Menembus Hutan, Mengendus Jejak Konflik Satwa
Untuk memperoleh fakta lapangan tentang konflik satwa dan manusia, wartawan ”Kompas”, Irma Tambunan, menembus hutan di kawasan Bukit Tigapuluh, Jambi. Apa saja yang ia alami di sana?
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2F2019%2F05%2Fb0%2Ff53%2FAND_0737JPG%2FAND_0737SILO.jpg)
Tanaman sawit menyebar di kawasan hutan yang dialokasikan sebagai wildlife conservation area gajah sumatera yang menjadi penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, Jambi. Kondisi rawan memicu konflik satwa dan manusia. Gambar diambil Jumat (10/5/2019).
Demi menyelesaikan tugas peliputan tentang konflik satwa dan manusia, jurnalis harian Kompas, Irma Tambunan, bertekad masuk hutan, menembus habitat satwa di Ekosistem Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo, Jambi.
Ia melintasi semak belukar, hutan bekas terbakar, dan belantara raya sambil deg-degan menghadapi kemungkinan terjadinya hal tak terduga. Prinsipnya, jurnalis harus siap menghadapi segala situasi.
Pada Februari lalu, harian Kompas menerbitkan laporan tematik tentang konflik manusia dan satwa. Laporan pertama berjudul ”Konflik Tiada Akhir Manusia dan Satwa” terbit pada 17 Februari 2020. Berlanjut dengan beragam laporan terkait yang secara keseluruhan memberi gambaran situasi konflik.
Baca juga: Konflik Tiada Akhir Manusia dan Satwa
Untuk mendapatkan fakta lapangan, saya bertolak menuju Kabupaten Tebo di Provinsi Jambi. Tujuannya, melihat kondisi habitat satwa yang tersisa dan ancaman konfliknya.
Di atas kertas, luas hutan Jambi masih lebih dari 2 juta hektar tetapi lebih dari setengahnya telah berganti kebun dan permukiman. Mengantisipasi ancaman kepunahan satwa, pemerintah mengalokasikan 54.000 hektar di ekosistem Bukit Tigapuluh, Tebo, sebagai jalur jelajah satwa atau disebut juga kawasan ekosistem esensial (KEE). Kondisi KEE inilah yang ingin saya lihat.
Tibalah saya di Tebo setelah empat jam perjalanan dari Kota Jambi. Dua kawan telah menunggu, Maskun dan Agus, pegiat konservasi satwa liar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20160212ITAc_1592021767.jpg)
Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) tewas di perkebunan karet masyarakat di Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Jumat (12/2/2016). Konflik antara satwa dan manusia di wilayah itu diduga sengaja dimanfaatkan pemburu liar untuk membunuh gajah dan mencuri gadingnya.
Bersama-sama kami meluncur ke Bukit Tigapuluh. Selama dalam perjalanan, Maskun dan Agus menceritakan pengalamannya yang menuai keprihatinan saya. Salah satunya soal tantangan menghadapi pendatang yang masif merambah hutan.
Para pendatang umumnya tidak mengetahui keberadaan satwa-satwa dilindungi di wilayah itu. Mereka hanya tahu, saat kebunnya rusak terinjak kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), mereka akan marah. Gajah diusir dengan raungan suara kentongan dan mercon.
Baca juga: Jalan Berliku Penyelamatan Habitat
Tidak jarang ada yang sengaja meletakkan racun di sekitar kebun. Tentu saja, gajah yang meminumnya akan mati. Konflik ini kerap dimanfaatkan pemburu liar untuk mendapatkan gading gajah.
Menurut Maskun, yang 10 tahun bergiat dalam konservasi, populasi gajah di wilayah itu semula masih sekitar 140 gajah. Mereka menjelajah dalam satu kelompok besar. Ketika semakin banyak hutan dibuka, kawanan pun tercerai-berai.
Baca juga: Berjibaku Cegah Konflik Satwa dan Manusia
Maskun dan Agus akan membawa saya melihat langsung realitanya. Akhirnya, setelah dua jam berkendara, kami tiba di sebuah hutan restorasi yang menjadi bakal KEE. Saat itu hari sudah makin siang. Perut terasa keroncongan tetapi tentu saja tidak ada warung makan di tengah hutan.
