Sekarang sudah bukan zamannya mempertentangkan koran cetak dan media online. Keduanya justru saling melengkapi. Ini tidak berarti koran cetak lalu boleh berenak-enak diri.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Sekarang sudah bukan zamannya mempertentangkan koran cetak dan media online. Keduanya justru saling melengkapi. Ini tidak berarti koran cetak lalu boleh berenak-enak diri. Koran cetak pun harus berlomba. Dan koran cetak akan kalah jika ia berupaya mengimbangi kecepatan media online. Hanya dengan kembali kepada visi dan isilah, koran cetak akan tetap menjadi pesaing yang sulit diimbangi media online.
Visi dan isi adalah ibarat air yang harus ditimba terus-menerus. Hal inilah yang hendak digambarkan Sumur Jakob di Taman Yakopan, Omah Petroek, Karang Klethak, Pakem, Sleman. Sumur sedalam 17 meter ini berhadapan dengan patung Jakob Oetama, karya pematung Wilman Sanur. Terlihat Jakob Oetama memegang tali dan ember timba seakan menawarkan, ”menimbalah dari sumurku ini”.
Apakah visi dan isi yang harus selalu ditimba itu? Dengan padat, visi dan isi itu bisa dibaca dalam semboyan yang setiap hari tertera pada harian Kompas: Amanat Hati Nurani Rakyat.
Dengan semboyan itu, Kompas jelas harus selalu bersentuhan dengan rakyat pada lubuknya yang terdalam, yakni hati dan nuraninya, perasaan dan intuisinya. Hati nurani seseorang saja sulit diselami, apalagi hati nurani rakyat. Namun, siapa mau menyelaminya, dia akan menemukan daya dan inspirasi yang luar biasa kuat dan kayanya.
Hati nurani rakyat itu terus melawan walaupun suaranya tidak dipedulikan. Terus berjuang walaupun diterjang pelbagai kesulitan. Terus mencoba tulus di tengah segala ketidaktulusan. Terus berusaha menjadi terang di tengah segala kegelapan. Dan dengan segala keterbatasannya, dengan jatuh bangun, Kompas selalu berusaha mengamanatkan suara, perjuangan, ketulusan, dan terang dari hati nurani rakyat itu.
Hati nurani rakyat adalah hati yang sering dilukai, dipermainkan, bahkan dilindas kekuasaan, politik, dan ketidakadilan. Dengan tugas amanatnya, Kompas berusaha membuka luka itu, menunjukkan kepedihan dan kesakitannya. Ini tentu membuat penguasa atau politik yang membuka luka itu tidak suka. Tak heran, Kompas pun pernah dibredel mereka. Itulah pengalaman yang membuka mata, membuka hati rakyat yang terluka ternyata juga harus rela ikut menderita.
Memang hati nurani rakyat adalah roh yang tak mungkin dibunuh jika ia terus dihayati dan dihidupi. Karena selalu setia mengamanatkan hati nurani itu, Kompas mengalami kelimpahan hidup dari hati nurani yang tak mungkin dibatasi dalam kesulitan apa pun. Kiranya hati nurani itulah yang membuat Kompas bisa hidup dan bertahan sampai ulang tahunnya ke-55.
Dalam mengamanatkan hati nurani rakyat, Kompas tak memahami rakyat sebagai sesuatu yang abstrak. Pada kenyataannya, rakyat sering menjadi kelompok sosial yang tersisih dan terpinggirkan. Mereka adalah kelompok yang miskin dan papa. Dan di negeri ini, mereka menjadi bagian mayoritas dari masyarakat kita. Maka, amanat hati nurani rakyat pun dijabarkan menjadi ”membela yang papa, menegur yang kaya”.
Dengan semboyan ini dijatuhkanlah sebuah opsi, yakni membela dengan menyuarakan suara mereka yang papa. Opsi ini tidak berarti mengecualikan mereka yang mapan dan kaya. Maksudnya hanyalah mengingatkan, kita semua berada dalam satu kapal yang sama. Janganlah sampai kapal ini tenggelam karena mayoritas penumpangnya adalah mereka yang tidak bisa mempertahankan dan membela dirinya, sementara sekelompok kecil mereka yang kaya tak hirau terhadap nasib mereka yang papa.
