Memasuki musim kemarau, ancaman kebakaran hutan dan lahan di depan mata. Ancaman tragedi saat bangsa sedang berjuang melawan pandemi Covid-19 pun membayangi. Apakah sejumlah langkah antisipatif sudah cukup?
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·6 menit baca
Musim kemarau sudah tiba di sejumlah wilayah. Ancaman kebakaran hutan dan lahan kini kian nyata di depan mata. Tahun ini, risiko pada keselamatan jiwa manusia berlipat seiring pandemi Covid-19 yang belum berlalu. Berbagai upaya antisipasi telah dilakukan jauh-jauh hari. Kini saatnya memastikan pengawasan berjalan ketat di lapangan.
Pemerintah menyatakan komitmennya untuk memastikan upaya pencegahan ataupun pengendalian bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang selalu terjadi setiap tahun bisa tetap dilakukan seiring sejalan dengan penanggulangan Covid-19. Pencegahan ini penting dilakukan agar tidak terjadi lagi tragedi memilukan seperti tahun 2015 dan 2019 yang menyebabkan jutaan warga terpaksa menghirup udara sangat kotor dan aktivitas masyarakat terhenti akibat kabut asap.
Komitmen pengendalian tersebut disampaikan pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebagai koordinator penanganan karhutla seusai memimpin Rapat Khusus Tingkat Menteri untuk Antisipasi Karhutla Periode Puncak Tahun 2020, Kamis (2/7/2020). Mahfud menyatakan, pemerintah tidak abai dan serius untuk mencegah bencana karhutla di tengah fokus penanggulangan Covid-19.
Bentuk antisipasi yang dilakukan pemerintah dan lembaga terkait ialah membuat peta kerawanan karhutla berdasarkan waktu dan tempat. Kepolisian dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kemudian mulai menghadapi karhutla berdasarkan peta kerawanan tersebut.
Pemfokusan perhatian ini dilakukan untuk menyiasati keterbatasan personel dan anggaran serta langkah efisien. Ini mengingat kebakaran tiap tahun secara umum terjadi berulang pada lokasi itu-itu saja.
Presiden juga mengingatkan pentingnya kehadiran petugas di lapangan serta penegakan hukum.
Beberapa hari sebelum Menko Polhukam menyatakan komitmennya, di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan jajarannya untuk memanfaatkan teknologi guna memonitor dan mengawasi karhutla. Presiden juga mengingatkan pentingnya kehadiran petugas di lapangan serta penegakan hukum.
Penanganan karhutla dinyatakan tidak akan diabaikan meski saat ini Indonesia sedang berjibaku melawan virus SARS-CoV-2, virus korona jenis baru penyebab penyakit Covid-19. Penanganan karhutla merupakan bagian dari penanganan Covid-19. Ini karena karhutla bisa memicu penyakit pernapasan yang bisa menjadi faktor pemberat ketika seseorang terinfeksi virus korona jenis baru.
Di sisi lain, karhutla menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca utama di Indonesia. Dari penghitungan kadar karbon dioksida yang diambil di Observatorium Mauna Loa, Hawai, pada periode 1980-2019, Indonesia beberapa kali pernah melepaskan emisi gas karbon mencapai lebih dari 2 per juta bagian (ppm). Emisi gas karbon itu dihasilkan dari sejumlah kasus karhutla besar, yakni pada periode 1986-1987, 1993-1994, 1997-1998, 2001-2002, dan tertinggi 2014-2015 yang mencapai 3 ppm.
Saat ini, antisipasi perlu lebih dioptimalkan karena Juni hingga Oktober merupakan fase krisis terjadinya karhutla di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seluas 38.772 hektar lahan telah terbakar pada 2020. Karhutla terbesar terjadi di Riau dengan luas lahan terbakar mencapai 13.857 hektar.
Tugas pemerintah melalui kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pihak terkait lain untuk menangani karhutla di tengah Covid-19 jelas tidak mudah. Berbagai upaya dan langkah harus disiapkan dengan matang, tak terkecuali perihal anggaran. Sebab, penanganan karhutla dan Covid-19 membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Dari catatan BNPB yang disampaikan Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo, anggaran yang dikeluarkan untuk penanganan karhutla pada 2019 mencapai Rp 3,24 triliun. Anggaran tersebut belum mencakup operasi darat siaga darurat yang mencapai Rp 176 miliar.
Besarnya anggaran penanggulangan karhutla ini, antara lain, digunakan untuk sewa alat pemadam, seperti pesawat Be-200ES dari Rusia dan helikopter, serta pengadaan pendukung teknologi modifikasi cuaca (TMC). Anggaran tersebut sudah mencapai ratusan miliar rupiah.
Audit kepatuhan
Bambang Hero menilai, karhutla di sejumlah wilayah di Indonesia terus berulang karena sejumlah pihak hanya fokus pada penanggulangan. Sementara upaya pencegahan belum maksimal.