Kami lalu mampir ke salah satu kamp patroli hutan. Petugas yang kebetulan tengah mengolah masakan langsung menawari. Menurut petugas tersebut, setiap tamu yang singgah pasti ditawari makan. Mereka selalu siap dengan pasokan logistik untuk situasi tinggal di tengah hutan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20180926ITAb_1592021662.jpg)
Tiga gajah jinak dari Pusat Pelatihan Gajah Minas, Riau, didatangkan ke wilayah Muara Tabir, Kabupaten Tebo, Jambi, untuk menggiring gajah-gajah liar menuju habitat baru dalam proses translokasi gajah, Rabu (26/9/2018). Translokasi itu menjadi bagian penyelamatan gajah tersisa dari ancaman konflik dan kepunahan.
Selagi kami makan, petugas itu menceritakan tantangan menjaga hutan. Beberapa titik telah dirambah secara liar dan sulit diatasi. Penggarap lahan biasanya lebih ngotot dalam mempertahankan lahan yang diduduki. Mereka tak segan bersikap anarkistis kepada petugas.
Tak lama sesudahnya kami pamit melanjutkan perjalanan. Salah seorang petugas lainnya menawarkan diri bergabung. Jadilah kami berempat berboncengan dengan dua motor trail.
Baca juga: Alih Fungsi di Jambi Kian Tekan Kawasan Ekosistem Esensial
Kendaraan gardan ganda yang membawa saya sejak dari Kota Jambi dititipkan di kamp itu. Menurut mereka, medan tempuh di depan nanti tak memungkinkan dilalui roda empat. Kami bakal melewati sejumlah sungai tak berjembatan. Jalur lainnya berupa semak belukar.
Secara umum kondisi calon KEE masih terbilang baik. Vegetasinya cukup beragam. Di sepanjang jalur, kami temui bekas kotoran gajah bertebaran. Mulai dari yang berukuran sebesar bola tenis hingga setengah bola kaki. Itu pertanda bagus karena menandakan keberadaan gajah.
Baca juga: Jejak Terakhir Para Penjaga Rimba
Namun, ada pula jalur yang telah berisi kebun sawit. Ada lagi areal bekas tebangan liar dan bakaran. Pembukaan lahan itu perlu segera diatasi. Jika tidak akan membawa masalah baru, menciptakan konflik ruang bagi gajah versus manusia.
Sekitar 30 menit berkendara, kami tiba di tepi sebuah sungai. ”Motor kita stop di sini saja. Kita lanjut berjalan kaki,” ajak Maskun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20190509ITA02-1_1592055822.jpg)
Petugas konservasi satwa mengumpulkan sampel organ tubuh gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang tewas di wilayah Sumay, Kabupaten Tebo, Kamis (9/5/2019).
Kami pun menyeberangi sungai kecil yang airnya meninggi karena hujan. Hampir semeter dalamnya. Sepatu dan celana pun basah. Namun, kami cukup aman karena arus sungai tenang. Airnya pun jernih.
Setibanya di seberang, kembali tampak kotoran-kotoran gajah. Agus mengeluarkan sebuah alat mirip antena dari dalam tasnya. Alat itu akan mendeteksi pergerakan gajah. Sinyalnya ditangkap dari GPS Collar yang mengalungi leher salah satu induk gajah liar. Kalung itu mengirimkan sinyal secara berkala.
Baca juga: Menembus Jantung Pertempuran Paramedis Versus Covid-19
Saat antena diangkat tinggi-tinggi, suara sinyal mulai terdengar. Semula pelan. Makin lama makin kuat dari satu arah. Memastikan pergerakan gajah telah terdeteksi, alat dimasukkan kembali.
Kami kemudian bergerak mengikuti asal sinyal. Maskun mengingatkan agar kehadiran kami jangan sampai terendus kawanan gajah. Spesies itu dikenal memiliki penciuman dan pendengaran tajam. Mereka bakal segera menjauh. Kami pun berjalan mengendap-endap.
