian utama mutasi virus didasarkan lokasinya, yaitu Asia, Eropa, dan Amerika.
Data Worldometers menyebutkan ada 15,95 juta kasus infeksi di seluruh dunia hingga 25 Juli 2020, dengan total kematian lebih dari 600.000 jiwa. Tidak ada negara yang kebal virus ini. Setiap individu pun memiliki peluang yang sama untuk terinfeksi.
Bahaya infeksi oleh virus korona terlihat dari tingginya angka R0 yang bisa mencapai angka 4. Artinya, satu orang terkonfirmasi positif mampu menularkan virus ke 4 orang lainnya. Laju penambahan kasus positif juga masih terus meningkat tiap harinya, sementara persentase kematian sekitar 6 persen.
Tingginya angka infeksi turut disebabkan oleh mekanisme infeksi virus di dalam tubuh manusia. Virus ini memasuki sel dalam tubuh manusia melalui reseptor di permukaan sel yang disebut Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2).
Reseptor ACE2 tersebar pada permukaan luar sel di beberapa organ, seperti paru-paru, arteri, jantung, ginjal, dan usus. Oleh sebab itu, gejala paling lazim yang muncul pada individu terinfeksi adalah gangguan sistem pernapasan, mulai dari batuk kering hingga sesak napas.
Protein spike di permukaan virus SARS-CoV-2 mampu mengikat kuat reseptor ACE2 sehingga sel inang virus tersebut dapat masuk dengan mudah ke dalam sel yang diinfeksinya. Sistem penyebaran virus yang melalui droplets dan udara dari pasien terkonfirmasi mampu masuk ke dalam tubuh manusia lain saat tidak sadar menghirupnya.
Infeksi akan terjadi saat virus masuk ke dalam tubuh manusia. Dari keseluruhan kasus infeksi virus korona, organ pernapasan menjadi sasaran utama. Setidaknya ada tiga kondisi seseorang yang terinfeksi, mulai gejala ringan hingga berat.
Secara umum, seorang individu yang terinfeksi dengan gejala ringan akan mengalami demam, batuk kering, dan kelelahan. Sementara gejala sedang menunjukkan kondisi sakit tenggorokan, sesak napas, hidung tersumbat, pilek, hingga sakit dan nyeri di bagian perut.
Sementara pada gejala berat, akan terjadi pembengkakan jaringan di kantung udara paru-paru atau pneumonia. Akibatnya, seseorang akan kesulitan bernapas hingga sindrom kesulitan pernapasan akut, yaitu kondisi paru-paru meradang parah, cairan bocor ke kantong udara, dan tidak tersedianya oksigen bagi tubuh.
Mempertimbangkan pola penyebaran virus melalui droplets, tiga hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terinfeksi adalah selalu memakai masker, menjaga jarak, dan mengurangi aktivitas di luar rumah.
Usaha tersebut hanya mengurangi risiko, bukan melindungi secara penuh. Penyebaran virus korona hanya dapat dihentikan menggunakan vaksin.
Perkembangan vaksin
Pengembangan vaksin dan obat terus dilakukan untuk menghadapi pandemi Covid-19 di dunia. Hingga 24 Juli 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 166 kandidat vaksin, 25 di antaranya telah masuk uji klinis.
Vaksin menjadi kunci menghentikan penyebaran virus karena strategi pembatasan wilayah hingga penutupan akses paling ketat hanya akan memperlambat penyebaran infeksi. Sementara vaksin mampu memberi sistem kekebalan dalam mengenali dan membangun pertahanan melawan virus.
Percepatan penelitian dan pengembangan vaksin serta obat untuk penyakit Covid-19 melibatkan puluhan institusi riset medis di seluruh dunia. Empat institusi yang telah berhasil mengembangkan vaksin hingga fase 3 uji klinis adalah Sinovac, Wuhan Institute of Biological Products/Sinopharm, Beijing Institute of Biological Products/Sinopharm, dan University of Oxford/AstraZeneca.
Fase 3 uji klinis sebuah vaksin menunjukkan tahapan uji coba ke manusia dengan jumlah yang sangat banyak, ratusan hingga ribuan sukarelawan. Uji klinis kandidat klinis dilakukan dalam tiga fase. Fase 1 fokus di pengujian keamanan dan efek samping, sementara fase 2 mengukur efektivitasnya.
Untuk fase 3, telah sampai pada empat pertanyaan kunci. Pertama, bagaimana cara membandingkan orang yang mendapatkan vaksin dan yang tidak mendapatkan. Kedua, apakah vaksin tetap aman. Ketiga, apakah vaksin bekerja secara efektif. Keempat, apa efek samping yang paling sering muncul.
Vaksin untuk SARS-CoV-2 diperkirakan selesai pada 2021. Durasi yang dibutuhkan memang sangat singkat, mempertimbangkan urgensi penanganan global di sisi kesehatan masyarakat dan ekonomi. Tahap terakhir pembuatan vaksin adalah pemberian lisensi dan produksi secara global.