Kehadiran teknologi informasi bukan hanya akan membangkit produktivitas. Apabila digunakan dengan tepat, warga dan komunitas dapat mengawasi dengan ketat perilaku negara dan kalangan bisnis dalam menjalankan usaha.
Oleh
NINUK M PAMBUDY
·3 menit baca
Sepekan terakhir, 100 perusahaan memutuskan menarik iklan mereka dari Facebook atau Instagram atau media sosial lain di pasar Amerika Serikat. Jumlahnya mungkin akan bertambah, tergantung respons Facebook Inc.
Keputusan pemasang iklan besar dan kecil tersebut adalah reaksi atas kampanye berhenti beriklan di Facebook pada Juli mendatang. Kampanye gencar dilakukan gabungan organisasi masyarakat, antara lain, National Association for the Advancement of Colored People, Anti-Defamation League, Color of Change, dan Free Press dengan slogan ”Stop Hate For Profit”.
Gerakan antidiskriminasi rasial dan kekerasan masyarakat sipil di AS mendapat momentum setelah kematian warga Minneapolis, AS, George Flyod, di tangan polisi. Respons pemilik merek tidak datang tiba-tiba. Beberapa pekan lalu, Facebook mendapat protes sebagian warga AS karena ketidaktegasan menangani pernyataan Presiden Donald Trump di media sosial, yang dianggap mengandung kekerasan dan membelah masyarakat. Salah satunya, ”looting (penjarahan) akan dapat berujung pada penembakan (shooting)” (oleh aparat keamanan). Pernyataan Trump muncul setelah masyarakat turun ke jalan memprotes kematian Floyd.
Menurut The New York Times (26/6/2020), pekan lalu Unilever menyatakan menghentikan iklan di Facebook, Instagram, dan Twitter di AS sampai akhir tahun. Alasan Unilever karena ujaran kebencian dan polarisasi di masyarakat selama periode pemilihan Presiden AS. Media sosial berperan besar dalam membelah masyarakat AS pada pilpres 2016. Merek yang menghentikan iklan di Facebook Inc, antara lain, adalah Honda, Birchbox, Lululemon, Levi Strauss, Verizon, Eddi Bauer, Patagonia, REI, The North Face, dan Starbucks. Facebook kehilangan 7,2 miliar dollar AS dan harga sahamnya jatuh 8,3 persen.
Reaksi produsen tersebut memperlihatkan dunia yang berubah. Komunitas dapat tumbuh menjadi penyeimbang bagi negara (pemerintah) dan pasar di dalam sistem kapitalisme. Kematian Floyd menyatukan masyarakat AS. Gerakan antidiskriminasi rasial bahkan muncul di sejumlah negara lain.
Reaksi produsen tersebut memperlihatkan dunia yang berubah.
CEO Facebook Mark Zuckerberg dalam pertemuan dengan karyawan, Jumat pekan lalu, mengumumkan sejumlah langkah menghapus konten iklan berisi kebencian dan mendorong keadilan rasial. Seperti diberitakan Marketwatch.com, Facebook akan menyembunyikan atau memblok konten berisi kebencian atau membahayakan suara pemilih dalam pemilu, termasuk yang diujarkan politisi. Twitter telah lebih dulu memutuskan memblok cuitan Trump dan politisi lain. Sebelumnya, Facebook sempat menyatakan tidak akan mengikuti langkah Twitter.
Selama ini, konsumen dianggap sebagai kelompok pasif. Konsumen dipandang tidak memiliki daya tawar cukup dalam menyuarakan kepentingan mereka menghadapi pasar dan negara.
Perlawanan terhadap Facebook dan Twitter memperlihatkan konsumen dapat sangat berkuasa. Kehadiran teknologi informasi bukan hanya akan membangkitkan produktivitas. Apabila digunakan dengan tepat, membuat warga dan komunitas dapat ketat mengawasi perilaku negara dan kalangan bisnis dalam menjalankan usaha yang tidak hanya berorientasi keuntungan.
Pandemi Covid-19 memberi pembelajaran, solidaritas, dan peduli sesama menjadi kunci keberlanjutan kehidupan. Bagi dunia bisnis, artinya usaha yang menghasilkan keuntungan, tetapi sekaligus memegang etika ikut bertanggung jawab terhadap keberlanjutan dan keadaban masyarakat.