Baca juga: Dokter Cantik Obatnya
Suatu ketika, Maskun yakin keberadaan gajah semakin dekat. Kawanan itu diperkirakan berada di sekitar sungai. Ingin sekali saya mendekat untuk mendapatkan momen itu. Namun, pohon dan belukar menghalangi. Belum lagi kami harus mempertimbangkan faktor keselamatan.
Agar tetap aman memperoleh visual gajah, kami pun mencari jalan lain. Merambat naik ke bukit yang berdiri persis di atas sungai. Dari situlah pandangan akan tampak lebih jelas.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20200219ITA04_1592020902.jpg)
Kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Jumat (14/2/2020). Kawanan gajah kian terdesak oleh berbagai aktivitas manusia di dalam hutan.
Bukit itu sebenarnya cukup landai. Namun, pendakiannya dirintangi tumbangan pohon yang saling melintang. Jika salah melangkah, kaki akan terpeleset dan terjerembab ke dalam celah.
Setibanya di punggung bukit, pandangan terbentang luas. Namun sayangnya, langit meredup karena sore itu mendung. Gerimis pun perlahan turun. Saya mulai khawatir. Bagaimana jika gagal mendapatkan visual yang ditunggu-tunggu.
Baca juga: Liputan Perang Irak (3): ”Wisata Kuliner” di Tengah Kecamuk Perang
Tak berapa lama hujan makin deras. Saya terpaksa memasukkan kamera ke dalam tas. Harus disadari kerja jurnalis memerlukan kesabaran. Ada kalanya kita beruntung mendapatkan momen berharga. Namun, tak selalu keberuntungan itu kita miliki.
Hampir sejam lamanya kami bertahan di punggung bukit. Seluruh pakaian basah kuyup. Saat hujan mulai mereda, kami masih bertahan hingga Maskun kembali memberi isyarat.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F0dd6bf23-ddb9-47d1-a093-afc5924566f9_jpg.jpg)
Kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Jumat (14/2/2020). Upaya konservasi mendesak dilakukan demi menghindari kepunahan satwa dilindungi tersebut.
Tampak dari kejauhan, kawanan gajah melintas dalam iring-iringan. Jumlahnya sekitar 20 ekor. Sebagian besar merupakan gajah betina. Tampak pula beberapa bayi gajah berjalan di samping induknya.
Tubuh mereka yang masih kecil itu terlihat menggemaskan. Betina lainnya menjaga para bayi dari belakang. Langkah mereka tenang menyiratkan kondisi aman.
Baca juga: Kenangan Kerusuhan Mei 1998 di Solo, Kenangan yang Ingin Kulupakan
Saya meresapi momen syahdu itu di tengah sisa gerimis, sekaligus merasakan satu ironi. Di tengah memanasnya konflik dan ancaman perburuan liar, tak ada yang dapat menjamin keberlangsungan masa depan spesies tersebut. Sebab ancaman telah mengepung dimana-mana.
Gajah sumatera berstatus kritis (critically endangered) dalam 10 tahun terakhir. Kepunahan gajah bahkan sudah mulai terjadi. Setidaknya di 13 kantong dari total 56 kantong habitat gajah di Sumatera dan Kalimantan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2FGajah-Sumatera_87552708_1582473924.jpg)
Kawanan gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Jumat (14/2/2020).
Selangkah lagi tanpa upaya cepat, mereka akan benar-benar punah di alam (extinct in the wild). Saya tak mampu membayangkannya.
Tersadar sesaat kemudian, saya lekas mengeluarkan kamera. Sedapat mungkin mengabadikan perjalanan kawanan tersebut. Bagaimanapun ini kesempatan emas. Jangan sampai dilewatkan.
Baca juga: Rahasia Menemukan Orang-orang Istimewa
Kesempatan merekam momen pada sore itu berlangsung sekejap. Iring-iringan gajah akhirnya memudar bersamaan langit yang meredup. Tak ada pilihan selain bergegas turun bukit. Petualangan masih akan berlanjut esok hari. Namun, pengalaman hari itu sungguh tak terlupakan.