Selang beberapa menit kemudian, teman yang di sepanjang Solok Selatan sampai Jakarta wajahnya pucat dan mulutnya merintih tiada henti itu tampak tersenyum semringah. Segala rintihan tadi seolah sandiwara.
Oleh
M Hilmi Faiq
·4 menit baca
Ini adalah hari ketujuh. Sepekan sudah kami meninggalkan Jakarta untuk berkeliling perkebunan teh Bah Butong dan Tobasari milik PTPN IV di Simalungun, Sumatera Utara. Lalu berlanjut ke Kabupaten Solok dan Solok Selatan, Sumatera Barat, pada awal Juli tahun lalu. Semua dalam rangka Ekspedisi Teh Nusantara.
Di Sumatera Barat ini, bukan hanya perkebunan teh Danau Kembar milik PTPN VI yang kami kunjungi. Kami juga menyusuri perkebunan teh rakyat serta ikut serta dalam rapat-rapat para petani teh. Setelah itu, kami ke Solok Selatan, sekitar tiga jam dari Solok, untuk melihat perkebunan milik PT Mitra Kerinci.
Kebun tersebut penting karena menjadi tolok ukur verifikasi data tentang keberhasilan PT Mitra Kerinci keluar dari jurang kerugian neraca keuangan yang membelitnya selama bertahun-tahun.
Malam itu, udara perkebunan di lereng Gunung Kerinci amat sejuk. Kami harus melapisi baju dengan jaket dan enggan melepas kaus kaki meskipun di dalam ruangan. Tim kami terdiri atas empat orang, yakni saya sendiri sebagai reporter, fotografer Lasti Kurnia, videografer Lutfianda Ramawan, dan Rangga Eka Sakti dari Litbang Kompas.
Selepas makan malam, kami mewawancarai Ondi, Chief Executive Officer PT Mitra Kerinci. Dari wawancara dan diskusi selama lebih kurang satu jam, tergambar optimisme tentang perkembangan teh ke depan.
Dia juga memaparkan berbagai rencana strategis pengembangan teh di Tanah Air sehingga bisa bersaing di pasar global yang selama ini hanya dikuasai segelintir negara pemain. Sehabis ngobrol, kami menikmati durian. ”Ini durian lokal sini. Rasanya mantap,” kata Ondi mempersilakan kami.
Kabupaten Solok Selatan rupanya penghasil durian enak. Beberapa kali digelar lomba buah durian unggul di daerah ini. Di sini bahkan ada nagari (setara desa) yang bernama Sungai Durian. Nama itu konon berdasarkan komoditas paling produktif di sana. Solok Selatan sendiri merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Solok.
Memang durian yang kami santap malam itu mantap betul. Dinikmati di tengah udara dingin, kandungannya terasa menghangatkan tubuh. Tetapi, makan durian perlu waspada. Jika terlalu banyak bisa mendatangkan ketidaknyamanan perut.
Apalagi jika memiliki masalah lambung, sebaiknya hindari durian, seharum dan semanis apa pun. Akan tetapi, peringatan tinggal perintagan. Sering kali kita lupa dengan kelemahan ketika dihadapkan dengan aroma durian yang demikian mengundang selera.
Selang beberapa menit seusai menyantap durian ramai-ramai, seorang rekan mengeluh sakit perut. Dia berkeringat dingin dan wajahnya pucat. ”Gapapa, kok. Cuma sakit perut,” jawabnya ketika ditanya kondisinya.
Pagi hari sekitar pukul 06.00, kami meninggalkan penginapan menuju kebun teh. Kali ini berencana memotret para pemetik teh dengan latar belakang Gunung Kerinci.
Ketika pemotretan berlangsung, rekan yang sakit perut semalam memilih bertahan di mobil karena katanya belum sehat betul. Sesekali dia merintih menahan sakit.
Saya paham, meskipun sakit, dia berusaha untuk tidak mengganggu agenda yang sudah kami susun. Tetapi, saya tidak tega mendengar rintihan dan melihat wajahnya yang pasi.
Saya berencana membawa dia ke puskesmas atau rumah sakit. Namun, ternyata, perkebunan ini jauh dari puskesmas, apalagi rumah sakit. ”Paling enak dibawa ke Solok saja,” begitu kira-kira nasihat beberapa orang.
Sembari menunggu pekerjaan selesai, kami memberinya beberapa obat, termasuk seorang rekan memberinya ramuan homeopati. Ini sejenis pengobatan alternatif yang mulai dikenalkan Samuel Hahnemann pada abad ke-18. Dia memberikan butiran-butiran kecil serupa pil kepada rekan yang sakit tadi.
Sebetulnya, kami berencana mampir ke perkebunan Kayu Aro sebelum kemudian kembali ke Jakarta. Mumpung lokasinya dekat dari kebun teh PT Mitra Kerinci, perjalanan ini kami masukkan dalam agenda tambahan. Hanya dua jam bermobil untuk mencapai Kayu Aro yang wilayahnya sudah masuk Provinsi Jambi itu. Sementara jika ke sana via Kota Jambi butuh waktu dua sampai tiga kali lebih lama.
Tentu saja rencana itu kami batalkan. Bagi kami, kesehatan dan keselamatan teman jauh lebih penting dibandingkan mengejar bahan liputan. Maka, kami pun bergegas meninggalkan kebun PT Mitra Kerinci untuk menuju Solok, lalu Padang, dan selanjutnya terbang ke Jakarta.
Masalahnya, perjalanan ke Solok butuh waktu sekitar empat jam dengan kondisi jalan yang jauh dari mulus. Namun, kami pastikan bahwa rekan kami yang sakit ini tetap mampu bertahan. Keringat dingin terus bercucuran. Rekan kami yang lain berulang kali memberi homeopati dan air putih kepadanya.
Selama di pesawat, kondisi teman ini tak kunjung membaik. Wajahnya makin pucat dan beberapa kali merintih kesakitan. Sampai-sampai pramugari mendekatinya dan menawarkan pemeriksaan dokter. Si kawan tetap berusaha tegar hingga akhirnya pesawat mendarat di Jakarta.
Dengan naik kursi roda, teman ini kami antar ke bagian kesehatan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Saat ia ditangani di ruang dokter ditemani seorang rekan lainnya, saya antre untuk mengambil bagasi.
Selang beberapa menit kemudian, teman yang di sepanjang perjalanan wajahnya pucat dan mulutnya merintih tiada henti itu tampak tersenyum semringah. Segala rintihan tadi seolah sandiwara. Seperti sulap, hilang begitu saja, berganti wajah segar nan memerah bahagia.
Dia lalu bercerita, kata dokter, asam lambungnya naik sehingga menyebabkan nyeri. Setelah diberi obat oleh dokter, sembuh seketika. ”Cantik dokternya,” katanya sambil nyengir.
Oooh, itu rupanya obat keduanya. Makanya, homeopati tadi, kok, seolah tidak berimbas. Ya, sudahlah, yang penting dia sembuh. Saya pun lega, teman kami bisa terbebas dari rasa sakitnya.