Seribu Hari Pertama Kehidupan yang Menentukan
Manusia memiliki periode emas tumbuh kembang pada masa seribu hari pertama dalam kehidupan. Hal itu bisa dicapai melalui pemberian asupan gizi yang cukup, stimulasi, dan proteksi dengan imunisasi dasar lengkap.
Manusia memiliki periode emas tumbuh kembang pada masa seribu hari pertama dalam kehidupan. Pada periode ini, yakni selama sembilan bulan dalam kandungan dan dua tahun setelah kelahiran, otak manusia berkembang hingga 80 persen dari kapasitas maksimal.
Oleh karena itu, memastikan kecukupan gizi seseorang pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) menjadi kunci utama untuk membentuk sumber daya manusia berkualitas. Selain itu, kesehatan lingkungan seperti sanitasi dan air bersih perlu diperhatikan untuk mendukung hal tersebut.
Namun, kondisi di Indonesia menunjukkan tingginya beban gizi yang dialami. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi rata-rata tengkes (stunting) di Indonesia mencapai 30,8 persen. Artinya, satu dari tiga anak di Indonesia mengalami tengkes. Jumlah ini jauh dari ambang batas yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni kurang dari 20 persen.
Baca juga Penanganan Tengkes agar Lebih Terpadu
Tengkes menjadi persoalan besar bagi bangsa. Itu tidak hanya mengakibatkan seseorang bertumbuh pendek, tapi juga kemampuan kognitif yang dimiliki cenderung dangkal. Jika jumlah anak dengan tengkes amat tinggi, kualitas sumber daya manusia Indonesia bisa terancam.
“Kita tahu bahwa stunting tidak bisa disembuhkan. Kondisi stunting atau kondisi gagal tumbuh akibat gizi kronis ini tidak bisa diperbaiki jika sudah melewati masa 1.000 hari pertama kehidupan," kata Rita Ramayulis, ahli gizi yang juga Ketua Indonesia Sport Nutrition Association.
" Untuk itu, penanganannya harus cepat dilakukan,” kata Rita, dalam acara KompasTalks bersama Tanoto Foundation secara daring bertajuk “Pentingnya Nutrisi, Stimulasi, Proteksi, dan Evaluasi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan”, Sabtu (8/7/2020), di Jakarta.
Kondisi stunting atau kondisi gagal tumbuh akibat gizi kronis ini tidak bisa diperbaiki jika sudah melewati masa 1.000 hari pertama kehidupan.
Menurut dia, penyebab anak mengalami tengkes sangat kompleks. Itu mulai dari asupan gizi yang kurang karena pengetahuan minim, praktik pengasuhan bayi dan anak yang tidak baik, serta rendahnya daya beli masyarakat pada sumber pangan yang bernutrisi.
Dalam praktiknya, perbaikan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) bisa dilakukan secara optimal pada ibu hamil, ibu menyusui, bayi baru lahir, sampai anak berusia dua tahun. Pada ibu hamil, pastikan gizi seimbang diberikan dengan baik melalui pemberian makanan dengan tinggi protein dengan tambahan karbohidrat, sayur, dan buah. Kenaikan berat badan juga harus dipantau setidaknya 0,5 kilogram per bulan di trimester pertama serta 0,5 kilogram per minggu di trimester kedua dan ketiga.
Ketika melahirkan, pastikan bayi mendapat kesempatan inisiasi menyusui dini untuk memperkuat daya tahan bayi. Di usia bayi 0-6 bulan, pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif juga harus dipastikan. Ibu yang menyusui pun perlu mendapatkan asupan nutrisi yang baik.
Kemudian, saat bayi berusia 7-11 bulan, makanan pendamping ASI diberikan dengan memertimbangkan konsep gizi seimbang. Kebutuhan gizi seimbang pada makanan pendamping ASI (MPASI) berbeda dengan proporsi orang dewasa. Proporsi protein perlu lebih besar dari sumber pangan lain. Ini bisa didapatkan dari ikan, telur, tempe, dan daging merah.
Baca juga Kerja Keras untuk Menurunkan Angka Tengkes di Tengah Pandemi Covid-19
Kebutuhan MPASI ini terus berlanjut sampai anak berusia dua tahun. Pada usia 11-24 bulan, makanan yang diberikan dapat isesuaikan dengan makanan keluarga. Pemberikan ASI pun sebaiknya tetap diberikan sampai anak berusia dua tahun.
Rita menambahkan, intervensi untuk memutus rantai tengkes bahkan seharusnya dilakukan sejak seseorang berusia remaja, terutama pada remaja putri yang kelak menjadi ibu. Jumlah remaja yang mengalami kurang energi kronis cukup tinggi. Itu belum lagi dengan tingginya masalah anemia.
