Inflasi Rendah, BI Kembali Pangkas Suku Bunga Acuan
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk kembali memangkas BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4 persen. Tujuannya adalah mendorong percepatan pergerakan ekonomi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya inflasi akibat belum pulihnya permintaan masyarakat menciptakan ruang bagi Bank Indonesia untuk kembali menurunkan suku bunga acuan. Di samping ekspansi moneter, bank sentral tetap akan melanjutkan pelonggaran kuantitatif dari sisi pendanaan dan penyediaan likuiditas.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 15-16 Juli 2020 memutuskan kembali memangkas BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4 persen. Pemangkasan sebesar 25 bps juga dilakukan untuk suku bunga penyediaan dana rupiah atau (deposit facility) menjadi 3,25 persen dan suku bunga penempatan dana rupiah (lending facility) menjadi 4,75 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan ini konsisten dengan inflasi yang tetap rendah sekaligus sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Ruang penurunan suku bunga acuan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perkembangan inflasi dari bulan ke bulan.
”Untuk saat ini, inflasi diperkirakan masih akan berada pada level yang rendah sejalan dengan permintaan masyarakat yang belum pulih,” ujar Perry dalam telekonferensi pers di Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Menurut Perry, rendahnya inflasi salah satunya terbukti dari inflasi Juni 2020 sebesar 1,96 persen. Inflasi ini lebih rendah dari batas bawah sasaran inflasi BI sebesar 2 persen. Selain itu, rendahnya inflasi juga tecermin dari pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil.
Meski begitu, dampak dari ekspansi kebijakan moneter membutuhkan waktu transmisi yang lebih lama untuk memacu pergerakan ekonomi. ”Jalur pelonggaran kuantitatif, yaitu dari sisi pendanaan dan penyediaan likuiditas di pasar, dapat lebih efektif untuk mempercepat pemulihan ekonomi,” katanya.
Dampak dari ekspansi kebijakan moneter membutuhkan waktu transmisi yang lebih lama untuk memacu pergerakan ekonomi. Jalur pelonggaran kuantitatif, yaitu dari sisi pendanaan dan penyediaan likuiditas di pasar, dapat lebih efektif untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Hingga 14 Juli 2020, BI telah menambah likuiditas melalui pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) di perbankan hingga Rp 633,24 triliun. Nilai ini termasuk juga pelonggaran melalui skema penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun serta ekspansi moneter yang mencapai Rp 462,4 triliun.
”Kondisi likuiditas dan suku bunga pasar uang tetap memadai ditopang strategi operasi moneter Bank Indonesia,” ujar Perry.
Perry memaparkan, longgarnya likuiditas tecermin pada rendahnya suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), yaitu di sekitar 4 persen pada Juni 2020, serta rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) tetap besar, yakni 24,33 persen pada Mei 2020.
Sejalan dengan penurunan suku bunga PUAB, rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Juni 2020 menurun dari 5,85 persen dan 9,6 persen menjadi 5,74 persen dan 9,48 persen pada Mei 2020. ”Likuiditas yang memadai serta penurunan suku bunga kebijakan berkontribusi menurunkan suku bunga perbankan,” kata Perry.
Ekspansi moneter BI, lanjut Perry, sementara ini masih tertahan di perbankan karena penyaluran kredit dari sektor keuangan masih terbatas. Ini akibat masih lemahnya permintaan domestik serta kehati-hatian perbankan untuk menyalurkan pembiayaan di tengah berlanjutnya pandemi Covid-19.
”Saat permintaan domestik sudah mulai pulih, diharapkan ekspansi moneter dapat lebih efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan,” ujarnya.
BI mencatat, pertumbuhan kredit pada Mei 2020 tercatat 3,09 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan dengan periode April 2020 yang tumbuh 5,73 persen dibandingkan April 2019.
Saat permintaan domestik sudah mulai pulih, diharapkan ekspansi moneter dapat lebih efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan.
Ekonom PT Bank Danamon Tbk Wisnu Wardana menilai, penurunan suku bunga acuan BI bertujuan untuk memberikan stimulasi bagi perekonomian domestik, khususnya dari sisi permintaan ekonomi serta mendukung aktivitas produksi yang secara bertahap mulai membaik. BI pun mendorong penurunan suku bunga perbankan sehingga dapat mengakselerasi momentum pemulihan ekonomi nasional.
”Tingkat bunga riil Indonesia menjadi lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Namun, tingkat imbal hasil obligasi Indonesia relatif juga masih menarik,” ujarnya.
Potensi inflasi
Wisnu memprediksi BI sebagai otoritas moneter akan menjadi lebih berhati-hati menentukan langkah mereka berikutnya untuk memotong suku bunga lebih lanjut. Keputusan tersebut akan sangat bergantung pada tekanan inflasi.
”BI tidak akan ragu untuk membalikkan sikap moneternya jika inflasi naik secara tiba-tiba,” ujarnya.
Ekonom Institut Kajian Strategis (IKS) Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi melihat, skema pembagian beban (burden sharing) berpotensi menaikkan inflasi ke 5 persen-6 persen tahun ini atau menjadi inflasi tertinggi dalam lima tahun terakhir. Tanpa adanya skema tersebut, inflasi tahun ini ada di kisaran 2,7 persen-3 persen.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah dan BI menyepakati skema berbagi beban pembayaran bunga surat berharga negara (SBN). Dari total Rp 1.173,74 triliun surat utang negara (SUN) neto yang akan diterbitkan tahun ini, BI akan membeli secara langsung Rp 397,56 triliun sekaligus menanggung beban bunga yang sebesar suku bunga acuan.
”Sisi positifnya, skema burden sharing dapat memberikan sentimen positif kepada pelaku pasar obligasi bahwa Indonesia bisa memenuhi sebagian dari kebutuhan pembiayaan utang melalui penerbitan SBN,” ujarnya.
Namun, Perry menampik bahwa skema pembagian beban antara BI dan pemerintah akan mengerek inflasi tahun ini. Ia optimistis, inflasi di tahun ini masih akan tetap rendah, terkendali, dan berada dalam kisaran sasaran bank sentral yang sebesar 2 persen-4 persen.
”Kita harus paham, tekanan inflasi itu terutama bersumber dari permintaan dan ketersediaan pasokan. Ekonomi kita saat ini lemah, permintaan lemah, jadi tekanan inflasi akan masih rendah,” katanya.