Mendagri Dorong Peserta Pilkada Angkat Isu Penanganan Covid-19
Penanganan pandemi Covid-19 dapat menjadi salah satu isu strategis yang patut diangkat dalam kampanye calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Terlebih lagi, dampak pandemi dapat dirasakan di setiap lini.

Ilustrasi. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Kamis (18/6/2020). Tito memberikan arahan terkait Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong bakal calon peserta Pilkada 2020 agar mengangkat isu penanganan pandemi Covid-19. Isu tersebut akan menguji sejauh mana para kontestan mampu melakukan terobosan dan inovasi dalam menangani pandemi di daerahnya.
Tito, melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Jumat (19/6/2020), menyampaikan, pada pilkada kali ini, calon petahana atau nonpetahana dapat saling adu gagasan soal isu penanganan Covid-19 beserta pemulihan dampak ekonomi di daerahnya. Isu tersebut, menurut dia, lebih strategis mengingat Pilkada 2020 digelar pada masa pandemi.
”Isu-isu mengenai Covid-19 dan efektivitas dari para kontestan, baik petahana maupun nonpetahana, akan menjadi pertaruhan yang baik,” ujar Tito saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Kamis (18/6/2020).
Kabupaten Belu termasuk satu dari sembilan kabupaten di NTT yang akan melaksanakan Pilkada 2020. Pada 9 Desember nanti, pilkada digelar di 270 daerah di seluruh Indonesia.
Isu penanganan Covid-19 akan menunjukkan kemampuan kepemimpinan calon kepala daerah dalam menghadapi situasi krisis pada masa pandemi. Ini lebih baik dibandingkan dengan mengangkat isu-isu primordial dan keagamaan.
Tito menyampaikan, isu penanganan Covid-19 akan menunjukkan kemampuan kepemimpinan calon kepala daerah dalam menghadapi situasi krisis pada masa pandemi. Ini lebih baik, katanya, dibandingkan dengan mengangkat isu-isu primordial dan keagamaan.
”Kita bisa menekan isu-isu primordial, seperti masalah suku, kekeluargaan, dan kekerabatan, termasuk masalah keagamaan yang kadang-kadang muncul saat kontestasi pilkada. Kita kecilkan itu. Kita angkat isu yang lebih penting, yaitu masalah kesehatan dan ekonomi,” tutur Tito.

