Pandemi Covid-19 membuka berbagai keburukan. Berbagai perbaikan pun harus dilakukan oleh bangsa Indonesia agar pandemi menjadi sarana perubahan untuk menjadi lebih maju.
Oleh
Ahmad Arif, Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengungkap berbagai persoalan dan kelemahan manusia sebagai individu ataupun sebagai bangsa. Karena itu, pandemi harus menjadi momentum untuk jujur mengakui masalah-masalah itu, lalu berinvoasi dan berkolaborasi guna mencari jalan keluar.
Persoalan sosial, ekonomi, dan sains dari pandemi Covid-19, termasuk tuntutan perubahan, disampaikan para peraih anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas dalam diskusi daring Forum Kolaborasi Kompas, Senin (29/6/2020), di Jakarta. Kegiatan ini adalah bagian dari rangkaian peringatan HUT Ke-55 Kompas.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, yang terpilih sebagai Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2020 optimistis badai pandemi pasti berlalu. Namun, skala dampak dan korbannya tergantung dari upaya manusia. ”Dari aspek sejarah, pandemi Covid-19 menunjukkan, ketidaktahuan dan ketidaksiapan menghadapi wabah berulang. Maka, memori kolektif perlu dibangun,” ujarnya.
Sejarah harus ditulis dan alat pengingatnya dibuat, misalnya monumen. Ia mencontohkan, wabah pes di Jawa pada 1910 serta pandemi flu Spanyol 1918 yang menewaskan jutaan orang di Nusantara minim ditulis.
Cendekiawan Berdedikasi Kompas tahun 2020 yang lain, Tri Satya Putri Naipospos, yang juga Ketua II Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, mengingatkan, pandemi terjadi akibat kesalahan manusia dalam mengelola alam. Wabah terus mengancam di masa depan, terutama dengan ekstraksi alam masif sehingga menambah potensi kontak manusia dengan satwa liar.
Sekitar 60 persen penyakit menular bersifat zoonosis, melompat dari inang hewan ke manusia. Untuk virus SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19, menurut Tri Satya, kemungkinan besar inang awalnya kelelawar, tetapi hewan perantara sebelum mencapai manusia masih diperdebatkan.
Sebelum ini, virus korona pemicu SARS berinang di kelelawar, dengan perantara musang, lalu melompat ke manusia. Adapun virus korona penyebab MERS berasal dari kelelawar, dengan unta sebagai perantara. ”Ada 173 spesies kelelawar di Indonesia. Ada potensi wabah, tetapi pengetahuan kita terbatas,” katanya.
Maka, diperlukan studi ekstensif untuk memperbaiki pemahaman relasi manusia dengan kelelawar dan satwa lain.
Jujur mengoreksi
Yudi Latif, Cendekiwaan Berdedikasi Kompas tahun 2015, mengatakan, pandemi Covid-19 mendekonstruksi kelaziman normalitas yang selama ini keliru. Beberapa praktik keliru, tetapi seolah normal pada masa lalu, ialah layanan publik yang buruk, ketergantungan pada impor termasuk bahan pangan, hingga mengedepankan kepentingan diri dengan merusak tatanan kebersamaan.
”Jika wabah terjadi enam bulan lagi, kita mungkin menghadapi krisis pangan luar biasa. Kok bisa? Indonesia kaya bahan pangan, seharusnya tak mengalami krisis pangan,” ucapnya.
Menurut Yudi, bencana ini berwajah ganda: titik pemisah antara masa lalu yang kalah dan masa depan yang harus dimenangi. Untuk memperbaikinya, manusia perlu mengakui kekeliruan perilaku sebagai individu dan bangsa.
Herawati Supolo Sudoyo, Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2019, mengatakan, pandemi menjadi momentum bagi ilmu pengetahuan untuk memberi panduan serta solusi. Salah satu harapan solusi itu ialah penemuan vaksin sendiri. ”Saat ini, kita sudah mengalami kemajuan dan optimistis memenuhi target pembuatan vaksin setahun,” ujar Herawati, Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Lembaga Eijkman baru dilibatkan dalam pemeriksaan spesimen Covid-19 pertengahan Maret, tetapi, menurut Herawati, Eijkman telah mengurutkan genom 10 spesimen virus SARS-CoV-2 di Indonesia dan mendaftarkannya ke Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Lima urutan total genom SARS-CoV-2 didaftarkan Universitas Airlangga.
Umumnya vaksin dibuat 5-10 tahun. Bahkan, vaksin demam berdarah dengue memerlukan riset 30 tahun. Namun, pandemi ini memicu perubahan di dunia ilmu pengetahuan. Kegiatan yang dulu bertahap kini dilakukan simultan karena ada tuntutan membuat produk secepatnya.
Pandemi ini memicu perubahan di dunia ilmu pengetahuan.
Peraih anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2015, A Prasetyantoko, yang juga ekonom dan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta, mengatakan, pemerintah harus memetakan sektor-sektor yang bisa dikembangkan di masa normal baru. Menurut dia, pandemi Covid-19 menciptakan ketidakseimbangan dalam ekonomi sehingga sektor yang dibidik pun harus relevan dengan kondisi terkini agar pertumbuhan bisa didorong lebih tinggi.
Di sisi lain, dunia usaha harus bersiap mengubah proses bisnis dan model bisnis. Kebiasaan baru akan diterapkan permanen, seperti bekerja dari rumah, mematuhi protokol kesehatan, dan memperhatikan aspek lingkungan. Cara kerja baru itu membutuhkan investasi besar.
”Kondisi dunia kini ibarat komputer yang di-install ulang. Negara maju dan berkembang sama-sama memulai ekonomi dari awal. Indonesia berkesempatan menangkap momentum itu,” tutur Prasetyantoko.
Salah satu peserta diskusi, Kepala Ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, berpendapat, ada dua sektor strategis di Indonesia yang berpotensi dikembangkan pascapandemi, yaitu farmasi dan makanan. Keduanya memiliki potensi perdagangan yang besar, tetapi belum tergarap optimal.
Peserta diskusi lain, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja, mengatakan, pandemi memaksa perubahan berjalan cepat. Situasi pascapandemi diharapkan dapat meningkatan inklusivitas ekonomi, menumbuhkan potensi sektor baru, dan mendorong efisiensi birokrasi sehingga perekonomian RI bisa tumbuh lebih tinggi.
”Pertumbuhan ekonomi nasional berdampak pada pertumbuhan internal perusahaan. Selain mengubah bisnis dan proses bisnis, kami akan mulai mengubah bisnis dan proses organisasi,” ucapnya.