Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan inovasi berupa alat bantu pernapasan dengan aliran oksigen tinggi. Inovasi itu bisa membantu mencegah kematian pada pasien Covid-19 yang gagal bernapas.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 sangat mematikan bagi penderita penyakit bawaan, khususnya yang menyerang sistem pernapasan. Untuk mencegah kematian, tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan alat terapi oksigen beraliran tinggi bagi pasien Covid-19 yang menderita gagal napas.
Mayoritas kasus fatal Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru terjadi karena pasien mempunyai riwayat penyakit lain. Istilah ini juga kerap dinamakan komorbiditas, yaitu adanya satu atau lebih kondisi tambahan yang terjadi bersamaan dengan infeksi Covid-19.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tingkat kematian Covid-19 di Indonesia cukup tinggi pada pasien yang juga menderita penyakit pernapasan. Bahkan, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) berada di lima besar penyebab kematian pasien Covid-19 setelah hipertensi, diabetes, jantung, dan ginjal.
Dari sejumlah kajian, virus SARS-CoV-2 bisa menyerang dan mematikan sel paru-paru manusia hingga menyebabkan peradangan. Saluran pernapasan pasien Covid-19 lalu menjadi buntu akibat terlalu banyak sel yang mati sehingga terjadi penumpukan cairan yang menghambat aliran oksigen ke paru-paru.
Salah satu pertolongan pertama untuk melancarkan pernapasan ini adalah dengan menggunakan alat terapi oksigen beraliran tinggi. Namun, alat bantu pernapasan itu belum ada yang diproduksi di dalam negeri sehingga para peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai melaksanakan riset dan mengembangkannya.
Alat yang lebih dikenal dengan istilah high flow nasal cannula (HFNC) ini menjadi alat bantu pernapasan beraliran tinggi pertama yang berhasil lolos uji dari Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan Kementerian Kesehatan pada pertengahan Mei lalu.
Secara umum, fungsi HFNC merupakan alat bantu pernapasan tahap awal bila pasien belum masuk ke fase kritis. Karena berfungsi sebagai pertolongan pertama, pasien juga dapat memasang, menggunakan, dan mengukur persentase oksigen yang masuk dari alat ini secara mandiri.
Ketua Kelompok Penelitian Otomasi Industri Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI Hendri Maja Saputra, pekan lalu, menjelaskan, alat ini diberi nama high flow karena memiliki aliran oksigen yang tinggi. Sementara nasal cannula merupakan alat dari plastik bertabung tipis yang digunakan sebagai penyalur oksigen langsung ke hidung melalui dua cabang kecil.
Adanya aliran oksigen yang tinggi menjadi keunggulan dari HFNC sehingga dapat mengurangi fraksi oksigen atau kadar campuran oksigen dengan udara. Dengan alat ini, aliran oksigen bisa diatur hingga 60 liter per menit (lpm) dan fraksi oksigen bisa dikurangi hingga mencapai 55 persen.
”Pada umumnya tanpa menggunakan alat ini atau penyaluran oksigen langsung dari tabung alirannya tidak akan melebihi 30 lpm. Fraksi oksigennya juga akan lebih besar dari 95 persen,” ujarnya.
Secara rinci, HFNC terdiri atas 11 komponen, yakni flow control (pengendali aliran oksigen), humidified heater (pemanas lembab), nasal cannula, humidified chamber (ruang lembab), breathing circuit (sirkuit pernapasan), penyaring HEPA, kompresor, tangki regulator, tabung, konektor, dan temperatur atau sensor kelembaban. Semua komponen tersebut dibuat dengan bahan baku yang berasal dari dalam negeri.
”Alat ini kami sediakan humidified heater sebagai pemanas untuk mengondisikan gas oksigennya agar sesuai dengan kebutuhan. Jadi setting alatnya sendiri itu tergantung dokter dan rumah sakit. Kami hanya menyediakan fitur kemampuan dari alatnya saja,” katanya.
Dokter spesialis anestesi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung Budiana Rismawan mengatakan, pada beberapa kasus, pasien yang mengalami gangguan pernapasan dibutuhkan intervensi medis. Hal ini dilakukan dengan cara menambah kadar oksigen yang dihirup melalui sistem arus rendah dan tinggi.
Menurut Budiana, HFNC diperlukan sebagai alat bantu dini sebelum penanganan lebih lanjut karena dapat membersihkan kadar karbon dioksida yang diekspirasi. Pasien baru mendapat penanganan intubasi, yakni memasukkan tabung endotrakeal melalui mulut atau hidung apabila kondisinya tidak membaik dan semakin parah.
”Karena udara yang dihasilkan alat ini cukup kencang, jadi bisa menyebabkan virus tersebar ke mana-mana sehingga tenaga kesehatan harus menggunakan alat pelindung diri dan sebaiknya dilakukan di ruangan isolasi,” tuturnya.
Karena udara yang dihasilkan alat ini kencang, jadi bisa menyebabkan virus tersebar sehingga tenaga kesehatan harus menggunakan alat pelindung diri dan sebaiknya dilakukan di ruangan isolasi.
Selain untuk penanganan pasien Covid-19, HFNC dapat digunakan untuk pasien yang didiagnosis menderita penyakit pernapasan lainnya seperti PPOK, restrictive thoracic diseases (RTD), obesity hypoventilation syndrome 5, deformitas dinding dada, penyakit neuromuskular, dan decompensated obstructive sleep apnea.
Kendala
Hendri menyampaikan, ia dan timnya mengembangkan HFNC selama dua bulan atau sejak Covid-19 mulai menyebar ke Indonesia pada Maret lalu. Meski jangka waktu riset tergolong cepat, Hendri mengaku menghadapi sejumlah kendala pada saat pengembangan alat ini.
Namun, pengembangan alat ini terkendala mobilitas yang terbatas karena pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSSB). Kondisi ini menyebabkan para peneliti susah mencari bahan-bahan karena banyak toko yang tutup.
”Bahan-bahannya ada casing jadi perlu mencetak dan memotong. Kemudian pipa dan selang untuk di dalam alat hingga keran regulator. Bahan itu tidak ada yang impor dan hanya memanfaatkan barang-barang yang kami punya,” ungkapnya.
Produksi
Setelah mendapatkan uji edar dari Kemenkes, LIPI menyerahkan HFNC sebagai bantuan kepada pihak RSHS Bandung dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soetomo, Surabaya. Selanjutnya, PT Gerlink Utama Mandiri sebagai mitra dari pihak swasta akan melakukan produksi massal dan penjualan.
Nantinya LIPI akan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) agar alat HFNC ini bisa masuk ke dalam katalog sehingga rumah sakit dapat melakukan pengadaan.
Direktur Utama RSHS Nina Susana Dewi mengatakan, sebagai rumah sakit rujukan penanganan pasien Covid-19 dan infeksi lainnya, RSHS sangat membutuhkan alat bantu pernapasan. Sebab, mayoritas pasien yang dirujuk ke RSHS sudah dalam kondisi berat dan kritis.
Menurut Nina, RSHS telah memiliki 10 ventilator invasif yang digunakan untuk pasien kritis dengan organ pernapasan tidak berfungsi normal. Namun, RSHS baru memiliki satu alat bantu pernapasan non-invasif seperti HFNC. Alat itu membantu para pasien yang kesulitan bernapas sebelum memasuki tahap kritis.