Warga mengenakan masker saat berjualan di Pasar Jodog, Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta, Selasa (16/6/2020). Meski kesadaran warga untuk mengenakan masker relatif meningkat, praktik pembatasan jarak masih belum banyak diterapkan di sejumlah pasar tradisional. Penerapan protokol kesehatan di tempat publik penting dilakukan untuk mengurangi risiko meluasnya pandemi Covid-19.
Adu gagasan soal penanganan pandemi Covid-19, ujar Tito, tak lantas akan menguntungkan petahana. Sebaliknya, isu tersebut dapat menguji sejauh mana para kontestan kepala daerah mampu melakukan terobosan dan inovasi dalam menangani pandemi.
”Jadi, petahana belum tentu akan diuntungkan. Ini bisa jadi justru akan menjadi amunisi bagi kontestan lawan untuk menaikkan isunya,” ucapnya.
Petahana belum tentu akan diuntungkan (dengan isu penanganan pandemi Covid-19 saat kampanye). Ini bisa jadi justru akan menjadi amunisi bagi kontestan lawan untuk menaikkan isunya.
Mendagri melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Belu bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk meninjau Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain. Setelah itu, mereka melakukan pertemuan dengan Uskup Atambua Mgr Dominikus Saku.
Baca juga: Pilkada, Realisasi Janji dan Covid-19
Protokol kesehatan
Sementara itu, hingga lima hari sebelum verifikasi faktual calon perseorangan dalam pilkada lanjutan, peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur soal penerapan protokol kesehatan Covid-19 belum dapat dibahas antara KPU dan DPR. Di tengah kebutuhan aturan yang mendesak itu, KPU berupaya mencari terobosan dengan menyiapkan surat edaran yang isinya mencakup soal protokol kesehatan dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi.
Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, surat edaran (SE) itu selambat-lambatnya akan diterbitkan KPU, Jumat ini. Harapannya, SE itu dapat menjadi pedoman bagi penyelenggara pilkada di lapangan dalam melaksanakan tahapan verifikasi faktual dengan menggunakan protokol kesehatan. Sebab, saat ini PKPU tentang Pilkada di Tengah Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 belum bisa dikonsultasikan dengan DPR.
”KPU sedang menyiapkan jalan keluar yang lebih mudah agar persoalan ini tidak bertambah rumit. KPU akan mengesahkan protokol kesehatan tersebut dalam bentuk surat edaran (SE) sembari menunggu proses pengundangan PKPU tersebut. Jadi, jajaran KPU di daerah sudah bisa memedomani SE tersebut untuk melaksanakan tahapan verifikasi faktual dengan menggunakan protokol kesehatan. Sementara itu, jika nanti dari proses konsultasi ataupun harmonisasi ada perubahan-perubahan atas draf PKPU, maka SE bisa kami revisi,” kata Pramono.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pramono Ubaid Tanthowi
Awalnya, DPR menjadwalkan untuk melakukan rapat konsultasi dengan KPU pada Selasa atau Rabu pekan ini. Namun, pimpinan DPR belum mengeluarkan izin rapat konsultasi tersebut sehingga rapat baru bisa dilakukan Senin pekan depan, 22 Juni. Padahal, pada 24 Juni sudah berlangsung tahapan verifikasi faktual calon perseorangan yang mengharuskan penyelenggara pilkada turun ke lapangan. Tanpa adanya PKPU atau peraturan teknis yang menjadi pedoman protokol kesehatan dalam pelaksanaannya, tahapan itu berpotensi terganggu atau tidak bisa berjalan sesuai dengan protokol kesehatan. Sementara syarat utama pilkada di tengah pandemi harus dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Menurut Pramono, draf PKPU ini pada pokoknya mengatur protokol kesehatan di setiap tahapan pilkada lanjutan. PKPU pun sangat penting bagi seluruh jajaran KPU agar mereka punya landasan hukum saat melaksanakan tahapan-tahapan sesuai dengan protokol kesehatan.
”Yang paling dekat adalah verifikasi faktual dukungan paslon perseorangan di tingkat desa/kelurahan. Jadwalnya dimulai 24 Juni. Itu tinggal enam hari lagi. Agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka sebelum 24 Juni draf PKPU tersebut harus sudah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya, Kamis.
Untuk sampai pada proses pengundangan, draf PKPU tersebut masih harus melalui dua proses lagi, yakni konsultasi dengan pemerintah dan DPR, yang dijadwalkan pada 22 Juni, serta harmonisasi dengan Kemenkumham. Melihat situasi saat ini, kondisinya agak mengkhawatirkan karena waktunya sangat mendesak.
Hari ini SE tersebut sedang diberikan paraf oleh semua komisioner. Setelah itu ditandatangani Pak Ketua KPU (Arief Budiman). Selambat-lambatnya hari ini (Jumat) sudah bisa diedarkan. SE itu diharapkan mencukupi karena isinya adalah draf PKPU itu, tetapi kami bungkus dengan SE. (Pramono Ubaid Thantowi)
Upaya KPU menerbitkan SE tentang Pilkada di Tengah Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 tersebut diharapkan dapat mengatasi kekosongan pedoman teknis di lapangan tersebut. ”Hari ini SE tersebut sedang diberikan paraf oleh semua komisioner. Setelah itu ditandatangani Pak Ketua KPU (Arief Budiman). Selambat-lambatnya hari ini (Jumat) sudah bisa diedarkan. SE itu diharapkan mencukupi karena isinya adalah draf PKPU itu, tetapi kami bungkus dengan SE,” kata Pramono.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Network for Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, posisi KPU saat ini seolah-olah tersandera karena mereka harus menjalankan suatu keputusan politik untuk melaksanakan pilkada lanjutan, Desember 2020.
”KPU sudah menyatakan sanggup menjalankan putusan politik itu sehingga harus menerima segala konsekuensinya mulai soal aturan yang lambat, anggaran yang tersendat, sosialisasi yang belum masif dan efektivitas kerja penyelenggara, hingga kesiapan protokol Covid-19 itu sendiri yang masih gagap dan belum optimal,” tutur Ferry.
Proses pilkada itu bukan semata-mata bisa menyelenggarakan, melainkan juga butuh aturan yang pasti, tegas, dan terukur.
Ferry mengingatkan, proses pilkada itu bukan semata-mata bisa menyelenggarakan, melainkan juga butuh aturan yang pasti, tegas, dan terukur. Selain soal pembahasan dan diputuskan secara politik, proses pilkada juga membutuhkan sosialisasi yang masif kepada seluruh penyelenggara dan peserta pilkada.
”Yang kami khawatirkan ialah kesiapan penyelenggara sehingga mereka menjadi gagap dan abai dengan protokol kesehatan,” katanya.
Baca juga: Akurasi Data Pemilih Pilkada Tak Bisa Ditawar
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menyampaikan, Senin (22/6/2020) mendatang DPR akan membahas PKPU tetang protokol kesehatan dengan penyelenggara pemilu. Dia berharap pembahasan bisa selesai dengan cepat sehingga proses verifikasi dukungan calon perseorangan tidak terhambat.

Anggota DPR, Saan Mustofa
”Yang paling utama, jangan proses ini membahayakan bagi pemilih dan penyelenggara pemilu di daerah,” ucap Saan.
Terkait kepastian tambahan anggaran, kata Saan, Komisi II DPR akan terus mengawasi proses pencairan usulan tambahan anggaran yang telah disepakati. Pada tahap pertama, anggaran yang dicairkan mencapai Rp 1,02 triliun dari Rp 4,7 triliun.
”Tentu kami akan awasi terus agar proses pencairan dana bisa cepat dilakukan. Kemudian, DPR juga sudah minta kepastian dan jaminan melalui Mendagri bahwa pemerintah pusat dengan berbagai cara bisa memenuhi permohonan KPU terkait anggaran,” ujar Saan.
Saan juga mengatakan bahwa pada rapat kerja nanti Komisi II DPR juga akan menanyakan kepada Mendagri terkait kepastian sisa usulan tambahan anggaran pengetatan protokol Covid-19. ”Harus selalu kita pastikan selain tahapan ini berjalan, anggaran juga dapat dipastikan sehingga kerja KPU tidak terganggu,” katanya.