Salah satu upaya pencegahan, menurut dia, adalah melakukan audit kepatuhan pengendalian karhutla terhadap korporasi dan pihak pemerintah terkait. Audit ini telah dilakukan sejak 2014. Sayangnya, upaya pencegahan ini tidak banyak ditindaklanjuti.
Dari hasil audit pada 2014 di enam daerah di Riau yang dipimpin Bambang Hero, tercatat hanya satu pemerintah daerah yang dinyatakan patuh dalam mengendalikan karhutla, sedangkan mayoritas lainnya tergolong kurang patuh. Sementara pada 12 perusahaan kehutanan yang diaudit, sebagian besar tidak patuh. Bahkan terdapat satu perusahaan yang masuk kategori sangat tidak patuh.
Sejumlah penyebab ketidakpatuhan perusahaan ini di antaranya mereka tidak melakukan laporan aktivitas perkebunan atau kehutanannya secara komprehensif kepada pihak berwenang. Padahal, laporan rutin ini sangat penting untuk memetakan permasalahan dalam pencegahan karhutla. Laporan yang tidak disusun secara detail membuat deteksi dini mulai dari munculnya titik api tidak dapat dilakukan secara optimal.
Terdapat perusahaan yang memiliki sarana-prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tetapi terletak di luar konsesi.
Selain itu, mayoritas perusahaan juga belum memenuhi ketentuan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia untuk pencegahan karhutla. Di sisi lain, terdapat perusahaan yang memiliki sarana-prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tetapi terletak di luar konsesi karena belum dibangun pos atau tempat pemantauan di wilayah tersebut.
Kondisi ini cukup ironis mengingat prosedur standar operasi (SOP) sebagai upaya pencegahan karhutla dari Kementerian Koordinator Perekonomian ada sejak Desember 2016. Dalam SOP itu diatur pembagian kerja kesatuan pengelola hutan, izin usaha pemanfaatan, dan pusat krisis dalam lingkup peringatan, deteksi, ataupun pemadaman dini karhutla.
Dari sisi aturan perundang-undangan, perusahaan perkebunan atau kehutanan yang tidak patuh juga dapat diberikan sanksi administrasi. Dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa sanksi administrasi tersebut dapat berupa perampasan keuntungan, perbaikan lingkungan, penutupan, atau pencabutan izin perusahaannya.
Manfaatkan teknologi
Tenaga Ahli Menteri Bidang Manajemen Landscape Fire Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles Brotestes Panjaitan menjelaskan, penanganan karhutla dengan pendekatan manajemen lanskap baru dilaksanakan pada 2020. Pendekatan ini menekankan penanganan karhutla dengan teknologi seperti citra satelit dan dipadukan dengan kondisi sosial ekonomi budaya di wilayah karhutla.
Salah satu penggunaan citra satelit adalah untuk mendeteksi titik panas penyebab kebakaran. Interpretasi citra Landsat 8 OLI 5 yang ditumpang susun dengan titik panas/titik api dan data pemadaman juga digunakan untuk pengukuran luas kebakaran. Adapun upaya deteksi dini lain ialah membangun kamera pemantau termal (CCTV thermal camera) pada 15 lokasi rawan.
Selain itu, dilakukan juga analisis iklim untuk memantau cuaca di sejumlah wilayah rawan karhutla. Hasil analisis iklim tersebut menjadi dasar pelaksanaan TMC.
Pada masa pandemi, TMC dilakukan pada tiga periode di wilayah Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Penerapan TMC menghasilkan puluhan juta meter kubik air hujan dan meminimalkan jumlah titik panas penyebab kebakaran.
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Rokhis Khomarudin menuturkan, deteksi titik kebakaran menggunakan metode penginderaan jauh memiliki kelebihan dibandingkan pemantauan langsung. Metode ini lebih efektif karena memiliki cakupan luas. Satu foto satelit dapat menjangkau wilayah seluas 230 kilometer.
Dari aspek jumlah personel, pemanfaatan penginderaan jauh lebih efektif karena hanya membutuhkan satu hingga dua orang dibandingkan pengamatan langsung yang memerlukan banyak orang. Namun, pemantauan langsung memiliki akurasi yang lebih riil.
Kendati berbagai upaya pencegahan dengan memanfaatkan teknologi telah dilakukan, Raffles memandang karhutla akan terus terjadi setiap tahun. Sebab, masih ada celah dalam aturan perundang-undangan yang membuat masyarakat setempat diperbolehkan membuka lahan untuk pertanian tradisional. Aturan itu tertuang dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Pasal 69 akan dikaji (Kompas, 3 Juli 2020). Diharapkan kajian menghasilkan solusi agar rakyat tetap dapat membuka lahan tanpa merusak lingkungan.
Penguatan pencegahan karhutla dari aspek teknologi telah dilakukan. Sementara celah kebijakan yang berpotensi meningkatkan karhutla juga akan segera dikaji. Semua upaya tersebut dinilai sebagai bentuk komitmen pemerintah menanggulangi karhutla. Apakah sudah cukup?