Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membantu pelaku UMKM yang terdampak pandemi Covid-19. Namun, kebijakan yang ada dinilai belum maksimal.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang terdampak pandemi Covid-19. Namun, kebijakan yang ada dinilai belum maksimal karena kurangnya pengawasan.
Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, saat dihubungi Kompas, Kamis (14/5/2020), mengatakan, saat ini sudah 80 persen pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak pandemi merumahkan pekerja, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sementara itu, stimulus pemerintah untuk pelaku usaha dinilai masih setengah-setengah. Ikhsan mencontohkan kebijakan relaksasi kredit melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease.
POJK itu memungkinkan pelaku usaha, khususnya UMKM dengan nilai usaha di bawah Rp 10 miliar, untuk mendapat keringanan mencicil utang selama maksimal satu tahun.
Pada praktiknya, relaksasi itu sulit diberikan pemberi pinjaman, terutama bank dan lembaga keuangan swasta yang banyak dimanfaatkan UMKM. Menurut catatan Ikhsan, banyak pelaku usaha yang dipersulit karena diharuskan membayar utang untuk jangka waktu tertentu sebagai syarat.
Selain itu, pemberi kredit juga secara ketat menerapkan Bank Indonesia (BI) Checking atau Informasi Debitor Individual (IDI), yang mencatat lancar atau macetnya pembayaran kredit. Keadaan ini membuat pelaku usaha yang sudah kesulitan keuangannya tidak bisa mendapat bantuan, bahkan dikejar penagih utang (debt collector) karena tidak bisa mencicil utang.
”Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap perbankan,” ujar Ikhsan yang mengaku usaha rumah makannya ikut terdampak pembatasan sosial dan mengalami kesulitan membayar utang.
Pengawasan dan kebijakan untuk memudahkan pinjaman bagi UMKM juga diharapkan Ikhsan diterapkan pemerintah yang hendak menggelontorkan bantuan berupa kredit modal kerja. Bantuan itu siap diimplementasikan pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menyampaikan, pemberian modal kerja bagi UMKM merupakan salah satu solusi yang akan dilakukan pemerintah melalui PEN pada triwulan III-2020.
”Agar perekonomian bisa menunjukkan performa lebih baik, agar jangan sampai menuju negatif, maka harus ada kredit modal kerja. Inilah yang akan mendorong roda perekonomian bisa bergerak lagi,” ujar Febrio dalam konferensi pers virtual, Rabu (13/5/2020).
Bantuan, yang menurut rencana disalurkan lembaga pemberi kredit Jamkrindo dan Askrindo, ini diharapkan membantu pelaku UMKM untuk bangkit kembali. Alokasi anggaran untuk UMKM mencapai Rp 34,15 triliun dari total anggaran PEN senilai Rp 125 triliun, yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jika bantuan UMKM ini jadi diimplementasikan, pelaku usaha seperti Ratna Emilia, pemilik usaha katering pesta dan pertemuan di Jakarta, bisa menjalankan bisnisnya lagi. Ratna tidak hanya merumahkan sebagian pekerjanya, tetapi juga mengurangi 5 dari 9 pekerja sejak usahanya tidak lagi menerima pesanan untuk acara besar.
”Sekarang saya cuma buka usaha makanan kecil-kecilan secara daring. Kalau pembatasan sosial karena pandemi ini berlangsung lama, saya pastinya susah mengumpulkan modal untuk mulai usaha lama saya,” ucapnya saat dihubungi, Kamis.
Rizky Idrus Setiadi, pendiri PT Gayo Seni Nusantara, berharap pemerintah bisa mempermudah pemberian bantuan. Apalagi, perusahaan itu bergerak di bidang biro perjalanan wisata, penyelenggara acara, dan MICE yang sudah lama tidak menjalankan usahanya karena pandemi.
”Harapannya, pemerintah memberi kami bantuan. Setidaknya yang tidak memberatkan dan memaksa kami untuk kerja ekstra lagi. Sementara kami masih harus membayar pajak dan lainnya juga,” tuturnya.