Riskesdas 2018 mencatat, prevalensi anemia pada usia 15-24 tahun 32 persen, naik hampir dua kali dari tahun 2013 sebesar 18,4 persen. Selain itu, prevalensi anemia pada ibu hamil usia 15-24 tahun tinggi yakni 84,6 persen. Anemia pada ibu hamil bisa menyebabkan pendarahan dalam kelahiran serta melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah.
“Kurang energi kronis bisa terjadi karena ketidakmampuan memiih makanan yang benar atau akibat persepsi bentuk tubuh. Indikator paling mudah diukur adalah melalui lingkar lengan yang harus lebih dari 23,5 sentimeter,” tuturnya.
Baca juga Anemia, Tak Sekadar Kurang Darah
Ukuran lingkar lengan dapat menggambarkan lapisan lemak di bawah kulit dan jaringan otot seseorang. Lapisan lemak ini dibutuhkan sebagai cadangan energi dalam tubuh. Apabila cadangan lemak tidak cukup, kemungkinan ia akan mengalami kekurangan energi kronis.
Stimulasi dan proteksi
Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko menambahkan, selain pemenuhan nutrisi ada tiga hal lain yang perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang selama 1.000 HPK yakni stimulasi, proteksi, dan evaluasi.
Stimulasi bisa diberikan sesuai dengan usia anak. Pada anak usia 6-9 bulan misalnya, stimulasi bisa diberikan melalui pelukan, senyuman, bersalaman, tepuk tangan, dan mengenalkan benda di sekitar. Dalam memberikan stimulasi, orangtua sebaiknya menyertakan pujian dan penghargaan. Stimulasi ini penting untuk membentuk anak cerdas, terampil, dan percaya diri di masa depan.
Adapun proteksi pada 1.000 HPK yakni memastikan pemberian imunisasi dasar lengkap. Imunisasi harus tetap diberikan meski dalam kondisi pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru saat ini. Jika itu tidak dilakukan, wabah akibat penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi bisa terjadi.
“Jangan lupa untuk melakukan evaluasi secara rutin. Evaluasi mandiri bisa dilakukan keluarga melalui panduan yang tercatat di buku KIA (kesehatan ibu dan anak). Lebih dari 70 persen ibu di Indonesia memiliki buku ini tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal,” tuturnya.
Baca juga Intervensi Gizi Tak Dapat Ditunda
Untuk itu, konselor di setiap daerah dan dokter spesialis anak harus terus memberikan edukasi kepada orangtua terkait penggunaan buku KIA ini. Pemahaman harus diberikan secara spesifik sesuai dengan usia anak lengkap dengan contoh penanganan yang diperlukan.
Pandemi
Menurut spesialis nutrisi dari Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Indonesia, Sri Sukotjo, masalah gizi pada anak akan makin berat akibat pandemi Covid-19. Unicef memperkirakan pada setahun pertama pandemi Covid-19 terjadi, jumlah anak dengan gizi kurang dan gizi buruk naik 15 persen atau sekitar 7 juta anak di seluruh dunia. Jumlah anak tengkes pun bertambah sekitar 700.000 anak.
Akses terhadap sumber pangan bernutrisi dan layanan kesehatan yang makin terbatas menjadi salah satu penyebabnya. Faktor lain yang perlu diperhatikan yakni makin sulitnya akses terhadap layanan imunisasi, air bersih, serta sanitasi yang layak.
“Stunting sekaligus menjadi penanda adanya defisiensi lingkungan. Pendekatan multisektoral perlu dilakukan agar intervensi bisa diberikan secara terintegrasi. Intervensi ini mulai dari gizi, kesehatan, sanitasi dan air bersih, pengasuhan usia dini, ketahanan pangan, dan perlindungan sosial,” kata Sukotjo.
Penasihat Senior Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini Tanoto Foundation, Widodo Suhartoyo menuturkan, pendekatan multiksektor ini yang jadi landasan lembaga filantropi seperti Tanoto Foundation dalam layanan bagi anak usia dini. Pelayanan yang diberikan tak hanya terkait nutrisi, melainkan juga stimulasi pada tumbuh kembang.
Baca juga Gagal Paham soal Tengkes Bisa Salah Intervensi
“Di masa normal baru ini, kami mengenalkan paket anak SIGAP untuk pendidikan anak usia dini. Paket ini berisi alat peraga untuk membantu stimulasi anak selama berada di rumah. Harapannya, melalui alat peraga ini, keterlibatan orangtua optimal dalam memberi stimulasi ke anaknya,” katanya.
Tanoto Foundation merupakan lembaga filantropi yang berfokus pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, termasuk anak usia dini. Ada tiga hal utama yang dilakukan dalam pelayanan anak usia dini, yakni mengurangi stunting, memperbaiki kualitas pengasuhan, dan memperbaiki akses pada pendidikan anak usia dini yang berkualitas.