Kepercayaan publik terhadap media arus utama dalam masa pandemi ini semakin meningkat dan kecenderungan baru perusahaan dalam mempromosikan produknya yang mengedepankan etika, sosial, dan moralitas.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·5 menit baca
Perdalamlah bisnis yang sudah ada atau bisnis yang kompetensinya kita miliki. Jangan hanya ikut-ikutan dan tidak punya kompetensi di bidang itu. (Michael D Ruslim, mantan Presiden Direktur PT Astra International, 1953-2010)
Di tengah pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan kehidupan manusia, termasuk dunia usaha, serta disrupsi digital yang membunuh ratusan media massa di dunia, sebuah surat kabar cetak terbit pada 4 Juli 2020. Harian DI’s Ways, dengan format compact, dicetak di atas kertas putih dan licin, diluncurkan di Surabaya, Jawa Timur. Harian, dengan penegasan ”Ini bukan koran”, itu dibidani oleh Dahlan Iskan.
Keberanian mantan Ketua Umum Serikat Penerbitan Pers–dahulu Serikat Penerbit Suratkabar–(SPS) itu untuk melahirkan sebuah harian, di tengah berbagai gelombang yang menerpa bisnis media, layak diapresiasi. Langkah ini bisa menumbuhkan harapan baru bagi pengelola media massa yang masih bertahan selama ini bahwa khususnya media cetak masih memiliki masa depan. Belum mati. Meski di ujung sandyakala, senja menjelang malam nan gelap, tetapi masih menjanjikan. Namun, sebagian orang menilai, Dahlan Iskan sedang memainkan kenekatan. Buang uang....
Dahlan Iskan memang tercatat mampu mengembangkan koran di negeri ini. Namun, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, pada diskusi Media Sustainability yang digelar Dewan Pers secara dalam jaringan (daring), Kamis (9/7/2020), mengatakan, belum bisa menggambarkan masa depan dari harian yang dipimpinnya itu. Apalagi, ia juga masih (kembali) belajar mengelola media. Tak tahu bagaimana ke depannya karena harian itu baru berusia kurang dari seminggu.
Diskusi yang dipandu anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, itu menampilkan pula praktisi bisnis dan periklanan, yang berkaitan dengan perusahaan media, yakni Karaniya Dharmasaputra, Djanoe Arijanto, dan Rubin Suardi. Dalam diskusi yang diikuti pimpinan dan praktisi media massa, terungkap fenomena baru dalam hubungan antara dunia usaha dan media massa: kepercayaan publik terhadap media arus utama dalam masa pandemi ini semakin meningkat dan kecenderungan baru perusahaan dalam mempromosikan produknya yang mengedepankan etika, sosial, dan moralitas.
Kepercayaan publik terhadap media arus utama dalam masa pandemi ini semakin meningkat dan kecenderungan baru perusahaan dalam mempromosikan produknya yang mengedepankan etika, sosial, dan moralitas.
Kecenderungan baru itulah yang menumbuhkan harapan bagi pengelola media arus utama. Apalagi, ada aksi nyata dari fenomena itu, seperti aksi boikot memasang iklan di media sosial, yang dinilai mendukung penyebaran ujaran kebencian, yang dilakukan lebih dari 400 perusahaan global.
Selain itu, makin banyak aktivis perencana media atau aktivis periklanan yang berani tak memasang iklan pada media atau mesin pencari yang dinilai tak menunjukkan tanggung jawab sosial, etika, dan moralitas. Pemasangan iklan sebuah produk atau perusahaan yang salah tempat pada media serta mesin pencari pada gilirannya akan merusak nama merek produk atau perusahaan itu.
Namun, sejalan dengan digitalisasi media arus utama dan pembaruan pengelolaan media, perhatian pada keselamatan merek itu semakin menguat. Keselamatan merek menjadi hal yang penting untuk masa depan perusahaan dalam meraih kepercayaan konsumen atau publik.
Sejalan dengan digitalisasi media arus utama dan pembaruan pengelolaan media, perhatian pada keselamatan merek itu semakin menguat. Keselamatan merek menjadi hal yang penting untuk masa depan perusahaan dalam meraih kepercayaan publik.
Nielsen Media Indonesia, Maret lalu, melaporkan, belanja iklan tahun 2019 di negeri ini bertumbuh sekitar 10 persen dibandingkan dengan 2018. Total belanja iklan tahun lalu baik di media televisi, radio, maupun media cetak mencapai Rp 168 triliun berdasarkan gross rate card, sesuai temuan Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel). Televisi mendominasi 85 persen dari porsi belanja iklan itu, lebih dari Rp 143 triliun, media cetak mencapai lebih dari Rp 22 triliun, dan radio mendapatkan Rp 1,7 triliun.
Sejak kuartal ketiga 2018, Nielsen juga mengukur belanja iklan digital di Indonesia, bagi Top 200 situs lokal dan 18 saluran Youtube. Total belanja iklan digital tahun 2019 itu mencapai Rp 13,3 triliun. Disandingkan dengan belanja iklan media lainnya, digital menyumbang 7 persen dari total belanja iklan, yang secara keseluruhan senilai Rp 181 triliun. Pada 2020, total belanja iklan di media akan mengalami kenaikan. Namun, pandemi Covid-19 membalikkan kondisinya.
Secara global, eMarketer pada Maret lalu memperkirakan belanja iklan di media tahun 2020 tumbuh sekitar 7,4 persen dibandingkan tahun lalu, yaitu sekitar 712 miliar dollar AS atau Rp 10.316,88 triliun (dengan kurs 1 dollar AS setara Rp 14.490).
Pandemi Covid-19 membuat pendapatan iklan di media, termasuk online, merosot dan diperkirakan tersisa 691,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10.022,73 triliun. Angka yang amat besar meskipun belanja iklan di media secara global diperkirakan lebih dari 70 persen diperoleh mesin pencari, khususnya Google dan media sosial, terutama Facebook dan Youtube.
Elizabeth Haas Ederssheim dalam buku yang membahas pemikiran perintis manajemen modern, Peter F Drucker, berjudul The Definitive Drucker (Bhuana Ilmu Populer, 2008), menyebutkan, selama beberapa dekade, informasi adalah kekuatan. Laju informasi yang makin meningkat telah mempercepat semua langkah dalam berbisnis. Jangkauan geografis dari perusahaan dan customer semakin meningkat sedemikian pesat pula.
Pergeseran kepercayaan masyarakat pada media arus utama dan perubahan sikap dasar sejumlah perusahaan global dalam memasang iklannya menumbuhkan keyakinan baru pada pengelola media arus utama seluruh dunia bahwa musim semi bagi media massa segera kembali. Media harus berbenah.
Apalagi, persoalan etika, moralitas, dan tanggung jawab sosial tidak bisa dialgoritmakan. Rasa, dalam pemahaman Jawa, yang bertumpu pada spiritualitas dan moral tidak bisa dititipkan pada bilangan biner dan digitalisasi.
Kompetensi, kredibilitas, pengalaman, dan idealisme, seperti diingatkan Michael D Ruslim, tetap menjadi kata kunci, tentu saja termasuk dalam bisnis media. Keunggulan itu diwujudkan dalam konten berkualitas, dapat dipertanggungjawabkan, beretika, menginspirasi dan mencerdaskan, tak hanya mengejar receh, dan menjadi alat kontrol sosial bagi kekuasaan.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas menyebutkan, pers nasional bukan sekadar kegiatan usaha, melainkan juga menjalankan fungsi sosial, antara lain menjadi perwujudan dari kedaulatan rakyat. Ada tanggung jawab dan kewajiban, selain hak.