Rencana pemerintah untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar dan melaksanakan tatanan normal baru di masyarakat dinilai terlalu dini. Jika tidak hati-hati, kebijakan itu bisa memicu gelombang kedua pandemi.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas keamanan memindai suhu tubuh pengunjung di Summarecon Mal Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (28/5/2020). Summarecon Mal Bekasi yang masuk dalam zona hijau telah menjalankan aktivitas dalam kerangka normal baru (new normal) dengan mematuhi protokol kesehatan, seperti mengenakan masker dan menjaga jarak fisik. Pengelola mal juga membatasi jumlah pengunjung.
Rencana pemerintah untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar dan melaksanakan tatanan normal baru di masyarakat dinilai terlalu dini. Berbagai persyaratan dasar belum terpenuhi, terutama terkait minimnya kesadaran dan kedisiplinan warga mencegah penularan Covid-19.
Pakar epidemiologi sekaligus anggota Pengurus Pusat Bidang Politik dan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Syahrizal Syarif, menuturkan, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus didasari dengan penurunan kasus harian yang signifikan. Sementara jumlah penambahan kasus di Indonesia saat ini masih fluktuatif.
”Pelonggaran pada pembatasan sosial dan masuk pada new normal (normal baru) adalah keputusan yang terlalu dini dan prematur untuk Indonesia. Jika dipaksakan, justru bisa menimbulkan keguguran dengan korban yang jauh lebih besar,” tuturnya, Kamis (28/5/2020), di Jakarta.
Pelonggaran pada pembatasan sosial dan masuk pada new normal (normal baru) adalah keputusan yang terlalu dini dan prematur untuk Indonesia.
Syahrizal mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan enam syarat yang harus dipenuhi sebelum suatu wilayah melaksanakan tatanan normal baru. Syarat itu meliputi, antara lain, terbukti mampu mengendalikan transmisi Covid-19, bisa menekan risiko penularan penyakit, serta tersedia kapasitas layanan kesehatan yang mencukupi untuk mendeteksi, menguji, melacak, dan mengisolasi kasus.
Sementara sebagian besar syarat yang ditentukan tersebut dinilai belum dapat dipenuhi. Penambahan kasus terkonfirmasi positif di Indonesia masih cukup tinggi. Rata-rata penambahan kasus pada minggu lalu tercatat sebanyak 535 kasus dan bertambah menjadi 677 kasus pada minggu ini.
Ketidaksiapan ini juga terlihat dari kapasitas rumah sakit, ventilator, alat pelindung diri, sumber daya manusia, serta kemampuan laboratorium untuk mendeteksi spesimen. Selain itu, strategi komunikasi pemerintah yang bersifat monolog membuat penyebaran informasi pencegahan penyakit jadi tak optimal.
Keamanan publik
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin yang juga Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi), Ridwan Amiruddin, berpendapat, pemerintah sebaiknya tak gegabah menentukan intervensi lanjutan dalam penanganan Covid-19. Sebelum melakukan intervensi di sektor ekonomi, pemerintah harus memastikan keamanan publik sudah terjamin.
”Kondisi sekarang ini justru seperti melompat ke tahapan berikutnya. Di saat keamanan publik belum terjamin, pemerintah sudah memutuskan untuk mengintervensi sektor ekonomi. Pemberdayaan masyarakat juga belum berjalan optimal, bahkan masih lemah,” tuturnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas gabungan dari polisi, TNI, satpol PP, dan dinas perhubungan memeriksa KTP pengendara sepeda motor saat menggelar operasi penyekatan pembatasan sosial berskala besar di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta, Selasa (26/5/2020). Penyekatan itu bertujuan menyaring arus balik pemudik ke Jakarta, terutama bagi yang tak memiliki KTP Jabodetabek serta tidak dapat menunjukkan surat izin keluar masuk atau tak bisa membuktikan surat bukti berdomisili atau bekerja di Jakarta.
Ridwan menyampaikan, upaya pencegahan menjadi cara paling efektif untuk mengendalikan penularan Covid-19 sebelum kekebalan masyarakat dengan ditemukannya vaksin terwujud. Upaya pencegahan ini sangat bergantung pada kesadaran masyarakat. Untuk itu, pemberdayaan masyarakat pun menjadi sangat penting.
Menurut dia, pemberdayaan ini perlu diwujudkan hingga tahapan perubahan perilaku dari setiap individu. Praktik hidup bersih dan sehat harus benar-benar diterapkan, mulai dari mencuci tangan, menghindari menyentuh wajah, mempraktikan etika batuk yang baik, mengisolasi diri jika sakit, menjaga jarak, serta membatasi pergerakan dan perjalanan.
Pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan Covid-19 bisa dilakukan melalui enam tahap. Sejumlah tahap itu meliputi pendataan kesehatan warga di tingkat RT/RW, edukasi terkait faktor penyebab penularan penyakit dan potensi penularan di suatu wilayah, musyawarah masyarakat, menyusun rencana kegiatan penanggulangan penyakit, pelaksaanaan kegiatan, hingga memastikan keberlanjutan kegiatan.
”Sayangnya, warga kurang paham terhadap penularan virus ini sehingga upaya pencegahan tidak dilakukan secara maksimal. Penyebabnya, informasi yang diberikan lambat diberikan dan lebih banyak diisi dengan rumor tidak benar. Padahal, peran warga di tingkat paling bawah itu yang terpenting,” ucap Ridwan.