Dengan semboyan ini dijatuhkanlah sebuah opsi, yakni membela dengan menyuarakan suara mereka yang papa.
Maka, opsi itu mau menegaskan, jika kapal kita tidak ingin tenggelam, kita harus selamat bersama-sama, tidak sendiri-sendiri, yang miskin ataupun yang kaya.
Rakyat kecil
Selama sejarahnya, tak bosan Kompas menuliskan pembelaan terhadap mereka yang papa. Kasus Sum Kuning, Sengkon dan Karta, Marsinah, Pak De, Sarijo, Nenek Minah, dan masih banyak lainnya dikupas dengan dalam untuk menunjukkan betapa malang dan tak berdaya rakyat kecil yang miskin dan papa. Kisah-kisah mereka sebenarnya sudah merupakan tamparan keras buat mereka yang kaya, berkuasa, dan sewenang-wenang. Itulah wujud konkret amanat ”membela yang papa, menegur yang kaya” di bidang hukum.
Di bidang ekonomi, opsi itu diwujudkan pada pemberitaan yang bersangkut paut dengan keadilan sosial. Maka, pembelaan terhadap yang papa bukan sekadar romantisisme tentang orang miskin, melainkan suatu perjuangan keras untuk ikut menegakkan keadilan sosial. Dengan pelbagai contoh dan analisis, ditunjukkan, betapa masyarakat terancam bahaya apabila ketimpangan-ketimpangan sosial dibiarkan merebak. Dalam hal ini, Kompas jelas sangat keras dan terang-terangan menegur segelintir mereka yang kaya.
Sebab, tegurannya tidak lagi hanya dengan kata, tetapi dengan data dan kehidupan mereka yang menderita. Di bidang kemanusiaan, banyak sekali berita tentang kehidupan wong cilik. Terlihat, humanisme justru sangat hidup pada kaum jelata ini. Mereka betul-betul berusaha tetap hidup sebagai manusia kendati kemiskinan dan keterbatasannya. Ajaiblah daya hidup mereka, seakan ada kekuatan transendental menghuni dalam diri mereka.
Tak heranlah jika ada pepatah, apabila kamu mencari Tuhan, temukanlah Dia dalam diri mereka yang miskin dan menderita. Kalau memang Dia ada di sana, pantaslah bahwa yang papa harus dibela dengan menegur yang kaya.
Mereka yang jelata bisa hidup dengan apa adanya. Jika diangkat menjadi amanat hati nurani rakyat, keapaadaan itu sebenarnya juga sudah merupakan teguran terhadap mereka yang kaya.
Kaum kaya sering hidup tidak pada pokoknya, tapi pada aksesorinya, embel-embelnya. Dengan kemewahan hartanya, mobil, rumah, dan sebagainya, mereka seakan bisa lebih menjadi manusia. Padahal, seperti dibuka Covid-19 ini, aksesori itu tidaklah benar, bahkan sia-sia.
Kaum kaya sering hidup tidak pada pokoknya, tapi pada aksesorinya, embel-embelnya.
Pandemi ini menguliti manusia dari segala bungkusnya, dan mengembalikan pada keapaadaannya. Akhirnya, manusia adalah manusia, kalau ia mau berbagi dan solider kepada sesamanya, lebih-lebih yang menderita. Sesungguhnya, itulah harapan kaum papa, jauh sebelum Covid-19 tiba.
Harapan sering padam pada diri mereka yang mapan. Sementara harapan adalah harta yang dimiliki kaum papa. Maka jika kita ingin melihat impian ke masa depan, kita tidak bisa meninggalkan kaum papa. Di mata harapan mereka, kemapanan yang sekarang adalah keliru. Mereka mengharap datangnya masa depan yang lebih baik, lebih adil, merata dan sejahtera.
Selama 55 tahun lamanya, Kompas menimba harapan mereka. Di Karang Klethak, desa yang sunyi itu, Sumur Jakob mengingatkan bahwa harapan itu adalah sumur yang harus terus-menerus ditimba jika Kompas ingin hidup dari amanat hati nurani rakyatnya.