Warga lanjut usia rentan terpapar Covid-19 sekaligus tersisihkan akibat pembatasan sosial yang diterapkan. Upaya menjaga warga lansia sejahtera selama pandemi belum banyak dilakukan.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Meski warga lanjut usia rentan terdampak Covid-19, perhatian terhadap warga lansia, termasuk saat menghadapi kenormalan baru yang akan diberlakukan, masih kurang. Keluarga dan masyarakat yang menjadi tumpuan kesejahteraan mereka pun menghadapi dilema untuk menjaga dan merawatnya.
Warga lanjut usia (lansia) lebih rentan tertular dan meninggal akibat Covid-19. Meski mobilitasnya lebih terbatas dibandingkan kelompok umur lebih muda, lemahnya daya tahan tubuh dan penyakit penyerta yang dimiliki membuat warga lansia mudah terpapar virus korona.
”Tanpa penyakit bawaan pun, (warga) lansia berisiko tinggi terpapar Covid-19 akibat turunnya fungsi organ tubuh mereka seiring pertambahan usia,” kata Direktur Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (Cefas) Universitas Respati Indonesia, Jakarta Timur, Sudibyo Alimoeso, Kamis (28/5/2020).
Tanpa penyakit bawaan pun, (warga) lansia berisiko tinggi terpapar Covid-19 akibat turunnya fungsi organ tubuh mereka seiring pertambahan usia.
Jumlah warga lansia Indonesia pada 2020, sesuai Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045, mencapai 10,65 persen. Namun, hingga kemarin ada 15,3 persen warga lansia yang positif Covid-19. Persentase warga lansia yang meninggal akibat korona juga tertinggi dibandingkan kelompok umur lain, mencapai 43,6 persen.
Meski tak terpapar Covid-19, pembatasan fisik dan sosial yang berlangsung, termasuk larangan mudik yang diberlakukan, bisa memengaruhi kesehatan jiwa mereka. Meski silaturahmi bisa tetap dijalankan dengan bantuan teknologi, stres dan kesepian tetap dialami sejumlah warga lansia.
”Bagi (warga) lansia, kedekatan fisik dan sosial sangat dibutuhkan,” ujar peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan serta dosen Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Sukamdi.
Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Pungky Sumadi, dalam webinar ”Elderly Life and Care Post Covid-19”, mengatakan, pandemi membuat warga lansia terisolasi dan kesepian. Mereka yang terbiasa berkegiatan bersama rekan kini hanya berkomunikasi melalui media sosial dan telepon.
”Sensitivitas mereka dalam menyaring informasi melalui media sosial perlu dipahami,” katanya.
Selain itu, lanjut Sukamdi, pembatasan beraktivitas di luar rumah juga berdampak besar bagi ekonomi warga lansia. Terlebih, hanya 10,5 persen warga lansia yang punya tabungan pensiun. Sebagian besar warga lansia hidup bergantung kepada anak atau keluarganya dan sebagian terpaksa harus tetap bekerja menghidup diri dan keluarganya.
Meski demikian, bukan hanya warga lansia yang menghadapi situasi baru akibat korona. Keluarga yang memiliki warga lansia pun menghadapi tantangan tak mudah dalam memperlakukan mereka. Di satu sisi, keluarga ingin menjaga agar warga lansia tidak terpapar penyakitnya. Namun, penjarakan sosial, apalagi apabila berlangsung makin panjang, bisa membuat mereka menderita.
”Pembatasan kontak fisik dengan (warg) lansia bisa memicu atau memperburuk sindrom sarang kosong (empty nest syndrome),” kata Sudibyo. Sindrom ini biasanya dialami warga lansia saat ditinggal anaknya merantau atau menikah. Situasi itu bisa berdampak besar pada kesehatan jiwa warga lansia dan itu bisa memperburuk kondisi fisiknya.
Saat ini, 88 persen warga lansia Indonesia tinggal bersama keluarga. Dari jumlah tersebut, 47,3 persen warga lansia tinggal bersama pasangan atau anggota keluarga lain dan 40,6 persen warga lansia tinggal bersama anak cucu mereka atau tiga generasi dalam satu keluarga. Sementara 9,4 persen warga lansia tinggal sendiri.
Menurut Sukamdi, tingginya jumlah warga lansia yang tinggal dalam keluarga adalah modal besar bangsa untuk memuliakan warga lansia. Namun, seiring perkembangan zaman, besarnya migrasi dan perubahan pola hidup diperkirakan akan membuat makin banyak warga lansia Indonesia tinggal sendiri.
Karena itu, menyambut Hari Lanjut Usia Nasional yang diperingati tiap 29 Mei, perhatian lebih kepada warga lansia di tengah pandemi Covid-19 diperlukan. Bukan hanya soal kebijakan negara yang lebih berpihak kepada warga lansia, tetapi juga kepedulian keluarga dan masyarakat perlu terus dijaga.
Memahami risiko
”Dengan memahami risiko yang dihadapi (warga) lansia, perlu cara baru untuk menemani dan membantu (warga) lansia di sekitar kita,” kata Pungky. Cara baru itu diperlukan saat kenormalan baru menghadapi Covid-19 nanti mulai diberlakukan.
Meski demikian, Sudibyo menilai, pembolehan penduduk bekerja saat pemberlakuan tatanan normal baru seharusnya tidak dibatasi umur maksimal 45 tahun karena sebagian warga lansia masih produktif. ”Sepanjang mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, (warga) lansia seharusnya juga diperbolehkan bekerja,” ujarnya.
Protokol kesehatan itu pula yang perlu terus digaungkan karena orang muda yang tidak mematuhi aturan tersebut, terpapar virus, dan tidak menunjukkan gejala tetap bisa menularkan Covid-19 kepada warga lansia. Warga lansia yang produktif juga bisa menjadi penggerak bagi ekonomi bangsa yang lesu.
Selain pelonggaran aktivitas di luar rumah, intervensi keluarga agar lebih peduli terhadap warga lansia perlu dilakukan negara. Kemampuan keluarga merawat dan berkomunikasi dengan warga lansia, khususnya yang punya penyakit penyerta, juga perlu dibangun. Di sisi lain, jumlah perawat kaum lansia juga masih terbatas. ”Perawatan (warga) lansia lebih efisien jika dilakukan keluarga,” kata Sukamdi.